Mohon tunggu...
Najwa Kamila
Najwa Kamila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Saya adala mahasiswa universitas airlangga 2021 yang aktif organisasi dan mempertahankan ipk.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peran Media Sosial sebagai Media Pendidikan Antikorupsi untuk Kalangan Mahasiswa

13 Juni 2022   20:06 Diperbarui: 13 Juni 2022   20:06 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Peran Media Sosial sebagai Media Pendidikan Antikorupsi untuk Kalangan Mahasiswa"

  • Abstrak

Perkembangan teknologi yang masif menciptakan generasi yang peka dan senantiasa hidup berdampingan dengan teknologi. Teknologi yang baru sangat diterima dan dipelajari dengan cepat oleh generasi muda. Salah satu teknologi yang ada yaitu media sosial. Media sosial memiliki fungsi penyebar informasi bagi masyarakat di seluruh dunia salah satunya yaitu mengenai korupsi. Korupsi merupakan tindakan illegal penyalahgunaan wewenang publik untuk kepentingan pribadi.  Indonesia mengalami penurunan Indeks Persepsi Korupsi pada tahun 2020 menjadi 37. Indeks ini menyatakan Indonesia masih memiliki kasus korupsi yang tinggi. Oleh karena itu perlu adanya tindakan untuk mencegah kasus korupsi terjadi di masa mendatang melalui pendidikan antikorupsi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik generasi masa kini dan peran media sosial sebagai media pembelajaran antikorupsi. Penelitian menggunakan metode studi literature dengan analisis data deskriptif. Hasil penelitian menyatakan Generasi Z merupakan generasi yang hidup dengan teknologi, menyukai interaksi tidak langsung, peka terhadap isu global, interaksi yang cepat, dan tujuan yang jelas. Peran media sosial yaitu memberikan informasi terkini mengenai korupsi, menjadi media untuk menyalurkan edukasi oleh para mahasiswa melalui projek akhir berkaitan dengan korupsi, dan melihat dampak sosial yang ditimbulkan akibat perilaku korupsi sebagai pembelajaran. 

Kata kunci: Korupsi, Media sosial, Pendidikan Antikorupsi, 

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan teknologi sudah sangat masif akhir-akhir ini. Teknologi sudah sangat dekat dengan kehidupan sehari hari. Perkembangan teknologi secara umum telah memberikan kualitas hidup yang lebih baik dan nyaman bagi masyarakat. Ketika radio ditemukan, misalnya, secara dramatis mengubah cara hidup orang. Informasi dapat menyebar dengan cepat dan mendunia. Dengan perkembangan Internet dan e-mail, gagasan tentang apa yang disebut ''global village'' telah menjadi kenyataan. perubahan cara berinteraksi di masyarakat terutama pada generasi muda (Kalin, 2013). Media sosial juga tempat menyuarakan berbagai keresahan serta pusat informasi seperti dalam permasalahan korupsi yang terjadi di Indonesia.

Korupsi merupakan pelanggaran oleh orang-orang publik, demi keuntungan finansial atau politik pribadi, aturan perilaku dalam urusan publik yang berlaku dalam suatu masyarakat pada periode yang sedang dipertimbangkan (Nield, 2002). Theobald (1990) mendefinisikan korupsi sebagai penggunaan illegal barang milik publik untuk kepentingan pribadi.  Korupsi dapat diartikan juga sebagai upaya penyalahgunaan kedudukan publik atau kekuasaan untuk kepentingan pribadi (Azra, 2002). Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan pelanggaran berupa tindakan illegal penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.

Indonesia mengalami penurunan Indeks Persepsi Korupsi pada tahun 2020 menjadi 37. Indeks ini menyatakan Indonesia masih memiliki kasus korupsi yang tinggi. Kriteria nilai indeks yang semakin mendekati 0 menyatakan negara semakin korup sementara jika mendekati nilai 100 negara semakin bersih dari korupsi (Suyatmiko, 2021).

Masih tingginya kasus korupsi ini harus menjadi perhatian terutama dalam melakukan berbagai tindakan pencegahan kepada generasi muda yang nantinya akan menggantikan generasi sekarang dalam pemerintahan. Upaya pencegahan salah satunya yaitu melalui pendidikan antikorupsi untuk membentuk sebuah budaya antikorupsi. Hasil penelitian Sarmini et al. (2017) menyatakan sekolah memiliki peran yang penting dalam menumbuhkan budaya antikorupsi yang dibangun dalam kegiatan belajar mengajar disertai dengan adanya guru yang memiliki gagasan untuk mendidik siswa agar memiliki sikap antikorupsi. Kegiatan ini disebut sebagai pendidikan antikorupsi. Pendidikan menggunakan berbagai media untuk menunjang proses belajar mengajar. Media pembelajaran ini seharusnya disesuaikan dengan karakteristik mahasiswa dalam pendidikan antikorupsi yang dilakukan di perguruan tinggi. Media pembelajaran dapat menjadi salah satu faktor yang menentukan keberahsilan sebuah pembelajaran (Falahudin, 2014). Oleh karena itu, disusun karya tulis ini untuk mendeskripsikan peran media sosial sebagai teknologi masa kini sebagai media pembelajaran dalam pendidikan antikorupsi untuk kalangan mahasiswa.

Rumusan Masalah

  • Bagaimana karakteristik mahasiswa masa kini?
  • Bagaimana peran media sosial sebagai media pembelajaran antikorupsi?

Tujuan Penelitian

  • Mengetahui karakteristik mahasiswa masa kini
  • Mengetahui peran media sosial sebagai media pembelajaran antikorupsi

Manfaat Penelitian

  • Bagi pembaca bisa menjadi sumber informasi mengenai peran media sosial dalam pembelajaran antikorupsi bagi mahasiswa
  • Bagi pengajar bisa dijadikan sebagai dasar penentuan media pembelajaran antikorupsi bagi mahasiswa

Teori Penelitian

Korupsi di Indonesia

Korupsi sudah ada di Indonesia sejak zaman dahulu. Sebelum penjajahan Eropa, para saudagar yang datang ke Indonesia untuk berdagang (khususnya di Jawa), harus membayar upeti kepada penguasa negara yang dikunjunginya, sebagai jaminan bahwa ia akan dilindungi oleh penguasa (Anderson 1972; King 2000). Pada masa penjajahan Belanda, korupsi diperparah dengan ulah pejabat Belanda yang didorong untuk korupsi karena gajinya yang rendah. Pemerintah Belanda juga membiarkan praktik kuno membayar upeti kepada penguasa pribumi tetap utuh, sehingga melanjutkan perilaku rent-seeking yang dilakukan oleh elit lokal (King 2000). Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, korupsi berkurang untuk waktu yang singkat, karena semangat nasionalistik dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia awal untuk menciptakan birokrasi yang profesional, mekanisme check and balance, dan sistem hukum (Feith 1962; King 2000). Namun, setelah tahun 1955, korupsi meningkat lagi, karena meningkatnya kebutuhan partai politik untuk mencari rampasan dan penghargaan pendukung dan juga karena penghapusan pemerintahan demokratis oleh Presiden Sukarno pada tahun 1959, yang mengakhiri semua mekanisme check and balance di cabang eksekutif dan membuat pemerintah tidak bertanggung jawab kepada siapapun.

Ketika reformasi terjadi di Indonesia pada tahun 1998, beberapa upaya dilakukan untuk mencegah dan memerangi korupsi melalui amandemen dan penyusunan undang-undang yang berkaitan dengan korupsi. Negara mulai mengembangkan Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 untuk membersihkan negara dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Hal ini disusul dengan pemungutan suara DPR untuk memberlakukan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 untuk membuat negara bersih dan bebas dari korupsi. Sidang berikutnya pada tahun 1999 juga melakukan perubahan terhadap undang-undang antikorupsi melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya direvisi pada tahun 2001 dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Upaya reformasi undang-undang antikorupsi juga disahkan pada tahun 2002 melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Najih & Wiryani, 2020).

Pendidikan antikorupsi di Indonesia

Tingginya kasus korupsi di Indonesia memicu diberlakukannya pendidikan antikorupsi. Pendidikan antikorupsi dilakukan melalui integrasi dengan pendidikan kewarganegaraan, mata kuliah lain ataupun melalui penanaman karakter diluar pendidikan formal. Pendidikan antikorupsi memiliki tujuan untuk menumbuhkan nilai nilai antikorupsi yang harapannya bisa membuat generasi muda yang memiliki budaya antikorupsi. Telah dilakukan kegiatan pelatihan kepada para dosen perguruan tinggi di seluruh Indonesia sebagai langkah awal dalam implementasi kebijakan pendidikan antikorupsi. Kegiatan ini dilakukan kepada 92 PTN dan 434 PTS di seluruh Indonesia dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai penyusun materinya (Kadir, 2018).

Terdapat enam alasan pentingnya pendidikan antikorupsi. Pertama, pendidikan belum ada yang lebih berfokus pada karakter. Integrasi antara pendidikan antikorupsi bisa menjadi pembaruan sehingga mata kuliah tidak hanya berorientasi pada pemahaman iptek. Kedua, untuk memberikan pengetahuan sejak dini mengenai korupsi serta dampaknya. Ketiga, untuk menumbuhkan kepekaan terhadap praktek korupsi di lingkungan terdekta. Keempat, mendidik mahasiswa sesuai dengan ajaran sosial agama. Kelima, membuat generasi muda yang bebas dari perilaku korupsi. Keenam membantu mewujudkan clean and good-government di masa depan (Kadir, 2018).

Metode Penelitian

Metode penelitian menggunakan metode studi pustaka. Sumber pustaka terdiri dari jurnal ilmiah, buku, dan publikasi ilmiah lainnya baik nasional maupun internasional yang berkaitan dengan judul. Studi pustaka merupakan mengumpulkan berbagai data sekunder dari penelitian terdahulu yang kemudian dianalisis dan dibuat dalam bentuk tulisan hasil kombinasi dari berbagai sumber. Analisis data menggunakan metode deskriptif dengan menguraikan data yang telah dikumpulkan dan mengarah pada kesimpulan tertentu untuk menjawab tujuan yang telah ditetapkan.

BAB II PEMBAHASAN

  • Karakteristik Generasi Masa Kini

Indonesia sekarang didominasi oleh generasi Y dan Z. Generasi Y yang sekarang menjadi orang tua dari generasi Z yang sekarang juga berada di perguruan tinggi sebagai mahasiswa. Generasi Z memiliki kehidupan yang sangat dekat dengan teknologi. Teknologilah yang memungkinkan mereka berinteraksi secara aktif di masyarakat, sedangkan Internet, yang mereka gunakan 24/7, adalah jaringan global yang membentuk kesadaran mereka (Scholz & Vyugina, 2019). Nama "Digital Natives" adalah label yang paling cocok untuk generasi muda yang menjalani kehidupan bersama teknologi (Prensky, 2001).

Minat Gen Z tidak terbatas pada isu dan topik tertentu. Mereka sadar akan segala sesuatu yang baru, mereka mengandalkan otoritas mereka sendiri, tetapi mereka sama-sama tertarik pada masalah global: dari insiden lokal atau berita dari teman, hingga kisah luar biasa yang terjadi di belahan dunia lain (Scholz & Vyugina, 2019). Karena mereka serba bisa dan berorientasi luas, salah satu ciri utama anggota Gen Z adalah berkurangnya kemampuan untuk memberikan perhatian terus-menerus (Ding et al., 2017). Mereka berpikir secara global, berkomunikasi secara global dan mengkonsumsi informasi dari seluruh dunia (Scholz & Vyugina, 2019).

Gen Z lebih menyukai media digital dari pada tradisional, dan memiliki kebutuhan yang konstan untuk menerima jenis informasi baru yang berbeda. Yang juga menjadi ciri khas GenZ adalah mereka melek teknologi dan lebih menyukai komunikasi melalui teknologi daripada kontak langsung dengan orang-orang (Polkov & Klmov, 2019). Dengan perkembangan teknologi di bidang multimedia, seperti tablet, smartphone, media sosial dan TV layar datar, generasi muda Gen Z telah terbiasa berinteraksi dan berkomunikasi di dunia yang terkoneksi setiap saat. Generasi Z saat ini lebih menyukai banyak aliran informasi, interaksi yang sering dan cepat dengan konten, pengalaman teknologi dan kolaboratif yang menunjukkan tujuan yang jelas, meningkatkan motivasi, dan menyertakan aktivitas otentik (van Eck, 2006).

  • Peran Media Sosial dalam Pendidikan Antikorupsi

Media sosial sebagai teknologi masa kini dapat digunakan sebagai media pendidikan antikorupsi yang sesuai dengan karakteristik generasi Z, urgensi pendidikan antikorupsi di Indonesia, dan nilai-nilai antikorupsi. Nilai-nilai antikorupsi yaitu kejujuran, kedisiplinan, kemandirian, kerja keras, tanggung jawab, keberanian, sederhana, dan keadilan.  Nilai-nilai tersebut ditanamkan dalam kegiatan belajar mengajar baik dalam pendidikan antikorupsi maupun dalam kegiatan lainnya. Materi yang disusun dalam modul Pendidikan Antikorupsi yang disusun oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa menjadi materi untuk mengaplikasikan media sosial sebagai media pembelajaran.

Generasi Z merupakan generasi yang menyukai komunikasi secara tidak langsung, menguasai teknologi, dan menyukai tujuan yang jelas. Media sosial merupakan sumber informasi dari pengetahuan atau kasus tentang korupsi. Menggunakan media sosial sebagai media pencarian informasi pembelajaran yang dilakukan oleh siswa bisa membuat siswa lebih bersemangat karena mereka melakukan sesuatu pada media yang biasa mereka gunakan. Selain itu, membuat poster atau video kreatif sebagai projek pembelajaran yang kemudian diunggah dalam media sosial juga merupakan salah satu cara pemanfaatan media sosial sebagai media pembelajaran mengenai pendidikan antikorupsi.

Penggunggahan poster atau video kreatif yang didasarkan pada materi dalam modul seperti materi Tindak Pidana Korupsi dalam Peraturan Perundang-undangan, Dampak Masif Korupsi, dan Peran Mahasiswa dalam Pencegahan Korupsi bisa menjadi bentuk edukasi kepada masyarakat luas tidak terbatas pada siswa atau mahasiswa yang mendapatkan pendidikan antikorupsi. Pembahasan mengenai peran mahasiswa dalam pencegahan korupsi juga dapat dikaitkan melalui penggunaan media sosial yaitu dalam melakukan kampanye atau mengawal penegakan hukum sebuah kasus korupsi. Kampanye dilakukan untuk memberikan edukasi pada masyarakat luas. Pengawalan penegakan hukum dilakukan untuk memastikan para pelaku korupsi mendapatkan hukuman yang sesuai dengan perbuatannya. Masifnya pengawalan dan kampanye ini bisa menumbuhkan sikap takut melakukan korupsi atau marah bila menyaksikan tindakan korupsi.

Efek malu, takut, dan marah ini merupakan dampak dari pembelajaran berbasis nilai (Kadir, 2018). Pengaruh emosional dari diri pribadi terhadap suatu tindakan bisa menjadi cara yang efektif untuk membuat seseorang menjauhi tindakan tersebut. Sanksi sosial yang ditampilkan melalui media sosial dan disuarakan bisa menjadi faktor yang membuat seseorang takut untuk melakukan perbuatan  khususnya korupsi.

BAB III SIMPULAN

Generasi Z merupakan generasi yang hidup dengan teknologi, menyukai interaksi tidak langsung, peka terhadap isu global, interaksi yang cepat, dan tujuan yang jelas. Melalui karakteristik ini media sosial sangat cocok digunakan sebagai media pembelajaran yang disesuaikan dengan urgensi pendidikan antikorupsi dan modul yang telah disusun oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Peran media sosial yaitu memberikan informasi terkini mengenai korupsi, menjadi media untuk menyalurkan edukasi oleh para mahasiswa melalui projek akhir berkaitan dengan korupsi, dan melihat dampak sosial yang ditimbulkan akibat perilaku korupsi sebagai pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, A. (2002). Korupsi dalam perspektif good governance. Jurnal Kriminologi Indonesia, 2(1), 31--36.

Ding, D., C, G., & Yu, Y. (2017). Game-based learning in tertiary education: a new learning experience for generation Z. International Journal of Information and Education Technology, 7(2), 148--152.

Falahudin, I. (2014). Pemanfaatan media dalam pembelajaran. Jurnal Lingkar Widyaiswara, 1(4), 104--117.

Kadir, Y. (2018). Kebijakan pendidikan antikorupsi di perguruan tinggi. Gorontalo Law Review, 1(1), 25--38.

Kalin, J. (2013). Remembering with rephotography: A social practice for the inventions of memories. Visual Communication Quarterly, 20(3), 168--179.

Najih, M., & Wiryani, F. (2020). Learning the social impact of corruption: a study of legal policy and corruption prevention in Indonesia and Malaysia. Journal of Social Studies Education Research, 11(4), 175--189.

Nield, R. (2002). Public Corruption: the Dark Side of Social Evolution. Anthem.

Polkov, P., & Klmov, B. (2019). Mobile Technology and Generation Z in the English Language Classroom---A Preliminary Study. Education Sciences, 9(3), 203--214. https://doi.org/10.3390/educsci9030203

Prensky, M. (2001). Digital natives, digital immigrants. Horizon, 9(5), 1--6.

Sarmini, Swanda, I. M., & Nadiroh, U. (2017). The importance of anti corruption education teaching materials for the young generation. Journal of Physics, 953(1), 1--5.

Scholz, T., & Vyugina, D. (2019). Looking into The Future: what We are Expecting from Generation Z. Emerald Publishing Limited.

Suyatmiko, W. H. (2021). Memaknai turunnya skor indeks persepsi korupsi Indonesia tahun 2020. INTEGRITAS: Jurnal Antikorupsi, 7(1), 161--178.

Theobald, R. (1990). Corruption, Development, and Underdevelopment. Duke University Press.

van Eck, R. (2006). Digital game-based learning: it's not just the digital natives who are restless. Educause Review, 41(2), 16--32.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun