Pemerintahan Indonesia di masa sekarang masih kerap dihantui oleh korupsi dan suap yang berkaitan erat dalam sistem birokrasi dan politiknya. Praktik korupsi dan suap sendiri sering dilakukan mulai dari tingkat pejabat lokal hingga ke pejabat tinggi di tingkat pusat, bahkan di lembaga penegak hukum yang seharusnya menjadi benteng keadilan juga acap kali sering terjadi praktik korupsi maupun suap. Adanya praktik korupsi ini tidak hanya merugikan negara dari segi ekonomi, tetapi juga berdampak pada menipisnya kepercayaan publik pada pemerintah yang kemudian memperlambat pembangunan yang seharusnya dapat menyejahterakan masyarakat.
Pengertian korupsi sendiri dalam perbendaharaan Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan curang dan dapat disuap (Mariyanti, 1986 : 197). Sedangkan suap dalam terminologi hukum, didefinisikan sebagai "pemberian atau janji kepada seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri yang berhubungan dengan jabatannya," demikian dikutip dalam (Ali & Yuhermawan, 2020)Meskipun Indonesia telah memiliki berbagai lembaga pemberantas korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta peraturan hukum yang semakin di perketat dari masa ke masa, tindakan korupsi dan suap masih sering terjadi. Ada banyak oknum pejabat yang kerap kali bersekongkol untuk menutupi kejahatan yang mereka lakukan. Praktik seperti suap dalam proyek, penggelapan dana publik, hingga nepotisme dalam jabatan menjadi fenomena yang sering ditemui hingga saat ini.
Akar dari budaya korupsi ini sendiri telah tertanam sejak lama, bahkan dapat di perkirakan bermula pada masa Orde Baru yaitu tahun 1960-an hingga 1990-an di bawah kepemimpinan Soeharto. Pada masa itu, korupsi, kolusi, suap dan nepotisme menjadi hal yang tak dapat dipisahkan dari sistem pemerintahan. Dalam upaya mengatasi masalah korupsi dan suap yang kian marak di masa tersebut, Presiden Soeharto pernah mengangkat seorang Kepala Kepolisian Negara Indonesia yang dikenal dengan nama Drs. Hoegeng Iman Santoso.
Pak Hoegeng Iman Santoso memiliki kisah hidup yang cukup menarik. Beliau lahir di Pekalongan pada tanggal 14 Oktober 1921. Ayah beliau adalah seorang jaksa dari pekalongan yang bernama Sukarjo Kario Hatmojo dan ibunya Umi Kalsum. Pada tahun 1927 pak Hoegeng muda menempuh pendidikan dasar di Hollandsch Inlandsche School, dilanjutkan dengan menempuh pendidikan yang setara SMP di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan menamatkan Sekolah  Menengah Atas di Algemeene Middelbare School (AMS). Setelah lulus sekolah pada tahun 1940, beliau sempat melanjutkan pendidikannya di sekolah hukum bernama Rechtshoogeschool te Batavia. Namun sekolah tersebut terpaksa di tutup pada saat Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942. Ditutupnya sekolah tersebut kemudian mebuat Pak Hoegeng kembali kekampung halamannya. Beliau menghabiskan waktunya di kampung dengan berjualan telur dan buku-buku pelajaran berbahasa Jepang.
Pada saat beliau di kampung, Pak Hoegeng bertemu dengan kerabat ayah beliau yang bernama Ating Natadikusumah. Beliau berprofesi sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Kepresidenan Pekalongan. Mengetahui profesi Pak Ating tersebut, Pak Hoegeng muda menjadi terinspirasi dan menjadikan polisi sebagai cita-cita beliau. Dalam mencapai cita-citanya tersebut beliau melanjutkan pendidikannya dengan mendaftar di pendidikan Ajun Inspektur Polisi di Pekalongan, mengikuti pelatihan kemiliteran Jepang, serta berekolah di Sekolah Tinggi Polisi di Sukabumi. Setelah lulus beliau sempat ditugaskan di Kapolsek Jomplang Semarang dengan menjabat sebagai intelejen kepolisian. Namun dalam perjalanan karirnya sebagai polisi, beliau sempat pindah ke Satuan Angkatan Laut.
Singkatnya pada saat beliau masih bertugas di Angkatan Laut, Pak Hoegeng bertemu lagi dengan Pak Ating dan Pak R.S Soekanto Tjokrodiatmojo yang merupakan Kapolri pertama di Indonesia. Daari pertemuan tersebut kemudian membuat Pak Hoegeng memantapkan diri untuk keluar dari Angkatan Laut (AL) dan kembali ke kepolisian. Karir Pak Hoegeng di kepolisian kian berkembang dimana beliau banyak mendapat amanah untuk mengemban jabatan-jabatan penting. Beliau juga kerap kali ditugaskan ke berbagai kota. Dari situlah Pak Hoegeng kemudian dikenal sebagai polsi yang jujur, teliti, tegas dan berintegritas.
Salah satu tugas yang membawa beliau ke jabatan yang lebih tinggi dalam kepolisian yaitu pada saat beliau ditugaskan ke Medan sebagai kepala bagian Reserse Kriminal, dimana di zaman itu wilayah ini dikenal sebagai tempat praktek suap, korupsi dan perjudian. Tentunya dalam menjalankan tugasnya disana, beliau sempat mendapat banyak tawaran suap dari para pengusaha kotor atau yang sering disebut cukong. Namun dengan tegas Pak Hoegeng menolak pemberian tersebut. Pada saat masih bertugas di Medan pula, tanpa segan beliau bahkan kerap kali menangkap basah para anggota Polisi dan Tentara yang menjadi backingan mafia di sana. Mengutip dari salah satu sumber cerita, tak tanggung-tanggung Pak Hoegeng pernah membuang semua barang-barang mewah yang diletakkan cukong di dalam rumah dinasnya. Beliau juga pernah menyuruh istrinya Merry, untuk menutup toko bunga yang digunakan untuk menambah pendapatan agar tidak membuka peluang terjadinya suap.
Keteguhan dan kejujuran Pak Hoegeng dalam menjalankan tugas-tugasnya tersebut kemudian membawa beliau mencapai puncak karirnya dimana pada tahun 1968 Presiden Soeharto mengangkat Pak Hoegeng menjadi panglima angkatan kepolisian atau sekarang dikenal dengan sebutan Kapolri, menggantikan Kapolri sebelunya yaitu Raden Mas Ngabehi Soetjipto Joedodihardjo. Salah satu pembaruan yang beliau lakukan ketika menjabat yaitu membawa kepolisian menjadi satu badan yang independen, dimana awalnya kepolisian hanya bergerak di  bawah angkatan bersejata (ABRI). Sekarang kepolisian menjadi lembaga yang independen yang lebih leluasa dalam menjalankan tugasnya sebagai pengayom dan juga pelayan masyarakat. Beliau juga menciptakan kebijakan baru yang hingga kini masih terus dijalankan, yaitu kewajiban dalam menggunakan helm pada saat mengendarai motor.
Walau masa jabatannya pada masa itu sangat singkat, Jenderal Hoegeng Iman Santoso adalah tokoh yang memberikan kontribusi besar terhadap pemerintahan Indonesia hingga saat ini. Â sikapnya yang berintegritas, adil, teliti dan jujur secara tidak langsung menerapkan peran gender yang sesuai dengan saat ini. Sosoknya dianggap sebagai ikon polisi jujur yang menginspirasi banyak orang, termasuk dalam upaya reformasi institusi kepolisian di Indonesia. Adapun nilai-nilai penting dari kisah Pak Hoegeng yang dapat diterapkan di masa kini, seperti:
Pentingnya Integritas dan Keadilan Bagi Semua Orang
Pak Hoegeng memperjuangkan penegakan hukum dan keadilan yang setara bagi seluruh warga negara, tanpa memandang status sosial, atau kekayaan. Dalam upaya memberantas korupsi, beliau sering kali menunjukkan keberpihakannya kepada masyarakat minoritas yang sering kali mengalami ketidakadilan akibat tingkatan sosial mereka.