Keluarga berprofesi sebagai petani secara kasat mata kurang begitu istimewa di mata anak-anaknya dan sebagian besar umumnya. Jauh lebih mentereng dan bangga jika orang tua bisa mengenakan seragam dinas berlogo institusi pemerintahan, militer, kesehatan dan lainnya. Â Takdir tak pernah diumumkan diawal, itulah mengapa indahnya seni kehidupan yang selalu penuh misteri dan menjadi rahasia Allah Yang Maha Kuasa.
Diawal, sedikit menyinggung tentang profesi. Sama sekali tak ada maksud untuk menjugde atau mengkerdilkan sebuah profesi seseorang. Namun, ingin memberikan sedikit angin kebahagian dari profesi seorang petani yang identik kotor, bahu dan berpendidikan rendah.
Kehidupan Anak Petani Â
Terlahir sebagai seorang anak petani selalu merasa identik dengan kesusahan dan keprihatinan. Itulah yang penulis rasakan sejak kecil.
Di saat hari minggu libur, orang tua mengajak ke sawah "matun" (mencabuti rumput). Saat liburan sekolah tiba, jika pas waktu padi "mbudak" (padi semerbak keluar dari tangkainya) diperintah menunggu padi agar tidak dimakan burung. Tangan megang ketapel dan saku isinya batu. Dan setelah panen padi diminta membantu menjemur dan menunggu padi hingga kurang lebih empat hari. Tak bebas dan sedikit-sedikit datang pekerjaan.
Itu hanya sebagian dari sedikit pekerjaan anak petani yang penulis ilustrasikan. Padahal masih banyak pekerjaan-pekerjaan lainnya seperti "ulur" (menanam jagung/kacang hijau/kedelai) di ladang/sawah, nyedot air untuk mengaliri sawah, hingga menunggu benih saat malam hari agar tidak dimakan tikus.
Merasa terkekang dan tak sebebas anak-anak pada umumnya. Lagi-lagi mainnya di sawah. Liburan ya di sawah kemudian mandi di sungai. Berbeda dan tak seindah saat membayangkan liburan teman yang seusia yang orang tuanya berprofesi sebagai pegawai. Berangkatnya di jadwal, pagi-pagi bisa manasin kendaraan di halaman. Tiap bulan gajinya sudah ditransfer dan saat tuanya punya dana pensiunan.
Tiap minggu perginya ke pusat perbelanjaan. Mainan di wahana air yang ada prosotan dan ada tempat bilasnya. Kalaupun pas libur di rumah, tangannya nggak megang ketapel sama batu tapi megang stik PS dan koleksi game terbaru.
Perbedaan yang mencolok yang saat ini masih terekam jelas jika flashback ke belakang.
Dahulu vs Sekarang
Dahulu petani memang masih belum mengenal teknologi dan peradaban zaman. Mencangkul di sawah menggunakan cangkul hingga berhari-hari. Matun (mencabuti rumput) menggunakan tangan pun juga berhari-hari. Memanen padi menggunakan ani-ani dan atau bisa juga di dos (alat pemanen padi tradisional yang di tancapi paku dan di putar menggunakan pedal sepeda).
Saat ini mencangkul untuk menyiapkan lahan musim tanam baru tidak perlu berhari-hari menggunakan cangkul. Sudah ada traktor yang hanya 30 menit sudah bisa meratakan seluruh tanah dan hasilnya siap untuk ditanami.
Matun, menghilangkan rumput atau gulma tak perlu lagi membutuhkan banyak orang dan menggunakan tangan agar bersih dari rumput. Kini sudah tersedia Ally maupun ally plus (pestisida pembasmi rumput). Penggunaannya pun juga sangat mudah. Tuangkan pestisida kedalam tanggki penyemprotan dan lakukan penyemprotan pada pagi hari. Dalam kurun waktu lima jam, rumput akan layu dengan sendirinya hingga mati di tempat.
Saat musim panen padi tiba, tak perlu lagi menggunakan ani-ani ataupun dos. Sudah ada alat pemanen modern padi yaitu mesin blower. Alat ini merupakan hasil inovasi dari bengkel yang menggunakan mesin disel sebagai tenaga utamanya. Dan baru-baru ini sudah ada combine harvester yang (mesin pemanen padi) diproduksi oleh perusahaan-perusahaan alat berat untuk menjawab tantangan kemajuan teknologi di bidang pertanian.
Bangun Pendidikan dari PertanianÂ
Orang tua yang berprofesi sebagai petani, meskipun pengalaman dan wawasan tak seluas dari orang-orang yang berprofesi non tani. Alhamdulillah, kesadaran dalam pendidikan menjadi prioritas yang utama.
Masih ingat betul sejak kecil, orang tua khusunya bapak mempunyai prinsip "Jinak Jina" artinya siji anak, siji sarjana artinya setiap satu anak, satu sarjana. Jika melihat kondisi dulu prinsip bapak dan cita-citanya terbilang sangat memaksakan dan seolah-olah sudah paten. Rasanya tak mungkin terwujud.
Jika berbicara hitungan matematika sudah pasti mustahil. Pendapatan dari bertani hanya datang saat panen tiba. Belum lagi dipotong biaya produksi yang sudah dikeluarkan dan digunakan lagi untuk persiapan masa tanam baru (MTB). Ditambah lagi untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari (mengasuh tiga anak) dan perawatan selama bertani.
Namun, tak pernah mengira konsep matematika Allah jauh lebih hebat dibandingkan professor ataupun guru besar dari Universitas Oxford sekalipun.
Penghasilan yang sedemikian, kini mampu menjawab cita-cita yang mulia dari bapak. Bahkan melebihi ekspektasi sebelumnya.
Kakak perempuan, berhasil menyelesaikan studi Magister di sebuah Universitas Negeri di Kota Semarang. Dan saat ini sudah bekerja menjadi Tenaga Pendidik di sebuah Kampus Agama Negeri di Kudus.
Penulis, yang merupakan anak kedua juga telah menyelesaikan studi Magister di Universitas Negeri di Kota Semarang. Hampir sama dengan sang kakak. Namun, tempatnya berbeda yakni sebagai Tenaga Pendidik di sebuah Kampus Agama Swasta di Kabupaten Grobogan.
Adik perempuan, saat ini semester enam dan rasa-rasanya selalu mendapat hoki. Sejak semester empat hingga semester enam, atas izin Allah selalu mendapat beasiswa. Ini artinya beban keuangan bapak semakin ringan. Dan dananya sudah dialokasikan untuk menyewa lahan garapan sawah untuk persiapan pendidikan adik selanjutnya.
Pengalaman penulis sejak kuliah Pascasarjana, rasa-rasanya uang semester tak pernah terlambat dibayarkan. Bapak sepertinya sudah ada perincian dan perhitungan matang untuk menjaga stabilitas keuangan keluarga tetap terjaga.
Petani Diuji Pandemi
Sejak pandemic masuk ke Indonesia, penulis merasa tersadarkan fakta tentang ketangguhan petani. Saat parapekerja di rumahkan oleh perusahaan dan ekonomi mengalami kelumpuhan. Bingung kesana kemari mencari pekerjaan lain untuk bertahan. Di sisi lain, para petani masih bisa bertahan menghadapi situasi yang sulit ini. Masih ada yang dimakan karena ketahan pangan masih sangat terjaga.
Begitu halnya orang tua, contoh kecilnya adalah sebagai berikut sepele namun berfaedah.
Pertama, cadangan makanan dalam bentuk persedian gabah dari panen sebelumnya masih tersimpan di gudang. Ini yang terus dilakukan dari tahun ke tahun untuk mengantisipasi tantangan-tantangan yang sulit diprediksi.
Bilamana, dikemudian hari akan digunakan tinggal digiling menjadi beras. Dan apabila stok lama masih ada. Namun, waktu dekat padi sudah mulai panen. Biasanya stok lama dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kedua, cadangan makanan berbentuk sayuran. Sudah bukan menjadi rahasia umum jika para petani selalu memanfaatkan lahan kosong untuk ditanami aneka sayuran seperti daun singkong, paya, tela, cabe, terong, oyong, dan lainnya. Hal ini bagian dari cara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menjaga kondisi keuangan tetap sehat. Selain itu bisa dijual di pasar sebagai tambahan penghasilan.
Ketiga, cadangan uang berbentuk tanaman. Jika pandemic yang datang memang tak pernah terprediksi sebelumnya. Namun, cadangan uang berbentuk tanaman sudah terprediksi secara berkala. Berjalan mengikuti setiap pergantian musim.
Bertepatan dengan pandemic melanda, tanaman jagung yang ada di ladang memasuki masa panen. Dari hasil inilah jagung yang dipanen kemudian dijual. Syukurlah, bisa menjadi sumber pendapatan tambahan untuk menyambung hidup.
Sektor pertanian merupakan satu dari beberapa sektor yang turut membantu mendorong perekonomian dan membangun kemajuan bangsa. Sadar atau tidak sadar, bangsa ini memang mempunyai kekayaan sumber daya alam yang luar biasa. Tak salah, jika bangsa lain iri dengan apa yang kita punya. Apa yang sudah kita punya, jangan sampai hilang begitu saja.
Dalam hal ini dibawah Kementrian Pertanian harus menyiapkan sistem pertanian yang baik untuk menginventarisasi dan tata kelola petani yang ada, baik petani padi, karet, kopi dsb guna menjaga keberlanjutan sektor pertanian untuk tetap ada di masa depan.
Selain itu masyarakat khususnya para petani juga harus melek teknologi untuk mempermudah dan melakukan percepatan agar sektor pertanian mengalami kemajuan.
Pendeknya, bisa memanfaatkan teknologi untuk membantu, merawat dan menjaga aset bangsa ini. Karena ini bagian dari kekayaan Ibu Pertiwi. Sekaligus mengembalikan entitas bumi pertiwi sebagai negara yang agraris.
Dari sinilah, penulis menyadari betapa bersyukurnya terlahir sebagai anak dari seorang petani. Dari sektor pertanian bisa membangun infrastruktur negara melalui sumber daya manusia yang dirintis oleh orang tua. Tak ubahnya hal tersebut, dari sektor pertanian pulalah, satu dari sektor yang ada termasuk infrastruktur-infrastuktur negara dapat terbangun. Pemerataan kesejahteraan masyarakat bisa ditingkatkan. Ketahanan pangan menjadi kuat. Sehingga bangsa ini mampu berdikari di kaki sendiri.
Tentunya, profesi yang sangat mulia ini tidak boleh berhenti disini. Pelajaran berharga sudah penulis temukan dan saatnya profesi ini untuk diteruskan.
Bagi generasi milenial, masih takut terjun menjadi petani. Atau masih bermindset petani identik pakai celana hitam pendek, sering pakai kaos partai. Topi terbuat dari anyaman bambu (caping). Kerja di tempat kotor dan bahu. Itulah tantangannya. Tapi siapa sangka isi di dompet bisa beli avanza.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H