Mohon tunggu...
Najmie Zulfikar
Najmie Zulfikar Mohon Tunggu... Administrasi - Putra : Hamas-ruchan

Pe[ngen]nulis | Konten Kreator YouTube | Channel : James Kalica

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Siapa Bilang Liburan di Sawah Itu Tidak Menarik?

19 Desember 2019   19:23 Diperbarui: 22 Desember 2019   20:18 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memasuki libur Nataru bagi sebagian besar orang dijadikan sebagai momentum untuk memanjakan diri setelah kesibukan yang padat. Semuanya bebas memilih destinasi wisata mana saja yang mau dipilih. Mau di luar maupun di dalam negeri.

Mau di pantai sambil bermain air atau menikmati wahana permainan di pusat bermain?. Tentu semuanya boleh untuk anda coba. Dan yang paling penting siapkan budget sebaik mungkin agar liburannya semakin berkesan.

Kesempatan liburan kali ini saya mengajak keponakan untuk berlibur dan mengedukasi mereka tentang pertanian. Berarti bermain di sawah dong? Iya betul, kakak? Tapi apa betul liburan di sawah itu tidak menarik? Siapa bilang tidak menarik? Oke, pertanyaan itu, hari ini saya jawab melalui tulisan ini.

Tapi sebelum lanjut, menyambung sedikit tentang liburan diatas sebenarnya kalau dibilang liburan si, bisa jadi. Karena memang kondisinya, mereka semua sedang tidak bersekolah dan sudah terima raport.

Tapi lebih pasnya, mengisi waktu libur untuk bermain sambil belajar. Ya, beginilah kondisi anak petani saat libur tiba selalu alam yang yang menemaninya.

Mengingat agendanya adalah pertanian, maka tak afdol jika tidak bersentuhan dengan yang namanya sawah. Kebetulan saat ini merupakan masa tanam padi pada musim penghujan. Tentu, sawah akan menjadi wahana yang menyenangkan untuk bermain.

Selama satu hari ini saya akan mengajak keponakan beserta teman-temannya untuk melakukan tiga hal yang biasanya menjadi aktifitas dalam pertanian. Apa saja ketiga hal yang akan saya lakukan?. Kasih tau ngga ya?. Hmmm... oke baiklah simak terus ya.

Bajak sawah dengan traktor

Hal yang pertama saya lakukan adalah memperkenalkan alat pertanian modern yang biasanya untuk membajak sawah. Karena pertaniannya sudah maju, maka menggunakan traktor sebagai pembajak sawah. 

Jika waktu kecil dulu, semua sawah dibajak menggunakan dua ekor kerbau beserta satu joki yang terus mengawasinya dibelakang. Namun keberadaan kerbau saat ini semakin langka dijadikan hewan peliharaan oleh petani. Maka dengan sendirinya kebudayaan membajak sawah tergantikan oleh mesin.

Tak lengkap rasanya jika hanya memberi tahu saja tentang traktor, saya mengajak mereka untuk ikut menaiki sebilah kayu yang digunakan sebagai pijakan dalam meratakan tanah.

Bagi yang tidak terbiasa menaiki traktor akan kesulitan. Bahkan tak jarang akan terjatuh apalagi saat akan berbelok arah. Mengemudikan traktor memang gampang-gampang susah. Namun, jika sudah terbiasa nanti akan ethes dengan sendirinya.

Saat membajak sawah, saya menghabiskan waktu satu jam hingga tanah yang dibajak rata dan halus. Kalau dilihat dari luas sawahnya ya sekitar 15 m x 10 m. yang namanya anak-anak kalau lihat lumpur ya pasti mainan perang lumpur. 

Sambil naik diatas traktor lalu dihempaskan ke arah teman. Kalau ditanya si mereka lagi mabar seperti di mobile legend. Tapi permainan ini aman, dan tidak sampai memendam amarah dan berlanjut hingga tempat lain.

Melatih ndaut

Saat memasuki musim tanam baru, khususnya padi. Biasanya petani jauh-jauh hari membuat lahan untuk proses penyemaian gabah. Gabah yang sudah direndam selama 2 hari kemudian didiamkan selama 3-4 hari hingga muncul akar-akar kecil kemudian disebar/semar di lahan yang sudah disiapkan.

Setelah berumur 19-25 hari, benih padi yang tumbuh nanti akan dicabut untuk ditanam di sawah yang sudah diratakan dengan traktor. Proses pencabutan benih padi inilah yang dikenal dengan sebutan "daut".

Di antara sawah-sawah yang sudah ditraktor, saya mengajak mereka untuk membantu pak lek yang sedang daut. Sambil duduk diatas lumpur sawah yang tak beralaskan, untuk ikut mencoba mencabuti benih-benih padi yang akan ditanam nantinya.

Benih-benih yang dicabuti ini dijadikan satu kemudian diikat menggunakan suwiran dari bambu yang dikenal dengan "wekis". Sebenarnya sebelum menggunakan bambu, menggunakan rumput sejenis alang-alang. Namun keberadaanya sekarang sulit untuk ditemukan.

Mencari ikan dan mandi di sungai

Kegiatan ketiga ini adalah yang paling favorit dan sangat menyenangkan. Setelah badan kotor dengan lumpur dan juga capek beraktifitas sebelumnya. Bermain disungai adalah hal yang tak boleh dilewatkan.

Sambil membersihkan diri, dan menyelam di sungai meraba-raba untuk mencari ikan. Jika beruntung biasanya dapat 3-4 ekor. Tapi kalo lagi apes ya tidak dapat apa-apa. Namun, kali ini saya dan mereka lagi belum beruntung. Alhasil ikan lagi jual mahal dengan kami semua.

Namun tidak apa-apa. Sebagai penghapus kekecewaan, saya mengajak mereka untuk membuat getek. saya membagi tugas untuk mencari pohon pisang untuk dijadikan getek.

Sementara saya mencari tali dan kayu untuk menyambung dan mengikatnya. Kondisi debit air yang lumayan deras, bisa dipastikan bermain getek akan jauh lebih menyenangkan dari pada mencari ikan. 

Tak terasa bermain disungai hampir 3 jam, matahari yang semakin panas dan kondisi mata yang semuanya berwarna merah. Akhirnya kami semua mengakhiri permainan tersebut untuk kembali ke rumah masing-masing.

Secara pribadi, tujuan saya mengajak mereka berlibur di sawah hari ini tentu ada pembelajaran dan juga pengalaman belajar yang dapat menjadi bekal dalam berkehidupannya kelak dewasa nanti. 

Belajar banyak tentang besosial dan berterima kasih dengan alam yang sudah mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Mengedukasi mereka untuk melihat sebuah proses menanam padi. Supaya mereka tau bagaimana lamanya padi hingga menjadi beras.

Lalu disajikan di meja untuk kita makan. Dengan harapan, mereka nanti bisa menghargai makanan dan tidak membuangnya sembarangan. Syukur-syukur bisa berbagi dengan tetangga atau orang yang membutuhkan.

Letak geografis yang telah menakdirkan kami tinggal dengan mayoritas penduduk sebagai petani untuk tidak menutup mata identitas yang sesungguhnya. Banyak dari mereka yang sudah dewasa malu untuk di rumah membantu orang tuanya beraktifitas di sawah, kebun maupun ladang. 

Merasa tidak bangga orang tuanya berprofesi sebagai petani. Bahkan, mereka lebih nyaman tinggal sebagai masyarakat urban. Padahal kehidupan ini jika cermati "sawang-sinawang" jika menurut orang jawa bilang. Artinya kelihatannya enak tetapi juga banyak masalah yang dihadapinya. 

Kelihatannya tidak enak, tetapi masalah yang dihadapinya sangat sedikit. Itulah namanya hidup, tidak ada yang sempurna. Tapi yang lebih penting, sempurnakanlah syukurmu. Maka sejatinya hidupmu akan terasa sempurna.

Nah, gimana menarik bukan? Banyak sekali kan yang kita dapatkan. Masih ngga pingin coba juga? Awas nyesel!

Salam,
Najmie Zulfikar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun