Mohon tunggu...
Najmie Zulfikar
Najmie Zulfikar Mohon Tunggu... Administrasi - Putra : Hamas-ruchan

Pe[ngen]nulis | Konten Kreator YouTube | Channel : James Kalica

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mulai Aja Dulu, Pasti Ada Jalan

6 September 2019   16:50 Diperbarui: 6 September 2019   16:50 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi : Tribun news

Pasca penetapan Kalimantan Timur sebagai lokasi baru pemindahan ibu kota menggantikan Jakarta banyak menuai polemik di kalangan masyarakat. Polemik yang santer beredar kaitannya tentang anggaran yang begitu besar untuk mendanai ibu kota baru. Pendanaan terhadap ibu kota baru diperkirakan menghabiskan dana 500 trilyunan. Ada kekhawatiran dari masyarakat dengan kondisi ekonomi sekarang jika pendanaan ibukota menelan biaya yang begitu fantastis.

Berkaca dari ekonomi saat ini kondisinya juga tidak sampai dua digit. Selain itu perang dagang Tiongkok dan Amerika membuat perekonomian Indonesia yang terombang-ambing dari fenomena tersebut juga harus diamankan agar tidak berada dalam pusaran pasar global. Hal inilah sebagai satu alasan yang menjadi kekhawatiran masyarakat karena ekonomi yang kurang baik kemudian membutuhkan pinjaman terhadap bank dunia untuk pendanaan ibu kota baru.

Perbaikan infrastruktur seperti jalan tol, bendungan, bandara, pelabuhan yang telah dikerjakan Presiden Joko Widodo pada periode pertama juga menghabiskan anggaran yang begitu besar. Mengingat ketertinggalan infrastruktur dari negara-negara lain yang sudah lebih dulu mempersiapkannya. Infrastuktur yang saling terkoneksi dan terintegrasi diharapkan mampu menekan laju pertumbuhan ekonomi dan membuka iklim baru untuk berinvestasi.

Namun, dampak dari pembangunan infrastruktur dirasa belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi saat ini. Apalagi akan ada pembangunan yang besar-besaran terkait pemindahan ibu kota baru. Hutang yang belum terselesaikan, harus hutang kembali untuk merealisasikan proyek tersebut. Sepertinya wajar jika masyarakat merasa khawatir akan beban negara terhadap bank dunia terus menumpuk. Apalagi jika negara hingga tidak mampu untuk melunasinya kemudian apa jaminannya untuk melunasinya.

Kalkulasi Presiden Joko Widodo antara memperbaiki ibukota dan membangun baru sudah dikaji secara matang dan mendalam dengan para pemangku kepentingan seperti Bappenas, Kemenkeu, maupun Kementrian PUPR. Dari segi anggaran, tata kota dan perencanaan sudah mulai disiapkan master plannya. Rancangan ibu kota baru ini akan menjadikan ibukota baru yang futuristik di masa yang akan datang. Dari sudut pandang saya, pemindahan ibukota dari Jakarta ke Kalimantan timur ada indikasi tiga hal positif yang dapat saya telaah.

Pertama, Kota Jakarta dirasa terlalu memikul beban berat sebagai penyangga ibu kota sekaligus pusat bisnis dan perekonomian Indonesia. Sebetulnya peran kedua ini tidak semestinya untuk disatukan. Sebagai contoh Amerika Serikat menata pusat bisnis dan perekonomian di New York. Sementara pusat pemerintahan (ibukota) berada di Washington DC. Sudah bertahun-tahun beban ini dibebankan kepada Jakarta. Apalagi saat ini usianya sudah mencapai 492 tahun. Tumpang tindih peran yang begitu besar nampaknya tidak sanggup lagi untuk membenahi Jakarta sebagai ibukota. Dan mengembalikan khittahnya sebagai pusat bisnis dan ekonomi.

Kedua, Presiden Joko Widodo adalah Kepala Negara yang distruption. Yang ingin memporak-porandakan mindset perilaku kerja yang terpaku pada linier, monoton, dan tidak mengadopsi inovasi yang hasilnya seperti itu-itu saja dari tahun ke tahun. Tidak mengenal terobosan, takut menentukan keputusan. Karena mindset masyarakat yang tidak mempunyai jiwa petarung dan merespon perubahan. Ada dorongan yang kuat dari presiden untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain melihat potensi bangsa yang dapat menjadi pusat ekonomi besar dunia kedepan.

Ketiga, seperti janji presiden yang kita ketahui bersama bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan beragam. Pemerataan ekonomi dapat dirasakan dampaknya dari seluruh wilayah, pembangunan tidak hanya terfokus pada pulau jawa. Tidak ada ketimpangan ekonomi dan sosial antar pulau kedepannya. Selain itu di periode yang kedua ini presiden ingin meninggalkan jejak manis dalam masa purna tugas menjadi kepala negara untuk kepentingan rakyat dan negara.

Keberanian Presiden Jokowi dalam memindahkan ibu kota perlu diapresiasi. Meskipun  membutuhkan anggaran yang begitu banyak. Kebijakan ini diambil bukan hanya jangka pendek saja, namun hingga masa-masa yang akan datang. Perlu direnungkan, bangsa ini harus sesegera mungkin keluar dari budaya yang monoton, serta adaptif terhadap perubahan. Dunia butuh Indonesia, bukan Indonesia butuh dunia. Oleh karena itu, jangan terjebak pada budaya menunggu (malas gerak). Namun, gerak cepat dalam merespon perubahan dan menciptakan peluang.

Sebagai putra bangsa, saya mendukung keberanian dari presiden untuk merealisasikan ibu kota baru untuk kemakmuran Indonesia di masa mendatang. Dan saya percaya apa yang dikatakan toko pedia: "mulai aja dulu". Dengan perasaan optimis, pasti ada jalan (gojec).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun