Mohon tunggu...
Najmie Zulfikar
Najmie Zulfikar Mohon Tunggu... Administrasi - Putra : Hamas-ruchan

Pe[ngen]nulis | Konten Kreator YouTube | Channel : James Kalica

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Hidup di Era Digital Bukan Berarti Lupa Perilaku Konvensional

6 April 2019   19:58 Diperbarui: 6 April 2019   20:36 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : Republika.co.id

Rotasi zaman membawa peradaban baru bagi masyarakat. Tak terkecuali dibidang teknologi. Keberadaan teknologi diyakini akan terus berkembang dan memunculkan inovasi-inovasi terbarukan. Tentu ada dampak negatif maupun positifnya.

Terlepas dari semua itu, keberadaan teknologi harus disikapi dengan bijak. Agar kondisi kehidupan menjadi seimbang tidak berat sebelah.

Keberadaan teknologi bahkan sudah melekat dalam sendi kehidupan. Dengan adanya teknologi dapat mempermudah pekerjaan maupun menciptakan pekerjaan. Misalnya, jika dahulu saat kita ingin pergi ke pasar harus ke pangkalan ojek, sekarang sudah cukup menggunakan aplikasi transportasi. Dalam hitungan menit, tukang ojek akan menghampiri dimana lokasi kita berada.

Kemudian jika kita hendak mengirimkan barang keluar kota, kita tidak perlu khawatir akan hal itu. Karena dengan adanya teknologi, jasa ekspedisi juga telah berinovasi dan memberikan pelayanan antar jemput kepada pihak yang bersangkutan.

Dampak teknologi dapat dirasakan langsung memang dalam kehidupan sehari-hari. Hadirnya teknologi juga berimbas kepada anak-anak. Kendati demikian, kini ponsel pintar (smartphone) bukan merupakan barang mewah lagi. Mulai dari anak TK maupun SD sudah piawai mengoperasikannya. Kebutuhannyapun beragam mulai dari alat komunikasi, browsing, game, youtube, maupun hiburan lainnya.

Tentu, sebagai orang tua pernah memiliki pengalaman seperti ini. Saat anak kita menangis di pagi maupun sore, dengan terburu-buru kita akan menggendongnya dan keluar rumah untuk mencari abang odong-odong. Dengan Rp. 1.000,- per lagu, mungkin 2-3 lagu anak kita akan lupa dengan tangisannya. Karena mendengar lagu-lagu yang menggambarkan keadaanya. Belum lagi ada anak-anak dari tetangga yang juga ikut naik odong-odong tersebut. Tentu hal ini juga dapat mengenalkan jiwa bersosial anak dengan lingkungan sekitar.

Kondisi saat ini memang beda. Saat anak menangis, bukan langsung menggendongnya. Melainkan mengulurkan gadget pada sang anak. Lalu sang anak dibiarkan memainkannya sendirian. Itulah mengapa orang tua lebih rela menghabiskan paket data, dibandingkan sekeping harta. Demi hilangnya tetesan air mata.

Jika kita melihat, saat anak sedang menangis kemudian kita menggendongnya. Disini ada sebuah proses kedekatan emosional dan juga transfer kasih sayang. Mengapa demikian?

Sebagai orang tua, ketika anak sedang menangis merupakan sebuah cobaan. Apakah kita akan berhasil menenangkannya atau sebaliknya? Jika dapat melewati cobaan ini, tentu akan ada ganjaran yang menanti. Ganjaran apakah yang kita dapatkan?

Ganjarannya adalah anak akan terbiasa dengan kita dan terbangun kedekatan emosional. Saat kita menggendong anak dan juga mengelus-elus punggungnya, disitu terdapat sentuhan kelembutan kasih sayang yang diberikan. Anak akan merasa terayomi saat dipeluk dan dielus-elus punggungnya. Ditambah lagi saat masih menangis, kita hibur dengan sesuatu hal yang lucu dan juga menimang-nimangnya dengan nyanyian atau yel-yel. Hal ini sebagai sebuah proses interaksi yang akan mendekatkan emosional kita.

Hal ini juga berlaku dengan anak-anak yang saat menangis disambut uluran gadget oleh orang tuanya. Saat anak menggenggam gadget, mulai merasakan kenyamanan. Jika gadget diambil, tangisan merong-rong siap menanti. Kedekatan emosial anak lebih kepada gadget. Bahkan sang anak rela ditinggal pergi oleh orang tuanya daripada gadget lepas dari genggamannya.

Membiasakan gadget tanpa pengawasan dan batasan tentu merugikan. Selain kedekatan emosial terhadap orang tua menjadi berkurang, resiko gangguan penglihatan siap mengantre di depan? Bukan tidak mungkin, mata minus dapat terjadi sejak dini. Apakah kita rela sang anak memakai kaca mata sebelum waktunya akibat perilaku orang tuanya?

Tentu, hal ini bukan keinginan kita bersama. Oleh karena itu, hidup di era digital bukan berarti melupakan perilaku-perilaku konvensional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun