Islam adalah agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk urusan rumah tangga. Dalam pandangan Islam, rumah tangga menjadi fondasi utama kehidupan manusia dan berperan penting dalam membangun masyarakat. Segala persoalan kehidupan manusia berakar dari rumah tangga, dan Allah menetapkan keluarga sebagai awal mula kehidupan manusia di bumi. Pembentukan keluarga dimulai melalui pernikahan. Dalam ajaran Islam, pernikahan adalah akad yang menghalalkan hubungan antara pria dan wanita yang bukan mahram, sekaligus menetapkan hak, kewajiban, dan saling membantu di antara keduanya. Pernikahan juga dipandang sebagai perjanjian yang suci, kokoh, dan mengikat untuk hidup bersama secara sah, guna membangun keluarga yang harmonis, penuh kasih sayang, dan bahagia. Lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan biologis, pernikahan merupakan bagian dari proses alami kehidupan manusia. Dalam hukum perkawinan Islam, terdapat elemen-elemen pokok yang mencakup aspek kejiwaan, kerohanian, lahiriah, dan batiniah, yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran. Selain itu, pernikahan didasari oleh nilai-nilai religius, menjadikan iman dan ketakwaan kepada Allah sebagai pilar utama kehidupan rumah tangga.
Disebutkan dalam pasal 2 dan pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berbuinyi : Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahuin 1974 tentang Perkawinan, dinyatakan bahwa : perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam Islam, terdapat dua jenis perkawinan yang diizinkan, yakni perkawinan monogami dan poligami. Secara umum, poligami merujuk pada bentuk Perkawinan di mana seorang suami menikahi lebih dari satu istri secara bersamaan, bukan pada saat upacara ijab qabul, melainkan dalam kehidupan berkeluarga. Sebaliknya, monogami mengacu pada bentuk Perkawinan di mana suami hanya memiliki satu istri selama periode waktu tertentu.
Masih terdapat perdebatan dan variasi pandangan di kalangan ulama mengenai praktik poligami dalam Islam. Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat yang membahas poligami menyatakan bahwa hal itu merupakan suatu kelonggaran yang diikuti oleh syarat-syarat yang tidak mudah dipenuhi. Oleh karena itu, diperbolehkannya poligami tidak hanya terkait dengan memenuhi kebutuhan biologis individu, melainkan juga terkait dengan nilai-nilai sosial yang perlu diwujudkan. Nilai-nilai social tersebut, yaitu seperti keadilan. Berdasarkan pemaparan Surat an-Nisa ayat 3 dan 129 menyebutkan bahwa seorang pria Muslim diperbolehkan menikahi maksimal empat wanita. Namun, jika tidak mampu berlaku adil dan cenderung berlaku zalim ketika memiliki beberapa istri, disarankan agar ia menikahi hanya satu istri. Adil menjadi karakter yang esensial bagi seseorang yang berkeinginan untuk menjalani poligami. Tanpa adanya keadilan, timbulnya rasa cemburu dan iri dari pasangan lain dapat menyebabkan konflik dalam lingkungan keluarga. Meskipun tujuan utama keluarga adalah mencapai kedamaian, baik secara fisik maupun mental, terwujudnya rasa adil dalam konteks poligami dapat menjadi hal yang sangat sulit.
Praktek awal poligami sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW memiliki tujuan yang luhur, yaitu untuk menegakkan keadilan di antara istri-istri, dan melindungi hak-hak anak yatim perempuan, baik melibatkan perlindungan harta maupun keamanan pribadinya dari perlakuan sewenang-wenang yang telah menjadi tradisi pada masa tersebut.
Pembahasan
Secara etimologis, istilah poligami berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari 2 (dua) pokok kata, yaitu “polu” yang berarti “banyak” dan “gamein” yang berarti “kawin”. Jadi, poligami berarti perkawinan yang banyak.4 Definisi etimologis ini dapat diuraikan dan dipahami sebagai bentuk perkawinan di mana salah satu pihak, yakni suami, menikahi lebih dari satu istri secara bersamaan. Hal ini berarti bahwa istri-istri tersebut tetap berada dalam tanggungan suami, tidak mengalami perceraian, dan masih diakui sebagai istri yang sah. Selain poligami, terdapat pula istilah poliandri, yang merujuk pada suatu bentuk perkawinan di mana salah satu pihak, yaitu istri, memiliki lebih dari satu suami dalam waktu bersamaan.
Secara terminologi, Siti Musdah Mulia mendefinisikan poligami sebagai bentuk perkawinan di mana seorang suami menikahi lebih dari satu istri secara bersamaan. Laki-laki yang terlibat dalam jenis perkawinan tersebut disebut sebagai poligami. Abdul Mujieb menjelaskan bahwa poligami merupakan bentuk perkawinan di mana seorang suami memiliki lebih dari satu istri. Meskipun Allah SWT mengizinkan poligami, namun jumlah maksimal istri yang diperbolehkan adalah empat orang, dengan syarat suami harus memperlakukan semua istri secara adil. Adil dalam konteks ini merujuk pada kemampuan suami untuk memberikan nafkah batin, sandang, pangan, dan papan secara adil kepada semua istri-istrinya.
Dasar hukum diperbolehkannya poligami sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat An-nisa Ayat 3, Yang Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan (yatim) bilamana kamu mengawininya maka kawinilah wanita-wanita yang lain yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu, adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa: 3).
Ayat ini masih berhubungan erat dengan ayat sebelumnya, yaitu al-nisa’ ayat 2, yang menejelaskan tentang kewajiban memberikan harta anak yatim jika dia sudah dewasa dan larangan memakan atau menggunakan hartanya dengan cara yang tidak sah. Pada ayat 3 ini lalu dijelaskan secara spesifik bahwa jika seorang wali merasa tidak mampu berbuat adil andaikan dia menikahi anak yatim yang berada dibawah asuhannya, maka lebih baik dia menikahi wanita lain selain anak yatim tersebut. Muhammad ‘Ali al-Shabuni menjelaskan bahwa letak munasabah dalam penyebutan anak yatim dan menikahi perempuan adalah bahwa kedua-duanya sama-sama dalam keadaan lemah, dan juga karena keduanya berada dibawah lindungan walinya. Oleh karena itu Allah melarang menikahi keduanya jika tidak bisa berlaku adil.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki pihak-pihak yang bersangkutan”. Selain itu dalam Pasal 4 ayat (1) dinyatakan “dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya”.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 mengatur ketentuan pelaksanaan pemberian izin poligami dalam Pasal 43 disebutkan bahwa “apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang”. Sedangakan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam memberikan landasan hukum pemberian izin poligami melalui Pasal 56 ayat (3) pasal ini menyatakan bahwa “Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum”.
Ketentuan-ketentuan diatas secara jelas menyatakan bahwa untuk berpoligami harus melalui izin Pengadilan Agama, dan apabila dilakukan diluar izin Pengadilan Agama, maka perkawinannya itu tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan demikian perkawinan itu dianggap tidak sah, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum. Konsekuensi ini dipahami dari hubungan kalimat “wajib” pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan dari ketentuan Pasal 56 ayat (3) KHI yang menyatakan “tidak mempunyai kekuatan hukum”. Kedudukan izin untuk berpoligami menurut ketentuan diatas adalah wajib, sehigga apabila dilakukan tidak lebih dahulu mendapat izin, maka perkawinan itu tidak mempunyai kekuatan hukum, dengan demikian perkawinan itu juga tidak sah karena dianggap tidak pernah telah terjadi. Konsekuensi perkawinan tersebut selanjutnya akan menjadi lebih rumit, karena segala akibat hukum dari hubungan perkawinan itu juga dianggap tidak ada, seperti anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut, oleh Undangundangsesuai dengan Pasal 42 dan 43 Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 dianggap anak lahir diluar perkawinan sehingga tidak mempunyai hubungan perdata (hukum) kecuali semata dengan ibunya. Dengan demikian semua hak-hak perdata anak akan terlepas dari sang ayah, artinya sang ayah tidak mempunyai kewajiban apapun secara hukum, dan dalam hal ini baik ibu atau anak-anak itu sendiri tidak dapat menuntut hakhak mereka, termasuk hak-hak yang menyangkut harta kekayaan.
Keberadaan ketentuan undang-undang yang mengatur keharusan izin poligami dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban umum, memberikan perlindungan dan jaminan hukum atas hak-hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum dalam hal, seberapa penting keharusan mendapat izin pengadilan untuk berpoligami, secara formal, urgensi izin berpoligami adalah agar terwujud kepastian hukum, ketertiban, perlindungan, dan jaminan hukum atas perkawinan itu sendiri. Ketentuan izin poligami diadakan untuk melindungi kepentingan, hak-hak dan kewajiban yang timbul akibat suatu perkawinan. Dengan demikian persyaratan formal begitu menentukan untuk tercapainya tujuan-tujuan perkawinan sesuai yang dikehendaki hukum materil. Oleh karenanya, baik ketentuan materil maupun formal tidak dapat dipisahkan, sebab keduanya memiliki pengaruh yang sama dalam menentukan kedudukan sah tidaknya perkawinan, tertutama terhadap pencapaian tujuan-tujuan perkawinan.
Pelaksanaan poligami sebenarnya telah berlangsung sejak zaman dahulu dan hingga saat ini masih berkelanjutan sebagai salah satu bentuk perkawinan yang kerap menjadi perbincangan di kalangan masyarakat. Sejumlah perkawinan dengan poligami telah umum dilakukan di kalangan masyarakat, seperti kalangan pejabat, ulama, artis, dan juga masyarakat biasa. Perkawinan poligami yang dilakukan oleh suami tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor biologis, ekonomi, budaya dan juga pendidikan. Namun, Seiring berjalannya waktu, berbagai faktor yang telah disebutkan sebelumnya mengalami perubahan. Kemajuan dalam kualitas pendidikan dan pengetahuan, termasuk di kalangan perempuan, terus meningkat. Hal ini mendorong perempuan untuk bersikap lebih tegas dan menolak perlakuan yang tidak adil. Kemajuan di bidang pendidikan juga berdampak pada peningkatan aspek ekonomi perempuan, yang pada gilirannya membuat mereka cenderung menolak menjadi istri kedua.
Di sisi lain, beberapa kelompok masyarakat atau komunitas agama mendukung poligami atas dasar keyakinan keagamaan atau tradisi budaya. Poligami merupakan bagian dari fenomena keagamaan, khususnya dalam ajaran Islam, di mana praktik ini diizinkan. Namun, masih banyak yang kurang memahami, bahkan enggan untuk mempelajari, persyaratan yang harus dipenuhi sebelum menjalankan poligami. Pada dasarnya, tujuan perkawinan adalah untuk mencapai ketenangan dan keharmonisan. Namun, keberadaan poligami seringkali menimbulkan ketidaknyamanan pada fitrah perempuan atau istri, sehingga menghambat tercapainya tujuan tersebut. Lebih jauh, hal ini dapat menyebabkan ketidakstabilan dalam hubungan keluarga.
Dalam praktik poligami, keadilan dalam rumah tangga merupakan hal yang mutlak ditanamkan. Isu keadilan dalam poligami hingga kini terus menjadi bahan perbincangan, terutama ketika menghadapi berbagai problematika yang muncul dari pelaksanaan poligami di kalangan umat Islam. Secara sosiologis, banyak yang menjalankan poligami namun gagal mewujudkan keadilan yang dituntut oleh syariat dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Berdasarkan penjelasan tersebut, salah satu aspek utama yang harus diperhatikan dalam poligami adalah pentingnya menanamkan nilai keadilan. Dalam hal ini, sosiologi berperan untuk mengkaji dan menganalisis pandangan masyarakat terhadap konsep keadilan dalam poligami, serta bagaimana hal ini memengaruhi penerimaan atau penolakan masyarakat terhadap praktik tersebut.
Dari sudut pandang hukum, poligami diperbolehkan, terutama dalam situasi yang mendesak, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan hukum positif di Indonesia. Namun, pelaksanaannya tetap harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Oleh karena itu, masyarakat yang memilih untuk menjalankan poligami wajib mematuhi persyaratan tersebut agar dapat mencapai kemaslahatan dan menjaga keseimbangan dalam kehidupan rumah tangga.
Referensi
Aprillia, F. D., & Setya, V. I. (2019). Komparasi Poligami dan Monogami Perspektif Hukum Islam. IJLIL: Indonesian Journal of Law and Islamic Law , 138.
Badruddin, H. (2018). Diktat Matakuliah Kompilasi Hukum Islam. Tangerang: PSP Nusantara Press. Malaka, Z. (2023). Perspektif Sosiologi Hukum Terhadap Poligami. Tarunalaw: Journal of law and syariah, 176-178.
Mardi, M. (2019). Problematika Hukum Poligami dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif Di Indonesia. Al-Ibrah, 92-93.
Raziq, A., & Faturrahman. (2020). Pendekatan Sosiologi dan Antropologi Tentang Poligami. Jurnal Tana Mana, 169.
Wati, A. N., & Tanjung, D. (2023). Perkawinan Poligami Perspektif Sosiologi Hukum dan hukum Islam. Rayah AL-Islam, 674.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H