Ketentuan-ketentuan diatas secara jelas menyatakan bahwa untuk berpoligami harus melalui izin Pengadilan Agama, dan apabila dilakukan diluar izin Pengadilan Agama, maka perkawinannya itu tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan demikian perkawinan itu dianggap tidak sah, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum. Konsekuensi ini dipahami dari hubungan kalimat “wajib” pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan dari ketentuan Pasal 56 ayat (3) KHI yang menyatakan “tidak mempunyai kekuatan hukum”. Kedudukan izin untuk berpoligami menurut ketentuan diatas adalah wajib, sehigga apabila dilakukan tidak lebih dahulu mendapat izin, maka perkawinan itu tidak mempunyai kekuatan hukum, dengan demikian perkawinan itu juga tidak sah karena dianggap tidak pernah telah terjadi. Konsekuensi perkawinan tersebut selanjutnya akan menjadi lebih rumit, karena segala akibat hukum dari hubungan perkawinan itu juga dianggap tidak ada, seperti anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut, oleh Undangundangsesuai dengan Pasal 42 dan 43 Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 dianggap anak lahir diluar perkawinan sehingga tidak mempunyai hubungan perdata (hukum) kecuali semata dengan ibunya. Dengan demikian semua hak-hak perdata anak akan terlepas dari sang ayah, artinya sang ayah tidak mempunyai kewajiban apapun secara hukum, dan dalam hal ini baik ibu atau anak-anak itu sendiri tidak dapat menuntut hakhak mereka, termasuk hak-hak yang menyangkut harta kekayaan.
Keberadaan ketentuan undang-undang yang mengatur keharusan izin poligami dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban umum, memberikan perlindungan dan jaminan hukum atas hak-hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum dalam hal, seberapa penting keharusan mendapat izin pengadilan untuk berpoligami, secara formal, urgensi izin berpoligami adalah agar terwujud kepastian hukum, ketertiban, perlindungan, dan jaminan hukum atas perkawinan itu sendiri. Ketentuan izin poligami diadakan untuk melindungi kepentingan, hak-hak dan kewajiban yang timbul akibat suatu perkawinan. Dengan demikian persyaratan formal begitu menentukan untuk tercapainya tujuan-tujuan perkawinan sesuai yang dikehendaki hukum materil. Oleh karenanya, baik ketentuan materil maupun formal tidak dapat dipisahkan, sebab keduanya memiliki pengaruh yang sama dalam menentukan kedudukan sah tidaknya perkawinan, tertutama terhadap pencapaian tujuan-tujuan perkawinan.
Pelaksanaan poligami sebenarnya telah berlangsung sejak zaman dahulu dan hingga saat ini masih berkelanjutan sebagai salah satu bentuk perkawinan yang kerap menjadi perbincangan di kalangan masyarakat. Sejumlah perkawinan dengan poligami telah umum dilakukan di kalangan masyarakat, seperti kalangan pejabat, ulama, artis, dan juga masyarakat biasa. Perkawinan poligami yang dilakukan oleh suami tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor biologis, ekonomi, budaya dan juga pendidikan. Namun, Seiring berjalannya waktu, berbagai faktor yang telah disebutkan sebelumnya mengalami perubahan. Kemajuan dalam kualitas pendidikan dan pengetahuan, termasuk di kalangan perempuan, terus meningkat. Hal ini mendorong perempuan untuk bersikap lebih tegas dan menolak perlakuan yang tidak adil. Kemajuan di bidang pendidikan juga berdampak pada peningkatan aspek ekonomi perempuan, yang pada gilirannya membuat mereka cenderung menolak menjadi istri kedua.
Di sisi lain, beberapa kelompok masyarakat atau komunitas agama mendukung poligami atas dasar keyakinan keagamaan atau tradisi budaya. Poligami merupakan bagian dari fenomena keagamaan, khususnya dalam ajaran Islam, di mana praktik ini diizinkan. Namun, masih banyak yang kurang memahami, bahkan enggan untuk mempelajari, persyaratan yang harus dipenuhi sebelum menjalankan poligami. Pada dasarnya, tujuan perkawinan adalah untuk mencapai ketenangan dan keharmonisan. Namun, keberadaan poligami seringkali menimbulkan ketidaknyamanan pada fitrah perempuan atau istri, sehingga menghambat tercapainya tujuan tersebut. Lebih jauh, hal ini dapat menyebabkan ketidakstabilan dalam hubungan keluarga.
Dalam praktik poligami, keadilan dalam rumah tangga merupakan hal yang mutlak ditanamkan. Isu keadilan dalam poligami hingga kini terus menjadi bahan perbincangan, terutama ketika menghadapi berbagai problematika yang muncul dari pelaksanaan poligami di kalangan umat Islam. Secara sosiologis, banyak yang menjalankan poligami namun gagal mewujudkan keadilan yang dituntut oleh syariat dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Berdasarkan penjelasan tersebut, salah satu aspek utama yang harus diperhatikan dalam poligami adalah pentingnya menanamkan nilai keadilan. Dalam hal ini, sosiologi berperan untuk mengkaji dan menganalisis pandangan masyarakat terhadap konsep keadilan dalam poligami, serta bagaimana hal ini memengaruhi penerimaan atau penolakan masyarakat terhadap praktik tersebut.
Dari sudut pandang hukum, poligami diperbolehkan, terutama dalam situasi yang mendesak, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan hukum positif di Indonesia. Namun, pelaksanaannya tetap harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Oleh karena itu, masyarakat yang memilih untuk menjalankan poligami wajib mematuhi persyaratan tersebut agar dapat mencapai kemaslahatan dan menjaga keseimbangan dalam kehidupan rumah tangga.
Referensi
Aprillia, F. D., & Setya, V. I. (2019). Komparasi Poligami dan Monogami Perspektif Hukum Islam. IJLIL: Indonesian Journal of Law and Islamic Law , 138.
Badruddin, H. (2018). Diktat Matakuliah Kompilasi Hukum Islam. Tangerang: PSP Nusantara Press. Malaka, Z. (2023). Perspektif Sosiologi Hukum Terhadap Poligami. Tarunalaw: Journal of law and syariah, 176-178.
Mardi, M. (2019). Problematika Hukum Poligami dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif Di Indonesia. Al-Ibrah, 92-93.