Mohon tunggu...
Najla Rafila Febianti
Najla Rafila Febianti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Indonesia

untuk karya tulisku..

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku Komunikasi Profetik Bab 9 (Holy Rafika Dhona)

27 November 2021   12:44 Diperbarui: 27 November 2021   13:02 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana Islam menggambarkan dan mendefinisikan komunikasi manusia?

Dengan adanya kisah atau cerita nabi Adam pada Q.S Al – Baqarah ayat 31, Manusia dalam ayat ini digambarkan sebagai makhluk yang diajari menamai ketimbang makhluk berbahasa. Ayat ini mengajarkan bahwa tindakan komunikasi Adam sebagai manusia menyebut benda - benda di hadapan malaikat dan Tuhan haruslah dilihat sebagai tindakan menamai. Konsep komunikasi dalam tindakan menamai ini ada dua hal yang harus di pahami. Pertama, menamai itu bersifat konstitutif, yang berarti punya efek membentuk sesuatu. Menamai tidaklah sama dengan mengatakan atau membahasakan. tindakan konstitutif yaitu sebuah tindakan yang membentuk suatu pemahaman tertentu. Contohnya komunikasi pada era post- truth membuktikan bahwa status sebuah informasi adalah hoax atau benar, tidak mempengaruhi pada sebuah komunikasi. Komunikasi akan selalu tetap konstitusi. Hal kedua menamai adalah upaya kategorisasi dan karena nya politis. maksudnya kegiatan mengatakan atau membahasakan adalah merepresentasikan sesuatu melalui wujud kata atau bahasa, namun kegiatan menamai adalah merepresentasikan tapi sekaligus juga memberi identitas pada obyek yang diberi nama. Identitas sangat erat kaitannya dengan politik, misalnya identitas Muslim Jawa dituliskan Raffles (1830) sebagai “mahomedans” yang berarti pengikut Muhammad. berarti penamaan “mahomedan” ini memposisikan bahwa penduduk Jawa sebagai pengikut sekte Muhammad yang ingkar pada keyakinan  Katholik. Artinya muslim hanyalah dilihat sebagai sebuah sector pecahan atau kepingan dari Katholik dan bukan agama. Menamai dengan demikian bukanlah pekerjaan yang netral. Tindakan menamai melihat melibatkan kuasa manusia.

Pada sub bab kedua mengenai mustadh’af sebagai instrument analitis, di katakana bahwa konsep mustadh’af atau orang yang dilemahkan penting untuk dipahami. Konsep ini adalah salah satu konsep kunci untuk memahami komunikasi profetik. Lanjut dijelaskan mengenai beberapa ayat al-qur’an yang membahas tentang hal ini yaitu Q.S Ghafir ayat 47 dan Q.S As-Sab ayat 31-33. Yang dimana al-qur’an konsisten untuk membedakan dhu’afa dan mustadh’af. Dhu’afa adalah lemah karena faktor internal sementara mustadh’af lemah karena faktor eksternal atau ketidakadilan. Oleh sebab itulah komunikasi profetik Memilih istilah mustadh’af untuk menekankan bahwa tujuan dari perspektif profetik adalah untuk mewujudkan ketidakadilan, memihak pada mustadh’af. Istilah Mustadh’af ini tidak sendirinya mengeksklusi konsep dhu’afa, tapi semata untuk menekankan pembelaan pada keadilan dan demikian memerlukan sebuah analisis sosial yang seksama. Dijelaskan juga dalam bab ini mengenai kenabian, mustadh’af dan hijrah karena ketiga ini saling berhubungan. Karena kenabian sangat erat kaitannya dengan pembelaan mustadh’af dan hal ini masuk kedalam konsep hijrah.  Dalam Q.S An-Nisa ayat 75 membela mustadha’afun adalah perintah Allah dan Mustadh’afun dihubungkan dengan hijrah yang terwujud dalam doa dari mustadh’af agar mereka dikeluarkan dari negeri nya yang zalim. Bahwa derita ketidakadilan Mustadh’af adalah sampai dimana mereka harus meninggalkan tempat mereka berdiam, memulai kehidupan baru di tempat yang lain.

Pada subbab ketiga, yaitu Prinsip komunikasi menurut Al-Qur’an dijelaskan mengenai etika normative yang di dasari oleh 6 prinsip komunikasi menurut Jalaluddin Rakhmat, atau dikenal dengan 6 prinsip qaulan.

  • Qaulan Sadiidan (Q.S An-Nisaa ; 9 dan Q.S Al-Ahzab ; 70)
  • Prinsip ini berkaitan dengan kebenaran komunikasi yang dilakukan yaitu menyampaikan dengan benar sebuah pesan adalah prasyarat untuk menjadi kebenaran itu sendiri. Dengan kata lain, masyarakat akan rusak bila isi pesan komunikasi nya tidak benar. Prinsip ini berarti juga terkait dengan masalah kejujuran. Prinsip ini juga berkaitan dengan pesan yang benar dan tepat sasaran, sebab pada perkataan yang benar tapi tidak tepat sasaran. Sehingga ini adalah perintah umum untuk berkata benar untuk semua bidang kehidupan dan kondisi yang ada
  • Qaulan baliighan (Q.S An-Nisa ; 63)
  • Prinsip ini berkaitan dengan kata balig berarti sampai, mengenai sasaran atau mencapai tujuan. Prinsip ini berkaitan dengan efektivitas komunikasi, tepat mengungkapkan apa yang diinginkan. Berkomunikasi haruslah dilakukan dengan efektif, tepat sasaran dan tujuan.
  • Qaulan maysuuran (Q.S Al – Isra’ ; 28)
  • Prinsip ketiga merujuk pada hubungan yang menjadi dimensi komunikasi, sebab ketika kita berkomunikasi kita tidak hanya menyampaikan pesan tapi juga menyampaikan hubungan (Amir, 1999). Sementara itu Iswandi Syahputra mengertikan konsep ini sebagai komunikasi yang tendency, menggunakan argumentasi yang rasional dan dapat diterima.
  • Qaulan layyinan ( Q.S At-Thaha ; 44)
  • Prinsip kempat berarti komunikasi yang lemah lembut. Namun berbicara lunak tidak berarti tidak jelas. Komunikasi harus dilakukan dengan lembut tanpa emosi apalagi mencaci maki orang yang ingin dibawa ke jalan yang benar (Amir, 1999). Artinya prinsip ini adalah strategi menaklukan hati yang keras dengan perkataan lemah lembut.
  • Qaulan kariiman (Q.S Al - Isra’ ; 17)
  • Prinsip kelima berarti komunikasi Islam harus memperlakukan orang lain dengan penuh hormat. konsep ini menyiratkan prinsip utama dalam etika komunikasi Islam yakni penghormatan. Konsep ini merujuk pada prinsip komunikasi yang dikaitkan dengan tingkat pendidikan ekonomi dan strata sosial (Syahputra, 2017). Inti prinsip ke kelima adalah ungkapan yang indah dan penuh adab sehingga orang lain merasa dihormati dan dimuliakan
  • Qaulan ma’ruufan ( Q.S Al-Baqarah ; 235, Q.S AN-Nisa ; 5, dan Q.S Al – Ahzab ; 32)
  • Prinsip ke enam adalah berkaitan dengan kode Etik atau kebaikan. Ibnu Zaidi mengatakan bahwa makna prinsip ini adalah ucapan yang baik, pantas, dan tegas. Jalaluddin Rakhmat menjelaskan prinsip ini berarti perkataan yang baik, karena Tuhan menggunakan frasa ini ketika berbicara tentang kewajiban orang orang kaya atau orang kuat terhadap orang orang miskin dan lemah. Artinya prinsip ini dimaksudkan agar seseorang berkomunikasi dengan pantas karena perasaan yang menjadi lawan bicaranya sangat sensitif atau sentimental.

Kelebihan buku ini :

Bahasa yang digunakan dalam buku ini lugas dan jelas sehingga ketika membacanya kita akan paham mengenai topik pembahasan. Cara menjelaskan atau memberi contoh juga menarik sehingga jauh lebih mudah dipahami. Karena isinya yang dapat dikatakan lengkap buku ini sangat menunjang untuk dibaca untuk memahami konsep komunikasi kenabian.

Kekurangan buku ini : karena semua buku ini berisi poin – poin penting dan hal ini menjadi rumit ketika harus meringkas atau ingin mengambil kesimpulan. Alangkah lebih baik untuk poin- poin kesimpulan di tebalkan kalimatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun