Mohon tunggu...
Najlaa Kamilia
Najlaa Kamilia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Indonesia

An undergraduate student at Political Sciences, Universitas Indonesia. Have interest in gender-equality issues. Eager to learn new things!

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Konflik Zionis Israel-Palestina Berujung Genosida Melalui Perspektif Orientalisme

11 April 2024   16:03 Diperbarui: 11 April 2024   16:03 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"from the river to the sea, Palestine will be free!"

Menjadi kalimat seruan yang saat ini diteriakkan oleh para aktivis pendukung Palestina terhadap kelompok Hamas yang tengah berkonflik dengan pasukan zionis Israel yang masih berlangsung di Palestina hingga sampai saat ini. Konflik di antara keduanya menjadi salah satu konflik antar negara paling panjang dalam sejarah konflik dunia. 

Pertama kali meledak pada tahun 1948 namun Israel atau Zionist Jewish sendiri telah merancang rencana untuk mengambil tanah Palestina sejak puluhan tahun sebelumnya. Dengan mengadakan konferensi Zionis tahunan yang pertama kali dicetus oleh jurnalis Austria bernama Theodor Herzl, kaum Zionis mulai dikumpulkan untuk membahas perencanaan tersebut. Menetapkan Palestina sebagai tempat didasarkan pada kitab Taurat bahwa Tuhan menjanjikan tanah Kanaan, yaitu Palestina, kepada kaum mereka. 

Langkah Israel selanjutnya adalah mencari dukungan kepada negara lain dengan cara merangkul simpati Balfour sebagai menteri luar negeri Inggris yang dilakukan oleh seorang Jewish Eropa bernama Dr. C. Weizmann. Setelah kekalahan kesultanan Ottoman pada Perang Dunia I, Inggris mendeklarasikan dukungannya kepada Israel melalui Deklarasi Balfour yang diadakan pada tahun 1918 dengan menjanjikan tanah Palestina kepada Zionist Jewish. 

Deklarasi ini yang kemudian menjadi penyulut Peristiwa Nakbah tahun 1948. Karena setelah deklarasi tersebut, tahun-tahun selanjutnya orang-orang Jewish melakukan migrasi massal menuju Palestina yang berlangsung pada tahun 1920 hingga 1939. Hal ini semakin menyulut konflik di antara keduanya karena sejak migrasi massal ini bangsa Palestina merasakan adanya ketimpangan antara bangsanya dengan bangsa Israel. Perlawanan dilakukan oleh bangsa Palestina sebagai bentuk respon terhadap tindakan-tindakan bangsa Israel yang dinilai mulai merugikan bangsanya. 

Ketegangan mulai terjadi hingga Inggris menyerahkan konflik kedua negara ini kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebagai organisasi internasional yang bergerak untuk mengurusi perdamaian dunia, PBB mengeluarkan resolusi yang dinamakan Partition Plan tahun 1947 yang memuat pembagian wilayah di Palestina kepada Israel dan negaranya. 

Namun pembagian ini nyatanya hasil pembagian wilayah dinilai menguntungkan bagi pihak Israel saja. Hal ini membuat ketegangan di antara keduanya meledak menjadi sebuah deklarasi perang pada tahun 1948. Peristiwa besar yang dinamai Nakba 1948 ini mewakili situasi yang dialami pihak bangsa Palestina karena menjadi titik awal dari malapetaka mereka. 

Dunia seharusnya berpandangan lebih terbuka terhadap situasi yang sebenarnya terjadi bagi bangsa Palestina. Karena situasi yang sedang terjadi di sana tidak layak disebut sebagai perang sebab sejak tahun 1948 Israel telah berencana melakukan pembersihan etnis terhadap bangsa Palestina. Istilah yang lebih tepat disematkan adalah genosida, yang masih terus berlangsung sampai pada hari ini. 

Tepatnya pada tanggal 7 Oktober 2023 ketegangan di antara kedua negara ini kembali meledak lantaran Hamas yang merupakan kelompok Palestina meluncurkan serangan ke wilayah Israel bagian Selatan. Menurut keterangan Mohammad Deif selaku Komandan Militer Hamas serangan besar ini merupakan bentuk protes mereka terhadap blokade yang dilakukan Israel di Gaza yang sudah berlangsung selama 17 tahun. 

Sepanjang tahun itu pergerakan warga Palestina sangat dibatasi oleh aturan yang diberlakukan oleh pemerintah Israel. Untuk bepergian mereka harus melalui pos pemeriksaan yang dijaga sangat ketat, itupun apabila warga Palestina berhasil memperoleh izin kerja atau dalam kasus mendesak mereka harus dibawa menuju daerah Tepi Barat yang diambil alih Israel untuk melakukan perawatan medis. Selain itu, blokade ini juga menjadi ancaman bagi perekonomian Palestina yang telah terhenti sejak blokade berlangsung. 

Akibatnya, kurang lebih separuh warga Palestina tidak memiliki pekerjaan bahkan di antara pemuda tingkat pengangguran mencapai lebih dari 60%. Alasan lain di balik operasi ini adalah tindakan penistaan warga Israel terhadap Masjid Al-Aqsa yang menjadi tempat ibadah tersuci ketiga bagi umat Islam. Sehingga operasi penyerangan ini dikenal dengan sebutan Operation Al-Aqsa Flood.

Beberapa saat setelah penyerangan oleh Hamas terhadap Israel yang memakan sebanyak 1.300 korban jiwa warga Israel. Tidak lama setelahnya Israel mendeklarasikan perang sambil mencari dukungan kepada Amerika dan Eropa dengan melakukan serangan balik secara brutal. 

Serangan brutal oleh Israel ini menjadi serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya hingga membuat separuh penduduk Palestina melakukan pengungsian. Menurut laporan (SHAATH & OWDA, 2023) akibat serangan balik brutal ini menewaskan sejumlah 5.087 warga Palestina termasuk 2.055 anak-anak. Pesawat tempur yang dibawa oleh pasukan militer Israel merobohkan sebagian besar infrastruktur yang berada di wilayah Palestina hingga memutus jaringan telekomunikasi di sana yang berakibat pada terisolasinya warga Palestina dari dunia luar. 

Malapetaka tak berujung yang dialami Palestina oleh Israel ini dapat dilihat melalui perspektif orientalisme yang digagas oleh Edward Said. Dalam bukunya Said menjelaskan konsep orientalisme yang mempercayai adanya gap besar antara Barat dan Timur dengan menempatkan Timur dalam posisi inferior. 

Barat menempatkan dirinya sebagai ras paling unggul dibandingkan ras Oriental atau Timur. Dengan superiority yang dirasakan Barat membuatnya memandang Timur dengan stereotip yang negatif, seperti melabeli Timur sebagai primitif dan pantas untuk ditindas. Hal ini dapat dilihat melalui representasi orang Timur dalam film-film produksi Barat yang dimunculkan dengan sifat yang kejam, licik, sadis, dan hina. 

Bagaimana Amerika Serikat memihak dan mendukung penuh kekejaman yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina menjadi jelas bahwasanya gagasan orientalisme memang menjadi gagasan yang tercipta oleh bangsa Barat untuk menginvasi Timur. Upaya Israel untuk menguasai tanah Palestina merupakan representasi dari upaya Barat yang berusaha mengambil alih wilayah Timur dengan alasan Timur adalah wilayah primitif yang harus diperbaiki. 

Selain itu, fakta bahwa media internasional menggambarkan Palestina sebagai teroris bengis yang berusaha memerangi Israel yang justru digambarkan sebagai korban yang terpojok menjadi bukti lain bagaimana gagasan orientalisme dipraktekkan dengan memberikan Timur, yaitu Palestina, dengan stereotip-stereotip negatif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun