"Jalur ini juga sudah punya semua kantor, legal yang dibutuhkan. Bahkan sudah ada kapal-kapal yang melewati jalur ini sejak dibuka pada 2011," ujarnya.
Dengan demikian, Indonesia perlu mencermati perkembangan konflik dan kerja sama di kawasan tersebut.
Sangat amat disayangkan Indonesia belum melihat potensi yang bisa digali di kawasan ini. Padahal menurut Ardhi, Dewan Arktik telah berulang kali mengundang Indonesia untuk berpartisipasi di kawasan Arktik.
Seperti yang kita ketahui, Dewan Arktik (DA) merupakan organisasi tinggi antar pemerintah yang mempromosikan kerja sama, koordinasi, dan interaksi antar negara Arktik.
Dewan Arktik sendiri didirikan berdasarkan Deklarasi Ottawa 1996 dan beranggotakan delapan negara yaitu Rusia, Kanada, Amerika Serikat, Denmark (Greenland & The Kepulauan Faroe), Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Islandia.
Dengan menjadi 'permanent observer' (pengamat tetap), negara anggota dapat belajar tentang mitigasi perubahan dan mendapatkan data dari tangan pertama.
Terdapat lima negara Asia yang tergabung sebagai observer di Arctic Council yakni, China, India, Jepang, Korea Selatan dan Singapura.
Kehadiran negara Asia ini tidak hanya semata untuk kepentingan riset ilmu pengetahuan saja, namun, mereka melihat potensi ekonomi yang besar dan membawa kepentingan nasional di kawasan Arktik yang akan menjadi pusat perhatian politik global.
Potensi ini terlihat dari produsen Liquefied Natural Gas (LNG) terbesar Rusia Novatek yang menjual 20% sahamnya pada April 2019 di Arctic LNG 2 kepada dua perusahaan China yaitu China National Oil and Gas Exploration and Development Company (CNODC) dan China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) yang akan menyuplai kebutuhan energi China.
Tentunya hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi Indonesia untuk mengajukan diri menjadi observer di Arctic Council untuk mempermudah akses ke kawasan Arktik demi kepentingan nasional di kawasan tersebut.
Di sisi lain, Singapura mengincar posisi tradisionalnya sebagai negara pelabuhan yang akan dilalui jalur NSR.