Belakangan ini perihal Redenominasi kembali terangkat di media cetak maupun media elektronik. Dengan munculnya desain uang NKRI yang mengganti nilai pecahan dengan mengurangi angka 3 digit, seakan Redenominasi dalam waktu dekat ini akan di terapkan. Isu tersebut langsung di klarifikasi oleh Departemen Komunikasi Bank Indonesia, yang menyatakan bahwa desain tersebut bukanlah merupakan gambar uang Rupiah yang akan diterbitkan. Begitu juga saat iniRUU Redenominasi masih dalam pembahasan di DPR-RI dan jelas belum ditetapkan. Hal ini mengarah pada satu opini bahwa kebijakan redenominasi Rupiah belum bisa diimplementasikan dalam waktu dekat ini.
Pertanyaan dari banyak masyarakat, apakah Redenominasi perlu dilakukan atau tidak?. Dengan berbagai polemik pendapat yang di lontarkan, sisi negatif nya menunjukkan bahwa sosialisi Redenominasi belum secara luas menyentuh lapisan masyarakat. Banyak kerancuan masyarakat yang masih menyamakan Redenominasi dengan Sanering, padahal jelas kedua hal tersebut merupakan hal yang berbeda. Redenominasi bertujuan menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dan nyaman dalam melakuan transaksi, yang mana hal itu harus dilakukan pada saat kondisi makro ekonomi stabil. Sementara, Sanering bertujuan memotong nilai mata uang yang beredar akibat lonjakan harga-harga, dan juga hal ini dilakukan karena terjadi nya hiperinflasi.Dari pengertian yang telah dijabarkan sudah dapat ditarik benang merah nya bahwa redenominasi itu hanyapenyederhanaan nilai mata uang tanpa mengurangi nilaidari uang tersebut. Namun bagi sebagian masyarakat Indonesia, hal ini masih sangat sering di salah artikan.
Untuk masyarakat berpandangan global dan paham ekonomi, perubahan dalam rangka mempersiapkan kesetaraan ekonomi ASEAN 2015 ini merupakan hal yang mudah dipahami, Sebagian juga justru turut antusias menyambut penerapannnya.Namun bagi lansia atau sebagian masyarakat Indonesia yang masih kurang dalam pemahaman, akan menjadi sesuatu yang salah di artikan.
Fakta uniknya saat ini, walaupun tanpa sadar masyarakat mulai di ajarkan untuk menyederhanakan nominal dalam sebagian perilaku konsumsi harian. Sewaktu bertransaksi di pasar sering kali terjadi proses Redenominasi. Percaya atau tidak percakapan sejenis ini sering ditemukan; “Mas, cabe nya sekilo berapa?” tanya pembeli, “40 bu” Tanpa menyebut dengan jelas bahwa yang dimaksud adalah Rp 40.000, semua sudah faham bahwa yang dimaksud adalah Rp 40.000 padahal si penjual hanya bilang “empat puluh”. Bukan hanya dari percakapan, di pinggir – pinggir jalan kota, papan daftar harga pulsa isi ulang selalu menyederhanakan harga ribuan menjadi satuan. Penulisan harga Rp.27.000 hanya di tulis dengan angka "dua puluh tujuh" saja.
Jika di perhatikan saat ini ketika anda ingin membeli makanan atau minuman di kafe dan restaurant, penulisan untuk price list nya pun tidak sedikit yang melakukan pemotongan nominal pada harga. Dibeberapa kota besar terutama kota-kota dengan tingkat wisatawan mancanegara yang cukup tinggi, redenominasi sudah mulai dilakukan dengan caranya sendiri. Penggantian angka nol dibelakang tidak jarang digantikan dengan huruf “K” (kilo) semisalnya di Jakarta, di beberapa restoran harga satu porsi makanan besar yang seharusnya Rp. 45.000 di ganti menjadi IDR 45K. Sebut saja, starbucks, coffe bean, j.co dan kafe – kafe lainnya yang telah menerapkan sistem ini.
Hasil riset saya terhadap satu perusahaan yang bergerak di bidang hospitality yang membawahi 16 restaurant, bar dan catering telah mendeklarasikan bahwa semua price list telah mendukung gerakan Redenominasi, dengan menghilangkan 3 digit terakhir pada nominal harga. Penyederhanaan seperti ini banyak dilakukan di menu-menu restoran, bahkan papan-papan petunjuk menu di pinggir jalan saat ini sudah marak melakukan nya. Singkat cerita, disadari atau tidak kita diam – diam secara tidak langsung sudah menyederhanakan penyebutan nominal yang ada di sekitar kita. Kenapa penyederhanaan tersebut tidak diresmikan saja dengan mengganti nilai nominal pada uang Rupiah yang ada? Mengapa rasanya harus sulit sekali melakukan penyesuaian ini, sementara fenomena ini telah berlangsung di sekitar kita.
Sekarang mungkin langkah yang sebaiknya di lakukan adalah meredam kepanikan masyarakat yang belum terbiasa akan hal ini. Karena sesungguhnya secara tidak langsung Redenominasi diam – diam telah berjalan pada tatanan konsumsi harian masyarakat. Jika kebijakan redenominasi Rupiah belum bisa diimplementasikan dalam waktu dekat ini, dikarenakan berbagai hal seperti pertumbuhan ekonomi yang belum cukup tinggi, inflasi yang tidak stabil, serta belum adanya jaminan stabilitas harga, biarlah itu menjadi urusan pihak terkait. Setidak nya masyarakat dapat bersama mendukung hal ini dalam sosialisasi nya, sehingga timbul nya rasa butuh akan hal ini untuk dilakukan dan kesiapan mental masyarakat yang dapat tumbuh perlahan namun pasti. Jika dengan baik tahap sosialisasi terlewati, maka tahap transisi menjadi redenominasi utuh akan lebih cepat di impelentasikan. Toh, sekarang ini kita sudah diam – diam redenominasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H