Mohon tunggu...
Ahmad Najiburrohman
Ahmad Najiburrohman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Hobi saya adalah petualangan, khususnya naik gunung, tapi bukan berarti setiap hari saya berpetualangan ya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Pernikahan Lintas Agama Menurut Hadis

31 Mei 2022   03:02 Diperbarui: 31 Mei 2022   03:04 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernikahan adalah suatu sarana yang disediakan Allah SWT kepada manusia untuk mengekspresikan rasa cinta. Karena manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling mulia dan terdiri atas dua jenis yakni laki-laki dan perempuan, sehingga Allah juga menganugerahkan rasa cinta diantara keduanya dalam penciptaannya. Pernikahan yang baik adalah pernikahan diantara pria dan wanita yang disamping saling cinta dan ketulusan hati,  juga sama dalam hal akidah dan tujuannya. Karena keterpaduan inilah yang menjadikan keluarga sejahtera, tentram, bahagia, saling cinta, dan memberikan kasih sayang.

Arti dari akidah yang sama adalah agama yang sama. Jadi kehidupan keluarga seperti itu akan sulit terwujud, kecuali jika pria dan wanita berpegang kepada agama yang sama. Jika agama keduanya berbeda , akan timbul berbagai kesulitan dalam berkeluarga, seperti pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan makanan, tradisi agama, dan lain-lain.

Dalam islam sendiri pernikahan pria dan wanita yang berkeyakinan berbeda menjadi salah satu persoalan yang sensitive. Perdebatan para ahli hukum islam sudah sering terjadi dalam hal ini. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melarang secara mutlak model pernikahan pasangan yang berbeda agama, baik pria muslim dengan wanita non-muslim ataupun sebaliknya. Ayat-ayat al-Qur’an, seperti surat al-Baqarah ayat 221, surat al-Maidah ayat 5 telah menjelaskan persoalan ini. Tetapi bagaimana dengan hadits yang menjadi sumber hukum Islam ke-2 menjelaskan persoalan ini.

Tidak banyak hadits nabi yang menjelaskan tentang persoalan ini, mungkin karena al-Qur’an sudah sangat jelas dan tegas tentang pernikahan lintas agama melalui ayat-ayatnya. Diantara hadits tersebut adalah sebagai berikut:

حَّدَّثَنَا قُتَيْبَهُ حَدَّثَنَا لُيْثٌ عَنْ نَا فِعِ أَنْ ابْنَ عُمَرَ كَا نَ اِذَا سُْئِلَ عَنْ نِكَاح َلَّنصْرَاِنيَّةِ وَالْيَهُوْ دِيَّةِ قَا لَ اِنَّ االلهَ حَرَّمَ اْلمُشْرِكَاتِ عَلَى اْلمُؤْمِنِيْنَ وَلَا أَعْلمِ مِنْ اْلاِ شْرَاكِ شَيْئًا أَكْبَرَ مِنْ أَنْ تَقُوْلَ اْلَمْر أَةُ رَبُّهَا عِيْسَى وَهُوَ عَبْدٌ مِن عِبَا دِ الله

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami al-Laits dan Nafi’ menceritakan bahwa Ibn Umar ketika ditanya tentang menikahi wanita Nasrani dan Yahudi, ia menjawab: sesungguhnya Allah telah mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi kaum muslimin dan aku tidak tahu syirik manakah yang lebih besar daripada seorang perempuan yang berkata Tuhannya adalah Isa, sedangkan Isa adalah salah seorang diantara hamba Allah.” H. R. Bukhari.

Jika dilihat dari segi kuantitasnya hadits ini berstatus ahad gharib, karena dilihat dari silsilah sanadnya mulai dari tingkatan sahabat sampai periwayat hadits ini, yakni Imam Bukhari hanya memiliki satu jalur sanad. Meskipun dari segi kuantitasnya berstatus ahad gharib, tapi dari segi kualitasnya hadits tersebut berstatus shahih. Unsur ketersendirian dalam hadits ahad gharib bukanlah cacat yang dapat menyebabkan suatu riwayat berstatus dha’if (lemah). Selama hadits itu memenuhi persyaratan hadits shahih maka hadits ahad gharib bisa saja berstatus hadits shahih. Sehingga hadits tersebut dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum walaupun masih banyak perselisihan pendapat di kalangan ulama.

Hadits diatas menceritakan tentang pendapat Ibnu Umar ketika ditanya tentang hukum menikahi seorang wanita yang beragama Nasrani dan Yahudi. Ibnu Umar berpendapat bahwa menikahi wanita musyrik adalah haram karena tidak ada syirik yang lebih besar daripada seseorang yang menyekutukan Allah, yakni anggapan isa adalah tuhan padahal isa adalah nabi/utusan Allah. Seperti yang telah kita ketahui, bahwasanya anggapan seperti itu adalah keyakinan yang dianut oleh kaum Nasrani/Kristen.

Memang benar dalam sebagian riwayat menikahi ahli kitab adalah boleh. Lalu apa pengertian ahli kitab itu sendiri?. Ahli kitab  adalah penganut agama-agama samawi  yang mempunyai kitab dari Allah. Maka kesimpulannya penganut agama Nasrani dan Yahudi adalah ahli kitab. Karena kedua agama tersebut mempunyai kitab yakni injil dan Taurat.  

Tetapi menurut pendapat terkuat dari kalangan Syafi’iyah yang disebut ahli kitab adalah mereka yang menganut agama Nasrani atau Yahudi semenjak masa sebelum Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul atau sebelum al-Qur’an diturunkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa penganut agama Nasrani atau Yahudi setelah diangkatnya Nabi Muhammad menjadi rasul atau setelah al-Qur’an diturunkan tidaklah dianggap sebagai ahli kitab. 

Pendapat ini dikuatkan lagi oleh ibnu Qudamah dalam kitab al-mughni, apabila seorang wanita murtad dari agama Islam maka dipandang tidak beragama, sekalipun ia pindah ke agama yang berkitab (ahl-al-kitab) samawi. Oleh karena itu, haram hukumnya menikahi wanita tersebut.

Kesimpulan

Menikah lintas agama dari perspektif hadist Ibnu Umar diatas adalah haram karena berbagai alasan.

  • Yang diperbolehkan dinikahi adalah ahli kitab, sedangkan penganut agama Nasrani atau Yahudi bukan lagi disebut ahli kitab.
  • Nasrani menuhankan Isa bin Maryam dan Yahudi menuhankan uzer, sehingga mereka bukan lagi ahli kitab tetapi musyrik (orang yang menyekutukan Allah).
  • Status ahli kitab adalah penganut agama yang mempunyai kitab samawi sebelum nabi Muhammad diutus, tetapi ketika Nabi Muhammad diutus atau al-Qur’an diturunkan status Ahli kitab dibatalkan dengan datangnya Islam.

Entah pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim ataupun laki-laki non-muslim dengan wanita Muslimah hukumnya sama-sama haram, berdasarkan alasan-alasan diatas yang terkandung dalam hadits Ibnu Umar.

Referensi:

Muhammad Farid, “PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HADIS AHKAM”, Al-Bayyinah: Journal of Islamic Law, Vol. 6, No. 2.

Sawaun, “PERNIKAHAN LINTAS AGAMA DALAM PERSPEKTIF HADITS”, Syariati, Vol. 1, No. 3, Mei 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun