Mohon tunggu...
Yunia Isnaeni
Yunia Isnaeni Mohon Tunggu... -

me, my self, and i..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Harga seorang PNS

23 April 2012   16:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:14 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini saya dapat tugas dari Kepala Badan untuk melakukan perjalanan dinas ke Palembang, yang hari berikutnya terbang ke Jakarta untuk berkonsultasi di 2 kementrian, PU dan Bappenas. Lalu masih harus ke Bakosurtanal untuk berkonsultasi juga mengenai pemetaan Tata Ruang Wilayah kami yang belum Final.

Berangkat menggunakan travel, yang kebetulan di daerah kami baru ada 2 agen yang memberikan fasilitas menghubungkan antara kota tempat saya tingal dan ibukota provinsi, Palembang. Maklum, daerah kami baru berdiri 4 tahun, dan hampir berumur 5 tahun di 2012 ini. Waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB ketika sebuah kendaraan berjenis angkutan keluarga membunyikan klakson, tanda penjemputan. Setelah memasukkan barang, saya berpamitan dengan suami dan anak-anak.

Saya dapat tempat duduk di tengah, belakang supir bersebelahan dengan ibu-ibu yang berukuran lumayan besar, jika dibandingkan dengan saya yang begeng (hahaha...), kata sepupu sih begitu.

Si ibu tersenyum ketika saya mencoba mencari posisi ternyaman untuk duduk. Ketika dirasa semua aman, saya duduk tenang.

“mau kemana?” tanya ibu itu memulai pembicaraan

“palembang bu” jawab saya ramah, lalu sedikit memiringkan badan ke kiri, untuk memberikan kesan bahwa saya welcome untuk berbincang dengannya. Si ibu sepertinya juga mengharapkan hal yang sama.

“ ada kerjaan apa di palembang?”

“ ada tugas dinas bu”

“kerja di mana dek?” lanjutnya

“Bappeda bu” jawab saya lagi

“ooo... PNS ya?”

“iya...” saya tersenyum

“masuk tahun berapa?”

“saya angkatan pertama bu, tahun 2009”

“bukan asli sini ya?” selidiknya

“kok tau?” canda saya

“iya, logatnya keliahatan kalau bukan asli sini”

“tapi ayah saya asli sini kok bu, jadi bisa dibilang saya juga asli sini” koreksi saya

“tapi lama tinggal di luar ya? Dimana?” lanjutnya

“iya, dari kecil di jawa bu”

“pantesan...” imbuhnya

Lalu percakapan mengalami jeda beberapa saat karena suara telepon sellular si ibu berdering. Setelah kurang lebih 5 menit si ibu berbicara lalu menutup teleponnya, dia berkata “dari anak saya...” sambil menyimpan handphone-nya di tas tangan yang sedari awal di pangkuannya.

“enak ya udah jadi PNS. kena berapa maharnya masuk PNS? Lewat siapa?” si ibu melanjutkan pembicaraan dengan sedikit berbisik

“maksudnya?” tanya saya tak mengerti

“ah, udah... jangan malu-malu. Semua orang juga tau kalau jadi PNS itu susah, banyak yang pengen. Jadi kalau ga pake koneksi atau mahar susah nembusnya” lanjut si ibu sambil menjawil lengan saya

“beneran bu, saya gak ngerti” jawab saya dengan tampang kaget yang tidak bisa saya tutupi

“dulu tesnya di sini kan?”

“iya...” suara saya mengambang

“tetangga saya anaknya juga PNS, masuk tahun 2010 mba. Dia kena 75 buat masuk. Lewat pak XX mba, makanya masuk. Banyak juga anak-anak teman saya yang lebih besar maharnya, tapi gak masuk. Karena koneksinya kurang kuat” si ibu bercerita seolah itu wajar-wajar saja. Dan bengonglah saya

“orang tua adek apa kerjaanya, kok sampe bisa masuk PNS? Jangan-jangan kerabat pak XX ya?” lanjutnya

“ayah saya petani, ibu saya bidan bu. Saya bukan kerabat juga kok bu” jawab saya cepat

“mmmm, berarti adek cuma beruntung ya..” komentar si Ibu sedikit sinis. Cuma?? Rasanya tak iklas dikatakan demikian, karena saya ingat betul ketika saya sangat bersemangatuntuk belajar agar bisa mengerjakan soal-soal ketika tes nantinya. Tapi saya tak bisa membantah, karena saya pikir buat apa? Akhirnya saya diam.

“saya sedang cari orang yang mau beli tanah saya, lumayan luas dek” si ibu menyambung pembicaraan tadi

“oo... berapa luasnya bu? Siapa tau ada yang tertarik” jawab saya sekenanya, belum hilang dari rasa kesal

“ 3 hektar, deket jalan utama kok dek”

“ di jual berapa bu?”

“180 juta aja, karena sudah ada pohon karetnya, siap panen 2 tahun lagi” ujarnya

“kenapa di jual? Sayang lho bu, itu kan daerah pengembangan” timpal saya jujur

“ gak apa-apa, saya lagi nyiapin dana untuk masukin anak saya jadi PNS. Kata teman-teman saya kalau S1 harus ada paling tidak 150 juta, karena anak saya lulusan ekonomi manajemen, saingannya banyak” dengan nada bangga.

Saya hanya tersenyum kecut, menanggapi kata-kata terakhir si ibu. Lalu terdiam cukup lama, karena telepon si ibu berbunyi kembali.

Saya memalingkan wajah saya ke jendela, dan menerawang membayangkan uang 150 juta yang dengan mudahnya diserahkan kepada orang lain, hanya demi sebuah status, Pegawai Negeri sipil. Sementara dengan hitung-hitungan matematika saya, dengan hasil penjualan karet seluas 3 Hektar itu bisa mendapatkan uang 150 juta dengan bertani selama 5 tahun, tak sampai malah.

Sehebat itukah PNS, sampai harus di beli dengan jumlah yang begitu besar? Lalu bagaimana dia bisa medapatkan kepastian posisi dengan uang sebesar itu? Apakah itu berarti menggeser orang-orang yang sebetulnya mumpuni, akan tetapi tak memiliki dana yang kata si ibu tadi disebut “mahar”? di letakkan diman harga diri dan ijazah sekolah sampai bisa mendapatkan ijazah strata satu?

Lalu, sebesar apa rasa tanggung jawabnya terhadap pekerjaan ketika si Pegawai dengan mudah mendapatkan pekerjaan dengan mahar dari orang tuanya. Bagaimana dia akan mengabdi kepada negara tanpa syarat, kalau masuk tes PNS saja sudah dengan syarat yang sebesar itu?

Satu persatu pertanyaan saya melintas di otak dan benak saya, lalu menertawakan saya sendiri karena kurang tau pemberitaan hal ini, sementara si ibu mengatakan “semua orang juga tau” dengan kata lain ‘rahasia umum” hehe...

Pembicaraan si ibu di telepon kali ini sepertinya cukup lama, sudah lebih dari sepuluh menit si ibu berbincang. Jadi saya memutuskan untuk menyamankan posisi sandar saya, siap untuk tidur. Jalan yang berliku-liku akhirnya menarik saya untuk memejamkan mata, dan bermimpi memiliki kebun karet dan segepok uang 150 juta J

Salam,

@nianaenia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun