Oleh: Syamsul Yakin dan Nailah Inne Ramadhini
Pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar Parung Bingung Kota Depok dan Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Post-Truth sebenarnya bukan fenomena baru. Ia tidak muncul dengan adanya media online, media sosial, dan jaringan sosial. Post-truth berakar dari hati manusia sejak zaman dulu, bukan dari ranah digital, ruang virtual, atau hal-hal yang ada di internet. Kebohongan yang tampak seperti fakta sudah terjadi sejak masa Nabi Muhammad. Oleh karena itu, post-truth adalah perilaku lama dengan penampilan baru. Berikut ini informasi yang disampaikan Nabi Muhammad SAW yang dapat membantu kita untuk memahami konsep post-truth.
Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, "Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan. Pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berceloteh". Â Ada yang bertanya, "Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?" Nabi SAW menjawab, "Orang bodoh yang turut campur dalam urusan publik" (HR. Ibnu Majah).
Ketika pembohong dipercaya, orang jujur dianggap berdusta, ini menunjukkan bahwa post-truth sudah ada sejak dulu. Sumber berita kredibel tidak lagi memengaruhi masyarakat. Mereka lebih cenderung percaya pada hoaks yang memanipulasi perasaan dan mengaburkan pemikiran sehat. Ini jelas bahwa post-truth telah lama berkuasa atas rasionalitas. Ini akan mengancam kohesi sosial, kemajuan pembangunan, keunggulan, dan kemandirian negara jika dibiarkan.
Ketakutan akan kejujuran orang lain dan kekhawatiran akan kekalahan dalam persaingan, seperti kelemahan dalam tata-kelola kepribadian, ilmu, dan kerja keras, adalah alasan munculnya post-thrut secara  psikologis. Post-truth menceritakan tentang orang-orang yang kalah yang tetap unggul, meskipun mereka dipaksa untuk melakukannya melalui siasat, agitasi, dan kampanye hitam. Sementara orang yang jujur didustakan, pendusta dibenarkan. Tidak dapat disangkal bahwa post-truth telah memengaruhi praktik politik kontemporer.
Selanjutnya, fakta bahwa pengkhianat dipercaya, sedangkan orang yang amanah dianggap pengkhianat, menunjukkan bahwa sifat dasar media sosial tidak anti-humanisme. Sejarah menunjukkan bahwa hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian telah menyebar jauh sebelum konvergensi media. Â Dengan kata lain, sifat internet adalah humanis, demokratis, dan pluralis. Namun sayangnya, banyak orang yang diserang di era disrupsi tanpa tahu siapa yang melakukannya. Dikhianati oleh orang yang tidak diketahui.
Kehadiran Ruwaibidhah, representasi masyarakat online yang serba instan, hipokrit, anti-sosial, dan bermasalah, memperparah keadaan ini. Ruwaibidhah adalah musuh bangsa-bangsa dan ancaman bagi peradaban. Sifat agresornya sangat kuat, dan berada di posisi tengah. Dia dapat mengontrol situasi di bidang ekonomi dan politik dengan kemampuan retorikanya. Ruwaibidhah telah merusak reputasi media sosial, yang seharusnya digunakan dengan bijaksana dan mahir.
Untuk berhasil dalam persaingan ini, penting bagi kita untuk memiliki pola pikir progresif dan memiliki sifat futurolog dengan mengangkat prinsip "tomorrow is today". Sebaliknya, kita tidak boleh terjebak dalam pandangan romantis-konvensional yang menganggap "yesterday is today". Jika tidak, kita akan tertinggal oleh laju perubahan yang sangat cepat. Penting untuk diingat bahwa ketika platform berubah, kita harus melakukan pergeseran. Selain itu, kita juga harus mengubah posisi dari menjadi "penumpang" era digital menjadi "pengendali".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H