Mohon tunggu...
Naim Emel Prahana
Naim Emel Prahana Mohon Tunggu... Penulis - penulis dan jurnalist

laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rizki, Si Yatim Piatu di Tengah Malam

12 Juni 2021   19:30 Diperbarui: 12 Juni 2021   20:04 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah Nyata

Malam kian larut, penghuni bumi sedang tertidur pulas. Sementara masih ada segelintir lainnya berada di luar rumah. Demikian juga suasana malam di kotaku. Deru mesin kendaraan semakin sayup dan terus menghilang pertanda jarum jam sudah menunjukkan pukul nol-nol malam jelang pagi.

Embun pun perlahan menyirami dan membalut dedaunan di antara kesibukan para pedagang pasar malam pusat kuliner membawa kembali berbagai peralatan berjualannya pulang ke rumah. Sebab, keesokan paginya kawasan kuliner itu akan menjadi teritorial perdagangan aneka bisnis.

Akupun berpisah dari teman-teman ngobrol di posko pemenangan, mengurai angin malam dan debu yang menempel di berbagai bangunan, tiang listrik maupun pada roda sepeda motorku. Dengan santai kukendarai motor menuju rumah. Seperti kebiasaan sejak lama, jika mengendarai motor aku selalu menghisap sebatang rokok.

Malam itu langit tidak begitu haru biru dengan bintang berkelip-kelip. Tapi, cukup terang karena cahaya sinar lampu jalan dan rumah penduduk. Route jalan pulang ke rumah masih seperti yang sudah-sudah. Namun, malam itu aku tertegun setelah melewat sebuah gereja dan dipinggir jalan aku melihat sosok anak kecil yang menggamit-gamit ke arahku sambil memegang sebuah bungkusan.

Entah karena selalu waspada bila berjalan di malam hari. Saat itu aku sudah melewati si anak kecil itu. Dari kaca spion motor aku masih melihat anak itu tetap berdiri di tempatnya semula. Ada sesuatu dalam hatiku menerima bisikan, agar aku kembali ke tempat anak kecil di tengah malam yang berdiri di pinggir jalan. Tanpa pikir panjang, aku putar balik kepala motor dan menuju ke arah anak kecil tadi.

Aku mendekatkan motorku ke tempat anak itu berdiri dan anak itu tetap berdiri seperti mengharapkan sesuatu dariku.

"Om, aku boleh menumpang, mau pulang," kata anak kecil itu dengan suara datar. Malam terus beringsut seperti putaran jarum jam yang ada di dinding.

"Ya, ya boleh, dek. Memang adek mau ke mana?" tanyaku.

"Mau pulang, Om," jawabnya

Saat itu aku melihat dengan jelas si anak kecil itu memegang sebuah kota plastik yang biasanya untuk makanan. Mengenakan baju kaos dan celana pendek. Saat itu juga, perasaan dalam hatiku berkecamuk. "Kenapa anak sekecil itu masih di tengah malam di jalanan?"

Ah, suara lain membisikkan kepadaku.

"Ya, naiklah dek, saya antar kamu pulang," sapaku dan meminta si anak kecil itu naik ke atas motor duduk di belakangku.

Sepanjang jalan aku terus bertanya kepa si anak kecil itu tentang dirinya di tengah malam itu. Menurut si anak kecil itu, kemudian aku tahu namanya Rizki. Ia tadinya dari Bantul dari tempat temannya. Yang aku tahu Bantul (Kota Metro) sampai di tempat anak kutemukan sedang berdiri tadi tidak kurang sekitar 4 km.

Kutanyakan juga, apa yang ia pegang. Si Rizki menjawab itu nasi untuk ia makan malam itu. Lalu, aku terus bertanya siapa diri Rizki yang kutemukan di pinggir jalan di tengah malam buta itu. Dari penuturan Riski yang kudengar, ia sudah hampir 2 tahun ditinggal ayah ibunya karena meninggal dunia. Dulunya, kata Rizki ia tinggal dengan orangtuanya di Hadimulyo mengontrak sebuah rumah. Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia nggak punya rumah dan sekarang tinggal di Masjid Mujahidin di Kelurahan Yosorejo tepatnya di depan PB Swalayan.

Apalagi setelah Rizki bercerita, kalau siang ia bekerja di pasar. Kalau ada pedagang menyuruh dia mengangkut sayur, dirinya diberikan uang. Uang yang ia dapat hanya untuk beli makanan saja dan jumlahnya tidak besar.

Setiap hari seperti itulah kehidupan Rizki si anak yatim piatu yang sekarang hanya menumpang tidur di sebuah Masjid. Laju motorku terus mengarah ke arah masjid Mujahidin mengatar si kecil Rizki tidur di masjid. Sepanjang jalan kami terus mengobrol, apalagi aku ingin tahu persis kehidupan si Rizki.

Hatiku menangis mendengar cerita tentang hidup si Rizki kecil yang yatim piatu itu. Tak terasa air mataku membasahi pipi, tak terasa---karena sangat kasihan dengan si Rizki tanpa orangtua sudah berjuang siang malam hanya untuk mempertahankan hidupnya di tengah kerasnya kehidupan peradaban manusia dewasa ini.

Singkat cerita, akhirnya kami sampai di depan teras masjid Mujahidin. Rizki turun, lalu aku standarkan motorku hanya untuk menatap Rizki secara jelas di bawah sinar lampu di masjid tersebut. Masya Allah ternyata pakaian Rizki sangat kumal seperti sering kena debu dan tak pernah dicuci. Saat aku tanya di mana pakaiannya. Rizki bilang ia nggak punya pakaian, hanya pakaian yang di badan. Tuhan Maha Penyanyang dan Pengasih lirihku dalam hati.

Ketika Rizki mau pamit masuk ke beranda masjid, aku panggil dia dan minta mendekat. Aku rogoh kantong celanaku, alhamdulillah masih ada sisa uang beli rokok di pasar sewaktu mau pulang. Lalu, aku pegang tangan Rizki agar ia mengambil uang yang kuberikan. Walau tidak banyak, karena itu adanya di kantongku.

"Rizki, ini om kasih uang dikitnya, untuk beli makanan besok pagi," kataku.

"Ya, Om. Terima kasih om, besok Aku mau beli sarapan," kata dia dengan suka cita saat menerima uang yang jumlahnya sedikit sekali itu.

Aku berulangkali beristiqfar memohon kepada Allah, agar memberikan berbagai kemudahan dan rezki kepada Rizki si anak yatim piatu itu.

Akhirnya aku pamit pulang dan berpesan pada Rizki, agar ia menjaga dirinya baik-baik, jaga kesehatan dan jangan lupa berdoa.

"Ya, om," jawanya singkat.

Akupun pulang ke rumah dengan berbagai pikiran berkecamuk di kepala, terutama tentang sosok si Rizki yang kutemukan di tengah malam di jalanan disaat kebanyakan orang sedang tidur nyenyak di tempat yang bagus diu rumah. Sementara Rizki hanya tidur beralaskan semen di sebuah masjid. Begitu keras kehidupan yang dihadapi Rizki, tapi dari cara dia bicara, nampak sekali keteguhannya untuk tetap bertahan hidup walau harus membanting tulang di usia yang masih sangat muda.

"Ya, Rabb. Ampuni hambaMu ini, dan berikan kelonggaran kepadaku, agar dapat bertemu kembali dengan Rizki,!" Aku terus berdoa sepanjang jalan menuju rumah. Hasbunallah wanikmal wakil.

Yosomulyo, akhir September 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun