Mohon tunggu...
Naily Syafithri
Naily Syafithri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sarjana Akuntansi

-Mahasiswa Sarjana Akuntansi -NIM 43223010046 -Fakultas Ekonomi dan Bisnis -Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB -Dosen : Apollo,Prof. Dr,,M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB 2, Kebatinan Ki Ageng Suryomentaram pada Upaya Pencegahan Korupsi dan Transformasi Memimpin Diri Sendiri

21 November 2024   20:45 Diperbarui: 21 November 2024   22:30 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Powerpoint Naily
Powerpoint Naily

Pendahuluan


Korupsi tidak hanya menjadi persoalan hukum, ekonomi, atau tata kelola, tetapi juga menyentuh dimensi kebatinan dan moralitas manusia. Dalam konteks ini, ajaran kebatinan Ki Ageng Suryomentaram, seorang tokoh filsuf Jawa, memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana pengendalian diri dan pemahaman batin dapat menjadi langkah awal dalam mencegah tindakan korupsi. 

Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan pentingnya memahami "diri sejati" sebagai upaya untuk mencapai kebahagiaan hakiki yang tidak bergantung pada materi duniawi, melainkan pada ketenangan batin.  

Ajaran Ki Ageng Suryomentaram dan Esensi Pengendalian Diri
Ki Ageng Suryomentaram menekankan konsep "narima ing pandum" atau menerima apa yang menjadi bagian kita dengan tulus. Dalam ajarannya, korupsi muncul karena ketidakpuasan individu terhadap apa yang dimiliki. 

Dorongan untuk memenuhi ambisi duniawi yang berlebihan sering kali menciptakan hasrat untuk melanggar norma, hukum, dan moralitas. Ajaran ini menyoroti bahwa manusia cenderung merasa kurang bahagia karena terjebak dalam keinginan tak berujung, yang oleh Ki Ageng disebut sebagai "kemrungsung" (kegelisahan batin).  

Penerapan nilai ini pada pencegahan korupsi sangat relevan. Jika individu, terutama mereka yang berada dalam posisi kekuasaan, mampu mengendalikan hasrat dan memahami kebahagiaan sejati, tindakan koruptif dapat dicegah sejak tingkat personal. Pengendalian diri menjadi pondasi dalam membangun karakter pemimpin yang berintegritas.  

Transformasi Memimpin Diri Sendiri
Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan bahwa untuk memimpin orang lain, seseorang harus terlebih dahulu mampu memimpin dirinya sendiri. Transformasi kepemimpinan dimulai dari pengenalan dan pengendalian atas nafsu duniawi, seperti keserakahan, kemarahan, dan kesombongan. Melalui refleksi dan meditasi kebatinan, seseorang dapat memahami bahwa kekuasaan sejati bukanlah kemampuan untuk mengendalikan orang lain, melainkan kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri.  

Transformasi diri ini sangat penting dalam dunia modern, terutama bagi pemimpin yang diberi tanggung jawab besar dalam pengelolaan aset dan keputusan publik. Korupsi sering kali terjadi karena individu tidak mampu mengatasi godaan materi dan kesempatan. 

Dengan mempraktikkan ajaran Ki Ageng Suryomentaram, seorang pemimpin dapat melatih dirinya untuk melihat kekuasaan bukan sebagai alat pemenuhan ambisi pribadi, tetapi sebagai sarana melayani masyarakat dengan tulus.  

Pencegahan Korupsi Melalui Pendekatan Kebatinan
Pencegahan korupsi tidak hanya bisa dilakukan melalui pengawasan hukum dan penguatan sistem, tetapi juga melalui pendekatan moral dan kebatinan. Ajaran Ki Ageng Suryomentaram mendorong penghayatan bahwa harta, jabatan, dan kekuasaan adalah titipan yang sifatnya sementara. Dalam konteks ini, nilai-nilai spiritual dapat berfungsi sebagai pengendali batin untuk menahan diri dari tindakan koruptif.  

Melalui pendekatan kebatinan, individu didorong untuk:
1. Mengenal Diri Sejati: Memahami kebutuhan sejati yang tidak selalu berhubungan dengan materi, tetapi lebih kepada kebahagiaan batin.
2. Mengatasi Kemelekatan: Melepaskan keterikatan pada ambisi duniawi, seperti kekayaan dan status.
3. Menumbuhkan Rasa Narima: Menerima apa yang telah menjadi hak tanpa memaksakan keinginan berlebih.

Jika nilai-nilai ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh para pejabat publik dan pemimpin masyarakat, korupsi dapat dicegah dari akarnya.  

Ajaran yang Relevan di Era Modern
Meskipun ajaran Ki Ageng Suryomentaram berakar pada tradisi Jawa, relevansinya melampaui batas budaya dan waktu. Dunia modern yang sering kali mengukur keberhasilan dengan kekayaan dan status sosial membutuhkan keseimbangan batin untuk menghadapi godaan dan tekanan. Dalam konteks pencegahan korupsi, ajaran ini dapat dilihat sebagai upaya membangun integritas individu melalui kebijaksanaan batin dan pengendalian diri.  

Transformasi memimpin diri sendiri, sebagaimana diajarkan Ki Ageng, menjadi langkah awal untuk menciptakan pemimpin yang berintegritas. Kepemimpinan yang dimulai dari kesadaran diri akan melahirkan keputusan yang tidak hanya bijak, tetapi juga bertanggung jawab secara moral dan spiritual.  

Ajakan Ki Ageng untuk "narima ing pandum" menjadi pesan universal: kebahagiaan sejati tidak ditemukan pada akumulasi kekayaan, tetapi pada ketenangan batin dan kebijaksanaan dalam menjalani kehidupan. Hal ini adalah kunci bagi siapa saja yang ingin mencegah korupsi sekaligus mentransformasi dirinya menjadi pemimpin sejati.

Korupsi merupakan permasalahan kompleks yang telah merasuk ke dalam berbagai aspek kehidupan di Indonesia, mulai dari pemerintahan hingga sektor swasta. Dampaknya tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi-institusi negara. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, seperti penguatan sistem hukum, reformasi birokrasi, hingga penerapan teknologi dalam pengawasan. Meski demikian, fakta menunjukkan bahwa korupsi tetap menjadi ancaman serius. Hal ini menandakan bahwa pendekatan hukum dan kelembagaan saja tidak cukup untuk menangani akar permasalahan korupsi.  

Korupsi pada dasarnya berkaitan erat dengan moralitas dan kesadaran individu. Praktik korupsi seringkali muncul dari ketidakmampuan individu untuk mengendalikan hawa nafsu, keserakahan, dan dorongan untuk mencari kepuasan material. 

Oleh karena itu, pemberantasan korupsi membutuhkan pendekatan yang lebih mendalam, yang tidak hanya berfokus pada sistem, tetapi juga pada perubahan cara pandang dan transformasi individu. Dalam konteks ini, ajaran kebatinan dari Ki Ageng Suryomentaram menawarkan pendekatan yang relevan dan holistik.  

Ki Ageng Suryomentaram adalah tokoh filsafat Jawa yang mengembangkan ajaran kebatinan yang menekankan pentingnya pengenalan diri (kawruh jiwa), pengendalian hawa nafsu, dan pencarian kebahagiaan sejati. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan bukan berasal dari harta, jabatan, atau penghormatan duniawi, tetapi dari rasa puas terhadap diri sendiri dan kesadaran atas nilai-nilai kebenaran. Pandangan ini sangat relevan dalam konteks pencegahan korupsi, di mana keserakahan sering menjadi akar masalah.  

Powerpoint Naily
Powerpoint Naily

Enam SA" adalah sebuah konsep filosofis yang dikemukakan oleh Ki Ageng Suryomentaram, seorang tokoh spiritual Jawa. Konsep ini berfokus pada enam kata kunci yang diawali dengan huruf "SA" dalam bahasa Jawa, yaitu:

  • Sa-butuhne (sebutuhnya): Artinya sesuai dengan kebutuhan. Konsep ini mengajak kita untuk bertindak dan mengambil sesuatu sesuai dengan apa yang benar-benar diperlukan, tidak lebih dan tidak kurang.
  • Sa-perlune (seperlunya): Mirip dengan poin pertama, namun lebih menekankan pada aspek urgensi. Kita hanya perlu melakukan sesuatu jika memang benar-benar penting.
  • Sa-cukupe (secukupnya): Mengandung makna kepuasan dan rasa syukur. Kita diajarkan untuk merasa cukup dengan apa yang telah dimiliki dan tidak serakah.
  • Sa-benere (sebenarnya): Menekankan pada kejujuran dan kebenaran. Kita harus selalu berusaha untuk bertindak dan berkata jujur.
  • Sa-mesthine (semestinya): Mengacu pada kewajiban dan tanggung jawab. Kita harus melakukan apa yang seharusnya kita lakukan sesuai dengan peran dan posisi kita.
  • Sak-penake (seenaknya): Tampak bertentangan dengan poin-poin sebelumnya, namun sebenarnya mengandung makna fleksibilitas dan adaptasi. Kita diajarkan untuk tidak terlalu kaku dalam menghadapi situasi dan mampu menyesuaikan diri.

Teks tersebut juga menghubungkan konsep Enam SA dengan rasionalitas. Ada dua jenis rasionalitas yang disebutkan:

  • Rasionalitas Reflektif: Melibatkan penggunaan akal budi, perasaan, naluri, dan intuisi dalam mengambil keputusan.
  • Rasionalitas Akomodatif: Menekankan pada kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang berbeda.

Hasil Gabungan Keduanya: Situasional

Ketika rasionalitas reflektif dan akomodatif digabungkan, maka akan menghasilkan tindakan yang bersifat situasional. Artinya, tindakan yang kita ambil akan disesuaikan dengan konteks dan situasi yang sedang kita hadapi. Contoh yang diberikan adalah seorang pedagang dan seorang murid sekolah yang memiliki cara berkomunikasi yang berbeda.

Powerpoint Naily
Powerpoint Naily


Konsep ini mengajarkan keseimbangan dalam kehidupan dan menekankan pentingnya pengendalian diri untuk menghindari perilaku korupsi yang seringkali muncul dari ketidakmampuan menahan hawa nafsu dan ambisi.

Kawruh Jiwa
Konsep Kawruh Jiwa adalah inti dari ajaran Ki Ageng Suryomentaram. Istilah ini berarti pemahaman mendalam tentang diri sendiri, yang meliputi:  
1. "Meruhi awakipun piyambak"
   Artinya memahami diri secara benar, jujur, dan tepat. Orang yang memahami dirinya dengan baik akan menyadari batas kebutuhannya, sehingga terhindar dari sikap serakah dan egois.  

2. Mengenali orang lain:
   Dengan memahami diri sendiri, seseorang dapat lebih mudah mengenali dan memahami orang lain. Hal ini menciptakan empati dan kemampuan untuk berinteraksi tanpa konflik.

3. Tidak bergantung pada tempat, waktu, dan keadaan:
   Frasa "mboten gumantung papan, wekdal, lan kawontenan"berarti bahwa seseorang yang telah memahami dirinya tidak mudah terpengaruh oleh situasi eksternal. Ia tetap teguh dan konsisten dalam nilai-nilai kebenaran dan integritas.

Relevansi dengan Kepemimpinan  

Bagian bawah slide menunjukkan keterkaitan ajaran ini dengan "Trait Theories of Leadership", yang menjelaskan bahwa sifat atau karakter pribadi seseorang merupakan fondasi penting dalam kepemimpinan. Menurut Ki Ageng Suryomentaram, pemimpin yang ideal adalah mereka yang mampu memimpin dirinya sendiri terlebih dahulu dengan memahami kebutuhan, batasan, dan nilai-nilai moralnya.  

Kawruh Jiwa berfungsi sebagai landasan pembentukan karakter pemimpin yang:  

-Berintegritas: Jujur dan setia pada kebenaran (sa-benere dan sa-mesthine).  

- Bijaksana: Tahu kapan bertindak secukupnya atau seperlunya (sa-butuhne, sa-cukupe, dan sa-perlune).  

- Empatik: Mampu memahami orang lain dan tidak hanya fokus pada kepentingan pribadi.  

Pangawikan Pribadi:


    • Merupakan proses memahami diri sendiri, rasa sendiri, dan hakekat diri.
    • Proses ini melibatkan kesadaran akan keadaan saat ini (saiki), tempat saat ini (ing kene), dan kondisi saat ini (lan ngene).
  • Tujuan Pangawikan Pribadi:

    • Mengendalikan keinginan-keinginan yang dapat menghambat pertumbuhan pribadi, seperti:
      1. Semat: Keinginan akan kekayaan, kenikmatan, dan kesenangan yang berlebihan.
      2. Derajat: Keinginan akan kedudukan, kemuliaan, dan kebanggaan yang tinggi.
      3. Kramat/status sosial: Keinginan akan kekuasaan, kepercayaan, dan pengakuan dari orang lain.

What: Kebatinan Ki Ageng Suryomentaram dan Hubungannya dengan Korupsi

Kebatinan yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah filsafat hidup yang menekankan pentingnya pengenalan diri dan pengendalian hawa nafsu untuk mencapai kebahagiaan sejati. 

Ia percaya bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang diperoleh dari materi atau penghormatan duniawi, melainkan dari rasa puas terhadap diri sendiri (kawruh jiwa). Kebatinan ini memandang bahwa manusia yang mengenal dirinya secara mendalam akan terhindar dari keserakahan, iri hati, dan perilaku tidak jujur---akar dari korupsi.

Korupsi, dalam perspektif ini, dapat dilihat sebagai akibat dari ketidakmampuan seseorang untuk mengenali batas kebutuhannya. Ketika seseorang tidak memahami bahwa kebahagiaan tidak terletak pada harta atau kekuasaan, ia cenderung terjebak dalam perilaku koruptif. 

Ajaran Ki Ageng Suryomentaram tentang "ngudi kasampurnan" (mencari kesempurnaan batin) dan "rasa bebas" (kebebasan dari nafsu duniawi) menawarkan landasan filosofis yang kuat untuk mencegah perilaku korupsi dari akarnya, yaitu jiwa individu.

Esensi Kebatinan Ki Ageng Suryomentaram
Kebatinan ini bertumpu pada prinsip-prinsip berikut:
1. Narima ing Pandum: Sikap menerima dengan tulus apa yang telah menjadi bagian seseorang tanpa merasa iri atau tamak terhadap milik orang lain.
2. Memahami Kebahagiaan Hakiki: Kebahagiaan sejati tidak ditentukan oleh harta atau jabatan, tetapi oleh ketenangan batin dan kemampuan untuk hidup selaras dengan nilai-nilai moral.
3. Mengendalikan Nafsu Duniawi: Nafsu seperti keserakahan, kemewahan, dan ambisi yang tidak terkendali dianggap sebagai sumber dari kegelisahan batin (kemrungsung).
4. Kesederhanaan Hidup: Mengajarkan untuk hidup sederhana dan fokus pada kebermanfaatan bagi orang lain daripada mengejar kepuasan material.

Hubungan Kebatinan Ki Ageng Suryomentaram dengan Korupsi
Korupsi sering kali muncul dari ketidakpuasan batin dan dorongan untuk memenuhi keinginan duniawi secara berlebihan. Berikut adalah bagaimana ajaran kebatinan ini dapat dikaitkan dengan korupsi:

1. Korupsi sebagai Bentuk Ketidakpuasan Batin
Menurut Ki Ageng Suryomentaram, seseorang yang tidak mampu merasa puas dengan apa yang dimiliki cenderung mencari cara untuk memenuhi ambisi pribadi, bahkan dengan cara yang melanggar hukum atau etika. Korupsi adalah manifestasi dari ketidakseimbangan batin yang muncul dari hasrat akan harta, kekuasaan, atau prestise sosial.

2. Hilangnya Konsep "Narima ing Pandum"
Sikap narima ing pandum yang mengajarkan rasa syukur terhadap apa yang sudah dimiliki sering kali hilang dalam mentalitas individu yang terjebak dalam gaya hidup materialistik. Koruptor sering kali tidak merasa cukup dengan apa yang mereka miliki, sehingga terus mengejar kekayaan secara tidak sah.

3. Korupsi sebagai Akibat dari Ketidakmampuan Mengendalikan Nafsu
Ki Ageng mengajarkan bahwa manusia harus mampu mengendalikan nafsunya untuk mencapai kebahagiaan sejati. Korupsi terjadi karena individu gagal mengendalikan dorongan untuk mengejar kepuasan duniawi, seperti kemewahan, status, atau kekuasaan.

4. Keserakahan sebagai Penghalang Kebahagiaan
Ki Ageng menyatakan bahwa keserakahan justru menimbulkan kegelisahan batin. Korupsi, yang sering kali didorong oleh keserakahan, membuat pelaku kehilangan ketenangan karena mereka hidup dalam rasa takut akan tertangkap atau kehilangan kekayaan yang diperoleh secara tidak sah.

5. Pentingnya Kepemimpinan Batin untuk Pencegahan Korupsi
Kebatinan Ki Ageng juga mengajarkan bahwa pemimpin harus mampu memimpin dirinya sendiri sebelum memimpin orang lain. Dalam konteks pencegahan korupsi, ini berarti pemimpin harus memiliki integritas moral yang tinggi, kemampuan untuk mengendalikan hasrat, dan fokus pada kesejahteraan publik daripada keuntungan pribadi.

Relevansi Kebatinan dalam Pencegahan Korupsi

Penerapan nilai-nilai kebatinan Ki Ageng Suryomentaram dalam kehidupan modern dapat memberikan pendekatan baru dalam pencegahan korupsi, terutama dalam membentuk individu dan pemimpin yang berintegritas. Berikut adalah bagaimana ajaran ini dapat diterapkan dalam konteks pencegahan korupsi:

1. Pendidikan Moral Berbasis Lokal: Memperkenalkan ajaran kebatinan ini dalam pendidikan untuk membentuk karakter generasi muda yang lebih jujur dan bersyukur.

2. Pelatihan Kepemimpinan Berbasis Kebatinan: Memberikan pelatihan kepada pejabat publik dan pemimpin masyarakat tentang pentingnya memimpin diri sendiri sebelum memimpin orang lain.

3. Kampanye Kesadaran Diri: Mengadakan program untuk mendorong refleksi batin di kalangan pejabat publik, sehingga mereka menyadari dampak negatif korupsi terhadap diri sendiri dan masyarakat.

Powerpoint Naily
Powerpoint Naily

"MULUR, MUNGKRET":

Konsep ini berkaitan dengan dinamika keinginan manusia.

  • Mulur: Ketika keinginan terpenuhi, kita cenderung ingin lebih banyak lagi. Ini seperti karet yang ditarik, semakin ditarik semakin panjang.
  • Mungkret: Sebaliknya, ketika keinginan tidak terpenuhi, kita akan merasa kecewa dan keinginan kita seolah menyusut.

Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan bahwa kedua kondisi ini bersifat sementara. Kebahagiaan yang kita rasakan ketika keinginan terpenuhi tidak akan bertahan lama, begitu pula dengan kesedihan ketika keinginan tidak terpenuhi.

Olah Rasa dan Adaptasi Diri:

Konsep ini menyimpulkan bahwa untuk mencapai kebahagiaan yang sejati, kita perlu melatih diri untuk mengelola emosi dan menyesuaikan diri dengan berbagai situasi. Dengan memahami keenam prinsip "SA" dan menyadari sifat sementara dari keinginan, kita dapat hidup lebih tenang dan bahagia.

Manfaat Memahami Konsep Ini:

  • Menghindari kecemasan: Dengan memahami bahwa keinginan bersifat sementara, kita tidak akan terlalu terikat pada hasil dan mengurangi kecemasan.
  • Meningkatkan rasa syukur: Fokus pada apa yang sudah dimiliki akan meningkatkan rasa syukur dan kepuasan hidup.
  • Membangun hubungan yang lebih baik: Dengan sikap yang lebih sederhana dan tidak serakah, kita dapat membangun hubungan yang lebih harmonis dengan orang lain.
  • Mencapai ketenangan batin: Dengan mengelola emosi dan menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, kita dapat mencapai ketenangan batin.

Why: Relevansi Kebatinan dalam Pencegahan Korupsi

Pendekatan tradisional dalam pemberantasan korupsi sering kali hanya menargetkan aspek hukum dan kelembagaan. Penegakan hukum dan hukuman berat memang penting, tetapi sering kali hanya efektif sebagai tindakan reaktif. Jika akar dari korupsi adalah ketidakmampuan manusia untuk mengendalikan diri, maka solusi preventif harus melibatkan transformasi moral individu.

Relevansi kebatinan Ki Ageng Suryomentaram dalam konteks ini adalah:

1. Menanamkan Kesadaran Diri: Ajaran kebatinan membantu individu memahami apa yang benar-benar penting dalam hidup. Ketika seseorang menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak berasal dari materi, ia akan lebih mampu menolak godaan korupsi.

2. Pengendalian Hawa Nafsu: Korupsi sering terjadi karena hawa nafsu yang tidak terkendali. Kebatinan mengajarkan pentingnya ngempet (menahan diri) sebagai cara untuk mencegah tindakan tercela.

3. Menguatkan Moralitas: Dengan memahami nilai-nilai kebatinan, individu akan memiliki fondasi moral yang kuat untuk tidak tergoda oleh korupsi, meskipun ada peluang.

Dalam kehidupan modern, ajaran ini juga sangat relevan. Sebagai contoh, pejabat publik atau pengusaha yang mempraktikkan prinsip kebatinan akan lebih sadar akan tanggung jawab sosialnya dan tidak hanya mengejar keuntungan pribadi.

Powerpoint Naily
Powerpoint Naily

Akibat Sifat Buruk: bahwa sifat-sifat buruk ini dapat membawa dampak negatif dalam kehidupan, seperti:

  • Raos tatu: Merasa sakit hati atau terluka.
  • Ciloko peduwung: Mengalami kesialan atau malapetaka yang berkelanjutan.
  • Sikap Tabah (Stoic Indonesia): Diagram menyarankan untuk memiliki sikap tabah atau stoic, yaitu mampu mengendalikan emosi dan pikiran, serta menerima keadaan apa adanya.
  • Manusia tanpa ciri: Konsep "manusia tanpa ciri" atau "Menungso tanpo tenger" merujuk pada seseorang yang bebas dari keterikatan pada hal-hal duniawi dan mampu berpikir jernih.
  • "Meruhi Gagasane Dewe": Artinya "mengetahui pikiran sendiri". Konsep ini menekankan pentingnya introspeksi diri untuk memahami pikiran dan perasaan sendiri.

Makna Filosofis

Secara filosofis, diagram ini mengajarkan kita tentang pentingnya mengendalikan diri dan memiliki sifat-sifat positif. Ajaran Ki Ageng Suryomentaram menekankan bahwa sifat-sifat buruk dapat membawa penderitaan, sedangkan sikap tabah dan bijaksana akan membawa kedamaian batin.

Penerapan dalam Kehidupan

Ajaran dalam diagram ini dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain:

  • Introspeksi diri: Secara rutin melakukan evaluasi diri untuk mengenali sifat-sifat buruk yang mungkin dimiliki.
  • Berlatih kesabaran: Melatih diri untuk sabar dalam menghadapi berbagai situasi.
  • Menerima keadaan: Menerima kenyataan bahwa tidak semua hal sesuai dengan keinginan kita.
  • Berpikir positif: Membiasakan diri untuk berpikir positif dan melihat sisi baik dari setiap situasi.
  • Membantu sesama: Melakukan kebaikan kepada orang lain sebagai bentuk kepedulian.

How: Implementasi Kebatinan dalam Transformasi Diri dan Pencegahan Korupsi

Ajaran kebatinan Ki Ageng Suryomentaram dapat diimplementasikan dalam kehidupan modern melalui tiga langkah utama:

1. Pengenalan Diri dan Refleksi  

   Langkah pertama dalam kebatinan adalah mengenali diri sendiri. Hal ini dapat dilakukan dengan praktik refleksi mendalam, seperti meditasi atau evaluasi diri secara berkala. Misalnya, pejabat atau individu yang berada dalam posisi strategis dapat membuat daftar motivasi mereka dalam bekerja. Apakah mereka bekerja untuk melayani masyarakat atau hanya mengejar keuntungan pribadi? Dengan mengenali motivasi ini, seseorang dapat menyesuaikan perilakunya agar selaras dengan prinsip kebahagiaan sejati.

2. Menahan Hawa Nafsu dan Melatih Kejujuran

   Dalam praktik kebatinan, menahan hawa nafsu (ngempet) adalah kunci untuk menjaga integritas. Hal ini dapat diterapkan dalam kehidupan profesional melalui transparansi, akuntabilitas, dan komitmen terhadap etika. Sebagai contoh, seseorang yang memimpin proyek harus membiasakan diri untuk memprioritaskan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.

3.  Membangun Sistem Pendidikan Nilai  

   Implementasi kebatinan tidak hanya berlaku pada individu, tetapi juga dapat diterapkan secara kolektif melalui sistem pendidikan. Kurikulum yang memasukkan ajaran nilai-nilai seperti kejujuran, pengendalian diri, dan kebahagiaan sejati dapat membantu menciptakan generasi yang lebih sadar akan pentingnya integritas. Misalnya, program pendidikan antikorupsi dapat memadukan nilai-nilai kebatinan untuk membentuk pemimpin masa depan yang memiliki karakter kuat.

4. Transformasi Kepemimpinan Diri

   Salah satu aspek penting dalam kebatinan adalah memimpin diri sendiri. Dalam konteks modern, hal ini berarti memiliki kemampuan untuk membuat keputusan yang etis dan bertanggung jawab, meskipun berada di bawah tekanan. Transformasi diri dapat dilakukan dengan mempraktikkan kesadaran (mindfulness) dan konsistensi dalam menjalankan prinsip-prinsip moral.

Powerpoint Naily
Powerpoint Naily

"Mawas diri" berarti merenungkan diri sendiri, mengevaluasi tindakan dan pikiran kita. Konsep ini menjadi inti dari penerapan enam "SA". Dengan melakukan mawas diri, kita dapat:

  • Mengenali kebutuhan sebenarnya: Kita akan lebih memahami apa yang benar-benar kita butuhkan dan menghindari keinginan yang berlebihan.
  • Membuat keputusan yang tepat: Kita akan lebih bijaksana dalam memilih tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut.
  • Menjadi pribadi yang lebih baik: Dengan terus memperbaiki diri, kita dapat mencapai tingkat kesadaran dan kebijaksanaan yang lebih tinggi.

Hubungan antara Enam "SA" dan Mawas Diri

Garis panah yang menghubungkan enam "SA" dengan "mawas diri" menunjukkan bahwa penerapan enam "SA" tidak dapat dilakukan secara pasif, melainkan membutuhkan proses refleksi diri yang terus-menerus. Dengan melakukan mawas diri, kita dapat mengukur sejauh mana kita telah menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Studi Kasus: Penerapan Nilai Kebatinan dalam Praktik Nyata

Studi menunjukkan bahwa korupsi sering terjadi ketika individu merasa kebutuhannya tidak terpenuhi atau ketika sistem mendorong perilaku koruptif. Dalam beberapa kasus, pendekatan kebatinan berhasil mengubah perilaku individu. Sebagai contoh:

1. Pejabat yang Mempraktikkan Kesederhanaan

   Ada pejabat yang menolak fasilitas berlebihan dan memilih gaya hidup sederhana untuk menanamkan nilai integritas pada bawahannya.

2. Perusahaan yang Mengadopsi Etika Kebatinan

   Beberapa perusahaan menggunakan filosofi kebatinan untuk membangun budaya kerja yang menekankan kejujuran, keseimbangan, dan tanggung jawab sosial.

Kesimpulan

Ajaran kebatinan Ki Ageng Suryomentaram menawarkan pendekatan yang unik dalam pencegahan korupsi dengan menitikberatkan pada transformasi individu melalui pengenalan diri, pengendalian hawa nafsu, dan penanaman nilai kebahagiaan sejati. Dalam konteks modern, ajaran ini dapat diintegrasikan ke dalam pendidikan, sistem birokrasi, dan praktik kepemimpinan untuk menciptakan masyarakat yang lebih berintegritas.

Korupsi tidak hanya bisa diatasi dengan hukuman dan reformasi struktural. Pendekatan moral yang berakar pada kebatinan memberikan landasan yang lebih kuat untuk mencegah korupsi dari akar permasalahannya. Dengan memahami dan mempraktikkan ajaran ini, individu dapat menjadi pemimpin yang lebih baik bagi dirinya sendiri dan lingkungannya.

Implementasi kebatinan dalam transformasi diri dan pencegahan korupsi memerlukan pendekatan praktis yang melibatkan internalisasi nilai-nilai spiritual dan penguatan karakter. Berikut adalah langkah-langkah dan mekanisme untuk menerapkan kebatinan Ki Ageng Suryomentaram dalam konteks modern, baik di tingkat individu maupun kelembagaan:

1. Pemahaman Diri Sejati

Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan pentingnya mengenal diri sejati, yang berarti memahami apa yang benar-benar dibutuhkan, bukan sekadar memenuhi keinginan duniawi. Hal ini dapat diimplementasikan melalui:

- Refleksi Batin: Individu, terutama pejabat publik, perlu meluangkan waktu untuk merenungkan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Ini bisa dilakukan melalui meditasi, self-talk, atau pencatatan jurnal.

- Pelatihan Kesadaran (Mindfulness): Mengelola pikiran agar tetap sadar pada nilai-nilai kejujuran dan kepuasan dengan apa yang dimiliki. Mindfulness membantu individu menyadari godaan untuk korupsi dan membangun kontrol diri.

Contoh Praktis: Seorang pemimpin dapat menjadikan refleksi mingguan sebagai agenda rutin untuk menilai apakah keputusan yang diambil masih sejalan dengan prinsip etika dan moral.

2. Mengatasi Keserakahan melalui "Narima ing Pandum"

Narima ing pandum, atau menerima dengan tulus apa yang menjadi haknya, adalah fondasi dalam pengendalian hasrat duniawi. Implementasi ini melibatkan:

- Pelatihan Kesederhanaan Hidup: Mengurangi gaya hidup konsumtif dengan memilih pola hidup yang lebih sederhana dan sesuai kemampuan.

- Pendidikan Antikorupsi Berbasis Nilai Lokal: Meningkatkan pemahaman masyarakat bahwa kepuasan tidak terletak pada kekayaan berlimpah, tetapi pada kebermaknaan hidup.

- Audit Internal Diri: Pejabat dapat secara berkala mengevaluasi kekayaan mereka, apakah sesuai dengan penghasilan resmi atau tidak.

Contoh Praktis: Seorang pejabat dapat membatasi pengeluaran berlebihan dengan membuat anggaran yang wajar dan memprioritaskan nilai kebermanfaatan di atas gengsi sosial.

3. Membangun Rasa Tanggung Jawab dan Akuntabilitas

Kebatinan Ki Ageng Suryomentaram menekankan bahwa seseorang harus memimpin dirinya sendiri sebelum memimpin orang lain. Hal ini dapat diimplementasikan melalui:

- Penguatan Etika Pribadi: Melalui pelatihan yang menanamkan nilai tanggung jawab moral terhadap masyarakat.

-Program Mentor Spiritual: Mendorong pemimpin untuk memiliki pembimbing spiritual atau tokoh moral yang bisa mengingatkan mereka ketika berada dalam posisi rentan terhadap godaan.

-Sistem Evaluasi Publik: Membuka ruang transparansi kepada masyarakat untuk memeriksa kerja pejabat dan memberi umpan balik sebagai pengawasan kolektif.

Contoh Praktis: Institusi dapat menerapkan mekanisme penilaian integritas, di mana seorang pemimpin bertanggung jawab untuk melaporkan tindakannya secara terbuka kepada tim independen.

4. Pendidikan Kebatinan di Dunia Kerja dan Birokrasi

Pengajaran kebatinan tidak hanya terbatas pada lingkup individu, tetapi dapat diterapkan pada level organisasi. Langkah-langkah implementasinya meliputi:

- Pelatihan Kebatinan dalam Program Pelatihan Pemimpin: Menambahkan modul kebatinan berbasis ajaran lokal seperti narima ing pandum dalam program pelatihan kepemimpinan dan antikorupsi.

- Penyisipan Nilai Spiritual dalam SOP Institusi: Mengintegrasikan prinsip-prinsip kejujuran, kesederhanaan, dan pelayanan masyarakat dalam visi dan misi organisasi.

- Program Retret Kebatinan: Memberikan kesempatan kepada pejabat publik untuk mengikuti retret kebatinan guna menyegarkan nilai moral mereka.

Contoh Praktis: Kementerian atau lembaga dapat menyelenggarakan pelatihan khusus tentang nilai-nilai moral berbasis lokal, seperti kebatinan Jawa, yang mendorong integritas pejabat.

5. Penerapan Kebatinan dalam Sistem Hukum dan Kebijakan

Implementasi kebatinan dalam pencegahan korupsi dapat pula dilakukan melalui kebijakan publik yang mendukung pembentukan mentalitas antikorupsi:

Peningkatan Kesejahteraan ASN: Kebijakan yang memastikan pendapatan memadai bagi pejabat publik agar mereka tidak merasa "kekurangan" sehingga meminimalkan godaan untuk korupsi.

Penguatan Sanksi Moral: Selain hukuman hukum, publikasi pelanggaran sebagai sanksi moral dapat memalukan pelaku korupsi dan memberikan efek jera.

Program Nilai Lokal di Sekolah: Mendidik generasi muda dengan menanamkan nilai-nilai kejujuran dan narima ing pandum sejak dini.

Contoh Praktis: Pemerintah dapat memperkuat peraturan pelaporan harta kekayaan pejabat melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dengan pendekatan moral, bukan hanya administratif.

6. Penanaman Legacy Kepemimpinan Batin

Pemimpin yang memiliki transformasi diri melalui kebatinan akan menjadi teladan dalam pencegahan korupsi. Implementasi ini mencakup:

- Keteladanan Pemimpin: Pemimpin menunjukkan hidup sederhana, transparansi, dan integritas.

- Dialog dengan Pegawai: Pemimpin secara rutin berdiskusi dengan bawahan tentang nilai moral dan etika dalam pekerjaan.

- Membangun Budaya Organisasi Berbasis Integritas: Institusi didorong untuk menciptakan lingkungan kerja yang menjunjung tinggi nilai kebatinan, di mana setiap anggota merasa bertanggung jawab secara moral terhadap tindakannya.

Contoh Praktis: Seorang pemimpin bisa mempublikasikan cara hidupnya yang sederhana dan mempraktikkan nilai pelayanan masyarakat sebagai bentuk pembelajaran bagi bawahannya.

Powerpoint Naily
Powerpoint Naily
  • Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV: Beliau adalah seorang pemimpin kerajaan di Mangkunegaran, salah satu kerajaan di Jawa Tengah.
  • Masa Pemerintahan: Mangkunegara IV memerintah dari tahun 1853 hingga 1881.
  • Nama Asli: Nama aslinya adalah Raden Mas Sudiro.
  • Karya Terkenal: Beliau dikenal sebagai penulis Serat Wedhatama, sebuah karya sastra Jawa yang berisi ajaran-ajaran tentang kebijaksanaan, moralitas, dan spiritualitas.

Powerpoint Naily
Powerpoint Naily

 konsep kepemimpinan yang dianut oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegaran IV yang memerintah pada periode 1853 hingga 1881. Konsep ini dielaborasi lebih lanjut dalam Serat Wedhatama dan Serat Ramajarwa.

  • Raos Gesang: Konsep ini menekankan pada kemampuan seorang pemimpin untuk merasakan dan memahami perasaan orang lain. Ini berarti seorang pemimpin tidak hanya berfokus pada dirinya sendiri, tetapi juga memiliki empati yang tinggi terhadap rakyatnya.
  • Asta Brata: Konsep ini mengacu pada delapan sifat utama seorang pemimpin yang ideal, diambil dari epos Ramayana. Sifat-sifat ini mencakup kepemimpinan yang bijaksana, adil, berani, dan penuh kasih sayang.

Rincian Lebih Lanjut:

Kategori Kepemimpinan "Raos Gesang":

  • Bisa rumangsa, ojo rumangsa bisa: Pemimpin yang baik mampu merasakan dan memahami situasi orang lain tanpa merasa lebih unggul atau tahu segalanya.
  • Angrasa wani: Pemimpin yang berani mengambil risiko, berani mencoba hal-hal baru, dan tidak takut menghadapi kesalahan.
  • Angrasa kleru: Pemimpin yang mengakui kesalahan dan siap belajar dari kesalahan tersebut.
  • Bener tur pener: Pemimpin yang memiliki kebenaran dan juga dapat menerapkan kebenaran tersebut dalam tindakan.

Kategori Kepemimpinan Asta Brata:

  • Ambeging Lintang, Surya, Rembulan, Angin, Mendhung, Geni, Banyu, Bumi: Delapan sifat utama yang menggambarkan seorang pemimpin yang ideal, mulai dari menjadi panutan, memberikan keadilan, hingga menjadi sumber kekuatan dan kesejahteraan.
  • Nistha, Madya, Utama: Tingkatan kepemimpinan yang menggambarkan pemimpin buruk, pemimpin yang baik, dan pemimpin yang sangat baik.

Kategori Kepemimpinan Mangkunegaran IV Lainnya:

  • Aja gumunan, aja kagetan, aja dumeh, prasaja, manjing ajur-ajur: Sikap-sikap yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin, seperti tidak mudah kagum, tidak mudah terkejut, tidak sombong, sederhana, dan mampu berbaur dengan semua kalangan.

Implikasi:

Konsep kepemimpinan Mangkunegaran IV ini sangat relevan dengan konteks kepemimpinan modern. Beberapa prinsip yang dapat diambil adalah:

  • Kepemimpinan yang berpusat pada manusia: Memprioritaskan kesejahteraan rakyat dan memahami kebutuhan mereka.
  • Kepemimpinan yang berani dan inovatif: Tidak takut mengambil risiko dan selalu mencari solusi baru.
  • Kepemimpinan yang rendah hati: Mampu mengakui kesalahan dan terus belajar.
  • Kepemimpinan yang bijaksana: Mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan nilai-nilai moral.

Powerpoint Naily
Powerpoint Naily

Kategori Kepemimpinan (Serat Pramayoga - Ranggawarsita)

Serat Pramayoga adalah karya sastra Jawa yang ditulis oleh Ranggawarsita. Dalam karya ini, Ranggawarsita mengklasifikasikan kepemimpinan menjadi beberapa kategori. Dalam konteks topik yang Anda berikan, terdapat 8 kategori kepemimpinan yang disebutkan, yaitu:

  1. Hang uripi: Mampu mewujudkan kehidupan yang baik bagi rakyatnya.
  2. Hang rungkepi: Berani berkorban demi kepentingan rakyat dan negara.
  3. Hang ruwat: Mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi rakyat.
  4. Hang ayomi: Memberikan perlindungan dan rasa aman kepada rakyat.
  5. Hang uribi: Mampu memberikan motivasi dan semangat kepada rakyat.
  6. Ha mayu: Menciptakan harmoni, keindahan, dan kerukunan dalam masyarakat.
  7. Ha mengkoni: Mampu mempersatukan rakyat dan berbagai elemen masyarakat.
  8. Ha nata: Mampu mengatur dan mengatur negara dengan baik.

Korelasi dengan Mangkunegara IV

Jika kita kaitkan dengan sosok Mangkunegara IV, dapat dilihat bahwa beliau memenuhi beberapa kategori kepemimpinan yang disebutkan dalam Serat Pramayoga. Misalnya:

  • Hang uripi: Mangkunegara IV berhasil mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi rakyatnya melalui berbagai kebijakan yang pro rakyat.
  • Hang rungkepi: Beliau tidak segan-segan berkorban demi kepentingan rakyat dan negara.
  • Hang ruwat: Mangkunegara IV mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul selama masa pemerintahannya.
  • Hang ayomi: Beliau memberikan perlindungan dan rasa aman kepada rakyatnya.

Powerpoint Naily
Powerpoint Naily

kepemimpinan yang terkandung dalam Serat Wedhatama, sebuah karya sastra Jawa kuno yang ditulis oleh KGPAA Mangkunegara IV. Ajaran-ajaran ini sangat relevan dengan praktik kepemimpinan, baik dalam konteks pemerintahan maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Dapat kita lihat beberapa poin penting mengenai kepemimpinan ala Serat Wedhatama:

  • Eling lan Waspada: Konsep ini menekankan pentingnya kesadaran diri, kewaspadaan terhadap lingkungan, dan hubungan yang harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta. Dalam konteks kepemimpinan, ini berarti seorang pemimpin harus selalu sadar akan tanggung jawabnya, peka terhadap kebutuhan orang lain, dan memiliki pandangan yang luas.
  • Atetambo yen wus bucik: Ajaran ini menyarankan agar tindakan pencegahan dilakukan sebelum masalah terjadi. Dalam kepemimpinan, ini berarti seorang pemimpin harus proaktif dalam mengantisipasi masalah dan mengambil tindakan sebelum situasi menjadi kritis.
  • Awya mematuh nalutuh: Pemimpin yang baik harus menghindari sifat angkara murka dan perilaku buruk lainnya. Ia harus menjadi contoh yang baik bagi orang lain.
  • Kareme anguwus-uwus: Pemimpin harus berhati-hati dalam berbicara dan menghindari perkataan yang dapat menyakiti hati orang lain.
  • Gonyak-ganyuk ngelingsemi: Pemimpin harus menjaga sopan santun dan tidak melakukan tindakan yang memalukan.
  • Nggugu karepe priyangga: Pemimpin harus dapat bekerja sama dengan orang lain dan tidak bertindak sewenang-wenang.
  • Traping angganira: Pemimpin harus dapat menempatkan diri dalam berbagai situasi dan kondisi.
  • Bangkit ajur ajer: Pemimpin harus mampu bergaul dengan berbagai macam orang.
  • Mung Ngenaki Tyasing Lyan: Pemimpin harus berusaha menyenangkan orang lain, meskipun berbeda pendapat.
  • Den iso mbasuki ujaring janmi: Pemimpin harus bisa berdiplomasi dan tidak selalu mengungkapkan pendapat secara terbuka.
  • Ngandhar-andhar angendhukur: Pemimpin harus menyampaikan pesan dengan jelas, logis, dan rendah hati.
  • Anggung Gumrunggung: Pemimpin harus menghindari sifat sombong dan angkuh.
  • Lumuh asor kudu unggul: Sifat sombong dapat terlihat dari cara seseorang berbicara dan berinteraksi dengan orang lain.

Kesimpulan:

Serat Wedhatama memberikan panduan yang komprehensif mengenai kepemimpinan yang baik. Ajaran-ajaran di dalamnya menekankan pentingnya karakter, integritas, kebijaksanaan, dan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain. Nilai-nilai ini masih sangat relevan hingga saat ini dan dapat diterapkan dalam berbagai konteks kepemimpinan.

Powerpoint Naily
Powerpoint Naily

Kepemimpinan yang Berbasis Spiritualitas

  • Manusia Nusantara: Presentasi ini menekankan pada nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh manusia Nusantara, khususnya para pemimpin.
  • Ngeksiganda (Mataram): Istilah ini merujuk pada wilayah Mataram, sebuah kerajaan besar di Jawa pada masa lalu.
  • Pemimpin Penambahan Senopati: Seorang pemimpin yang tidak hanya berfokus pada penambahan pasukan, tetapi juga pada pengembangan spiritualitas para pengikutnya.
  • Puasa, tirakat, olah batin: Praktik-praktik spiritual yang dilakukan untuk mengendalikan hawa nafsu dan meningkatkan kesadaran diri.
  • Prihatin: Sikap peduli dan rendah hati terhadap sesama.
  • Berkarya: Kegiatan yang dilakukan untuk memberikan manfaat bagi masyarakat.

Pentingnya Spiritualitas:

  • Kas atau akas: Konsep ini mengacu pada keberadaan yang lebih tinggi atau spiritual.
  • Hidup harus serius: Manusia harus menjalani hidup dengan tujuan yang jelas dan berusaha untuk mencapai kesempurnaan.
  • Tiga Martabat Manusia:
    • Wiryo (keluhuran): Keutamaan moral dan spiritual.
    • Arto (kekayaan): Kekayaan materi dan non-materi.
    • Winasis (ilmu pengetahuan): Pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran dan pengalaman.

Praktik Spiritual:

  • Waktu luang: Waktu yang seharusnya dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas diri.
  • Membatinkan jiwa: Menyadari keberadaan diri dan tujuan hidup.
  • Menjaga batin: Menjaga pikiran dan perasaan agar tetap positif.
  • Membaca dan belajar: Memperkaya pengetahuan dan wawasan.
  • Berdoa: Berkomunikasi dengan Tuhan.

Powerpoint Naily
Powerpoint Naily

"Tiga Ksatria Keteladanan" atau "Serat Tripama/Tripomo". Tokoh-tokoh ini digambarkan sebagai sosok-sosok yang memiliki karakteristik dan nilai-nilai luhur yang patut diteladani.

Informasi yang Terdapat dalam Gambar

  • Tokoh Utama:
    1. Bambang Sumantri/Patih Suwanda: Dikenal karena sifatnya yang gigih (purun) dan kaya akan pengalaman (guna-kaya). Ia memiliki adik bernama Sukrosono yang berwujud raksasa.
    2. Kumbakarna: Adik dari Rahwana, raja Alengka. Kumbakarna dikenal sangat mencintai tanah airnya.
    3. Adipati Karna: Anak hasil hubungan gelap Kunti, ibu dari Pandawa lima. Karna terkenal akan kesetiaannya pada janji dan keteguhan hatinya.

Makna dan Pesan yang Terkandung

  • Nilai-nilai Kepahlawanan: Ketiga tokoh ini merepresentasikan nilai-nilai kepahlawanan yang tinggi, seperti keberanian, kesetiaan, pengorbanan, dan cinta tanah air.
  • Konflik Batin: Tokoh-tokoh ini seringkali mengalami konflik batin yang kompleks, antara kewajiban, cinta, dan kebenaran.
  • Keteladanan: Mereka dijadikan sebagai contoh atau teladan bagi generasi muda agar memiliki sifat-sifat yang baik dan mulia.
  • Keterkaitan dengan Sejarah Jawa: Cerita ini memiliki akar sejarah dan budaya Jawa yang kuat, sehingga menjadi bagian penting dari warisan budaya bangsa.

Kesimpulan

Gambar di atas menyajikan ringkasan singkat tentang tiga tokoh utama dalam pewayangan Jawa yang memiliki nilai-nilai luhur. Cerita tentang mereka tidak hanya menghibur, tetapi juga mengandung pesan moral yang mendalam tentang kehidupan, keberanian, dan pengorbanan.

Daftar Pustaka

1. Anderson, B. R. (1990). Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. Cornell University Press.
2. Magnis-Suseno, F. (1997). Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafat Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia.
3. Mulder, N. (2005). Mysticism in Java: Ideology in Indonesia. Pustaka Pelajar.
4. Suryomentaram, Ki Ageng. (2003). Kawruh Jiwa: Falsafah Hidup Jawa. Balai Pustaka.
5. Transparency International. (2022). Corruption Perceptions Index 2022. Transparency International.
6. Widodo, B. (2015). "Kebatinan dan Kepemimpinan dalam Perspektif Nilai Kejawen." Jurnal Filsafat Indonesia, 18(2), 123-134.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun