Enam SA" adalah sebuah konsep filosofis yang dikemukakan oleh Ki Ageng Suryomentaram, seorang tokoh spiritual Jawa. Konsep ini berfokus pada enam kata kunci yang diawali dengan huruf "SA" dalam bahasa Jawa, yaitu:
- Sa-butuhne (sebutuhnya): Artinya sesuai dengan kebutuhan. Konsep ini mengajak kita untuk bertindak dan mengambil sesuatu sesuai dengan apa yang benar-benar diperlukan, tidak lebih dan tidak kurang.
- Sa-perlune (seperlunya): Mirip dengan poin pertama, namun lebih menekankan pada aspek urgensi. Kita hanya perlu melakukan sesuatu jika memang benar-benar penting.
- Sa-cukupe (secukupnya): Mengandung makna kepuasan dan rasa syukur. Kita diajarkan untuk merasa cukup dengan apa yang telah dimiliki dan tidak serakah.
- Sa-benere (sebenarnya): Menekankan pada kejujuran dan kebenaran. Kita harus selalu berusaha untuk bertindak dan berkata jujur.
- Sa-mesthine (semestinya): Mengacu pada kewajiban dan tanggung jawab. Kita harus melakukan apa yang seharusnya kita lakukan sesuai dengan peran dan posisi kita.
- Sak-penake (seenaknya): Tampak bertentangan dengan poin-poin sebelumnya, namun sebenarnya mengandung makna fleksibilitas dan adaptasi. Kita diajarkan untuk tidak terlalu kaku dalam menghadapi situasi dan mampu menyesuaikan diri.
Teks tersebut juga menghubungkan konsep Enam SA dengan rasionalitas. Ada dua jenis rasionalitas yang disebutkan:
- Rasionalitas Reflektif: Melibatkan penggunaan akal budi, perasaan, naluri, dan intuisi dalam mengambil keputusan.
- Rasionalitas Akomodatif: Menekankan pada kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang berbeda.
Hasil Gabungan Keduanya: Situasional
Ketika rasionalitas reflektif dan akomodatif digabungkan, maka akan menghasilkan tindakan yang bersifat situasional. Artinya, tindakan yang kita ambil akan disesuaikan dengan konteks dan situasi yang sedang kita hadapi. Contoh yang diberikan adalah seorang pedagang dan seorang murid sekolah yang memiliki cara berkomunikasi yang berbeda.
Konsep ini mengajarkan keseimbangan dalam kehidupan dan menekankan pentingnya pengendalian diri untuk menghindari perilaku korupsi yang seringkali muncul dari ketidakmampuan menahan hawa nafsu dan ambisi.
Kawruh Jiwa
Konsep Kawruh Jiwa adalah inti dari ajaran Ki Ageng Suryomentaram. Istilah ini berarti pemahaman mendalam tentang diri sendiri, yang meliputi: Â
1. "Meruhi awakipun piyambak"
  Artinya memahami diri secara benar, jujur, dan tepat. Orang yang memahami dirinya dengan baik akan menyadari batas kebutuhannya, sehingga terhindar dari sikap serakah dan egois. Â
2. Mengenali orang lain:
  Dengan memahami diri sendiri, seseorang dapat lebih mudah mengenali dan memahami orang lain. Hal ini menciptakan empati dan kemampuan untuk berinteraksi tanpa konflik.
3. Tidak bergantung pada tempat, waktu, dan keadaan:
  Frasa "mboten gumantung papan, wekdal, lan kawontenan"berarti bahwa seseorang yang telah memahami dirinya tidak mudah terpengaruh oleh situasi eksternal. Ia tetap teguh dan konsisten dalam nilai-nilai kebenaran dan integritas.
Relevansi dengan Kepemimpinan Â
Bagian bawah slide menunjukkan keterkaitan ajaran ini dengan "Trait Theories of Leadership", yang menjelaskan bahwa sifat atau karakter pribadi seseorang merupakan fondasi penting dalam kepemimpinan. Menurut Ki Ageng Suryomentaram, pemimpin yang ideal adalah mereka yang mampu memimpin dirinya sendiri terlebih dahulu dengan memahami kebutuhan, batasan, dan nilai-nilai moralnya. Â