Mohon tunggu...
Naily Syafithri
Naily Syafithri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sarjana Akuntansi

-Mahasiswa Sarjana Akuntansi -NIM 43223010046 -Fakultas Ekonomi dan Bisnis -Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB -Dosen : Apollo,Prof. Dr,,M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Quiz 2, Ranggawarsita Tiga Era, Kalasuba, Katatidha, Kalabedhu dan Fenomena Korupsi di Indonesia

31 Oktober 2024   11:51 Diperbarui: 21 November 2024   13:07 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri Apollo, Prof
Dokpri Apollo, Prof
Dokpri Apollo Prof
Dokpri Apollo Prof
Dokpri Apollo, Prof
Dokpri Apollo, Prof
Dokpri Apollo, Prof
Dokpri Apollo, Prof
Dokpri Apollo, Prof
Dokpri Apollo, Prof
Dokpri Apollo, Prof
Dokpri Apollo, Prof
Dokpri Apollo, Prof
Dokpri Apollo, Prof
Dokpri Apollo, Prof
Dokpri Apollo, Prof
Dokpri Apollo, Prof
Dokpri Apollo, Prof
Dokpri Apollo, Prof
Dokpri Apollo, Prof
Dokpri Apollo, Prof
Dokpri Apollo, Prof
Dokpri Apollo, Prof
Dokpri Apollo, Prof

Ranggawarsita: Tiga Era, Kalasuba, Katatidha, Kalabendhu, dan Fenomena Korupsi di Indonesia

 Pendahuluan

Raden Ngabehi Ranggawarsita adalah seorang pujangga besar dari Jawa yang hidup pada abad ke-19. Ia terkenal karena karyanya yang sarat akan nilai-nilai filosofis dan penuh dengan penggambaran kondisi sosial-politik yang kritis terhadap masanya. Salah satu konsep yang ia ciptakan adalah siklus tiga era, yang terdiri dari Kalasuba (masa penuh harapan), Katatidha (masa ketidakpastian), dan Kalabendhu (masa kehancuran moral). 

Konsep ini tidak hanya mencerminkan kondisi masyarakat Jawa pada saat itu, tetapi juga dianggap relevan hingga saat ini dalam menjelaskan tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, terutama dalam hal fenomena korupsi yang meluas di berbagai lapisan masyarakat.

What: Tiga Era dalam Konsep Ranggawarsita

Menurut Ranggawarsita, tiga era ini menggambarkan siklus yang terus berulang dalam sejarah peradaban manusia. Setiap era mencerminkan kondisi sosial, ekonomi, dan moral yang dihadapi masyarakat:

Kalasuba ( Masa Penuh Harapan): 

  Kalasuba adalah masa di mana masyarakat hidup dalam kedamaian, penuh dengan harapan, dan di bawah kepemimpinan yang adil serta bijaksana. Pada masa ini, sistem pemerintahan berjalan dengan baik, dan seluruh rakyat merasakan kesejahteraan. Nilai-nilai moral dan integritas dijunjung tinggi, serta keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu.

Katatidha (Masa Ketidakpastian): 

   Fase Katatidha merupakan masa ketidakpastian. Pada periode ini, kepemimpinan mulai menunjukkan tanda-tanda kelemahan. Hukum menjadi tidak pasti, sehingga banyak kebijakan yang tidak konsisten atau bahkan menguntungkan pihak tertentu saja. Kondisi ini membuat masyarakat mulai kehilangan kepercayaan kepada pemerintah, dan korupsi mulai muncul karena adanya celah dalam sistem hukum dan birokrasi.

Kalabendhu ( Masa Kehancuran): 

   Kalabendhu adalah masa ketika masyarakat mengalami kehancuran total, baik dari segi moralitas, ekonomi, maupun kepercayaan. Dalam fase ini, korupsi dan tindakan amoral sudah merajalela di berbagai lapisan masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin runtuh, dan nilai-nilai etika tidak lagi dihormati. Masa Kalabendhu mencerminkan situasi yang sangat gelap dalam peradaban, di mana moralitas dan keadilan sudah tidak lagi menjadi pegangan utama.

Why: Relevansi Tiga Era dan Fenomena Korupsi di Indonesia

Korupsi di Indonesia telah menjadi masalah besar yang menghambat perkembangan negara di segala bidang. Dalam konteks ini, kita dapat melihat bahwa konsep tiga era Ranggawarsita masih sangat relevan dalam menjelaskan fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia.

Mengapa Korupsi Masih Merajalela di Indonesia? 

   Korupsi di Indonesia bukan hanya masalah individual atau kelemahan personal, tetapi telah menjadi fenomena yang bersifat struktural dan melibatkan banyak lapisan masyarakat. Dalam konteks ini, konsep Kalabendhu menjelaskan bagaimana suatu masyarakat yang mengalami kehancuran moral tidak lagi mampu membedakan antara yang benar dan yang salah. 

Di Indonesia, lemahnya penegakan hukum, kesenjangan ekonomi, serta kurangnya pendidikan integritas membuat korupsi menjadi budaya yang sulit diberantas. Perilaku koruptif ini semakin berakar karena rendahnya nilai-nilai moral dalam sistem pendidikan dan lingkungan kerja.

Mengapa Korupsi Sulit Dihapuskan?

   Korupsi di Indonesia sulit diberantas karena banyak faktor yang saling terkait. Dalam Katatidha, Ranggawarsita menggambarkan bahwa ketidakpastian dan lemahnya penegakan hukum menciptakan ruang bagi korupsi untuk tumbuh subur. Selain itu, ada pula faktor seperti kuatnya tekanan ekonomi, lemahnya pengawasan, dan rendahnya rasa tanggung jawab sosial. 

Di Indonesia, beberapa kasus korupsi melibatkan pejabat tinggi yang membuat penegakan hukum tidak bisa dilakukan secara tegas dan menyeluruh. Hasilnya, para pelaku korupsi sering kali hanya diberikan hukuman ringan, dan tidak ada efek jera yang kuat untuk mencegah korupsi lebih lanjut.

How: Solusi Mengatasi Korupsi dalam Perspektif Tiga Era Ranggawarsita

    Dengan menggunakan perspektif tiga era dari Ranggawarsita, kita dapat merumuskan langkah-langkah strategis untuk mengatasi korupsi. Upaya-upaya ini diharapkan bisa membawa Indonesia menuju masa Kalasuba, yaitu masa yang penuh harapan dan kemakmuran.

Pendidikan Moral dan Anti-Korupsi

   Pendidikan adalah langkah pertama yang sangat penting untuk mencegah korupsi sejak dini. Melalui pendidikan yang menekankan nilai-nilai moral dan integritas, generasi muda dapat dibekali dengan prinsip-prinsip kejujuran dan tanggung jawab sosial. Di masa Kalasuba, pendidikan ini dapat menghasilkan masyarakat yang memiliki kesadaran etis yang tinggi. Pendidikan anti-korupsi juga harus menjadi bagian integral dari kurikulum nasional, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, agar generasi mendatang memiliki fondasi kuat untuk menolak tindakan korupsi.

Penegakan Hukum yang Tegas dan Konsisten

   Penegakan hukum merupakan komponen yang sangat krusial dalam memberantas korupsi. Dalam Kalabendhu, Ranggawarsita menyebutkan bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu untuk mencegah kehancuran moral. Di Indonesia, ini berarti pemerintah harus memberdayakan lembaga-lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan memberikan wewenang penuh untuk menangani kasus korupsi tanpa ada intervensi politik. Hukum yang tegas dan konsisten akan memberikan efek jera kepada para pelaku korupsi, sehingga masyarakat merasa aman dan kepercayaan terhadap pemerintah bisa dipulihkan.

Transparansi dan Pengawasan dari Masyarakat

   Pengawasan dari masyarakat sangat penting dalam mencegah terjadinya korupsi. Di era digital, media sosial dan platform daring lainnya menyediakan ruang untuk meningkatkan transparansi. Dalam Katatidha, Ranggawarsita menggambarkan masyarakat yang kehilangan arah akibat lemahnya pengawasan.

 Transparansi yang kuat memungkinkan masyarakat untuk mengawasi pengelolaan anggaran dan kebijakan pemerintah. Dengan adanya transparansi ini, masyarakat dapat turut serta melaporkan tindakan korupsi, sehingga pengawasan publik bisa menjadi kekuatan tambahan dalam pemberantasan korupsi.

Reformasi Birokrasi yang Terstruktur dan Transparan

   Reformasi birokrasi adalah langkah penting lainnya yang perlu dilakukan untuk meminimalkan peluang korupsi. Birokrasi yang panjang dan rumit sering kali menjadi lahan subur bagi praktik korupsi. 

Dalam konteks *Kalabendhu*, birokrasi yang tidak transparan dan panjang ini sering kali menyebabkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Dengan memanfaatkan teknologi digital dan memotong jalur birokrasi yang tidak efisien, pemerintah dapat menciptakan sistem pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel. Reformasi ini juga perlu disertai dengan peningkatan kesejahteraan para pegawai negeri agar mereka tidak tergoda untuk melakukan korupsi.

Memperkuat Nilai Budaya Anti-Korupsi

Ranggawarsita melalui konsep Kalasuba menekankan pentingnya nilai-nilai budaya yang menekankan pada kejujuran, kebersamaan, dan integritas. Untuk mengatasi korupsi, pemerintah dan masyarakat perlu membangun kembali karakter bangsa yang berlandaskan pada nilai-nilai ini. 

Penguatan karakter bangsa melalui pendidikan dan kampanye sosial dapat membantu masyarakat untuk menghormati etika dan menghargai kejujuran. Budaya anti-korupsi perlu terus dipromosikan melalui media, pendidikan, dan program masyarakat, agar terbentuk generasi yang sadar akan pentingnya integritas.

Kesimpulan

Konsep tiga era menurut Ranggawarsita Kalasuba, Katatidha, dan Kalabendhu memberikan pandangan yang jelas tentang bagaimana perubahan sosial dapat membawa masyarakat ke dalam masa kejayaan, ketidakpastian, atau bahkan kehancuran moral. 

Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini mencerminkan kondisi Kalabendhu, di mana sistem sosial dan hukum melemah, serta korupsi merajalela. Namun, kita masih memiliki kesempatan untuk keluar dari masa gelap ini dan menuju Kalasuba yang penuh harapan.

Langkah-langkah konkret yang dapat diambil untuk memberantas korupsi adalah dengan menerapkan pendidikan moral dan anti-korupsi, memperkuat penegakan hukum yang tegas, meningkatkan transparansi, melakukan reformasi birokrasi, dan memperkuat nilai-nilai budaya anti-korupsi. Dengan mengambil inspirasi dari karya Ranggawarsita, Masyarakat

Daftar Pustaka

1. Atmojo, M. S. (2009). Ranggawarsita: Pujangga Nusantara dan Ramalan Sosial Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 

2. Day, T. (2012). The Fall of Java: An Analysis of the Works of Ranggawarsita. London: Routledge. 

3. Geertz, C. (1960). The Religion of Java. New York: The Free Press. 

4. Kusuma, H. W. (2015). Kekuasaan dan Moralitas: Konsep Kebijaksanaan dalam Serat Kalatidha Karya Ranggawarsita. Surakarta: UNS Press. 

5. Wahyuni, S. (2019). Korupsi dan Transformasi Sosial di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 

6. Kurniawan, A., & Sari, M. R. (2021). "Pengaruh Budaya Lokal dalam Pencegahan Korupsi: Telaah Karya Ranggawarsita." Jurnal Antikorupsi dan Etika Publik, 15(3), 221-238. 

7. Sedyawati, E. (2006). Budaya Indonesia: Kajian Konsep dan Teori. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 

8. Zain, T. M., & Adjie, S. A. (2018). Memahami Korupsi: Perspektif Sosial dan Budaya. Bandung: Humaniora Utama Press. 

9. Moedjanto, G. (1986). The Concept of Power in Javanese Culture. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 

10. Susanto, B. (2011). "Antara Kekuasaan dan Integritas: Belajar dari Falsafah Jawa." Majalah Filsafat Nusantara, 8(2), 110-122. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun