Mohon tunggu...
Naily Syafithri
Naily Syafithri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sarjana Akuntansi

-Mahasiswa Sarjana Akuntansi -NIM 43223010046 -Fakultas Ekonomi dan Bisnis -Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB -Dosen : Apollo,Prof. Dr,,M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

TB 1, Diskursus Gaya Kepemimpinan Menurut Aristoteles

23 Oktober 2024   09:08 Diperbarui: 21 November 2024   13:05 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diskursus Gaya Kepemimpinan Menurut Aristoteles

Aristoteles, seorang filsuf Yunani yang hidup pada abad ke-4 SM, memberikan pengaruh yang signifikan dalam berbagai bidang, termasuk politik, etika, dan filsafat. Salah satu konsep yang diangkat oleh Aristoteles adalah tentang gaya kepemimpinan. Dalam pemikirannya, ia tidak hanya membahas bagaimana seseorang seharusnya memimpin, tetapi juga memberikan wawasan mendalam mengenai sifat dasar manusia, keadilan, dan tujuan kepemimpinan itu sendiri.

  • Apa yang Dimaksud dengan Kepemimpinan Menurut Aristoteles?

Diskursus gaya kepemimpinan menurut Aristoteles merujuk pada pandangannya tentang kepemimpinan yang berhubungan dengan etika, moralitas, dan filsafat politik, yang dibahas dalam karya-karya seperti Politika dan Nikomachean Ethics. Aristoteles tidak secara eksplisit menyebut istilah "gaya kepemimpinan" seperti yang dipahami dalam konteks modern, tetapi ia menawarkan pandangan mendasar tentang sifat kepemimpinan, sifat manusia, dan bagaimana pemerintahan seharusnya dijalankan. Beberapa aspek penting dari diskursus gaya kepemimpinan menurut Aristoteles adalah sebagai berikut:

  • Etika Kepemimpinan dan Kebajikan (Virtue)

Aristoteles menekankan bahwa kepemimpinan yang baik harus didasarkan pada kebajikan moral (virtue ethics). Dalam karyanya Nicomachean Ethics, Aristoteles menguraikan bahwa orang yang berkuasa harus memiliki kebajikan (arete) yang tinggi, terutama dalam konteks keadilan, kebijaksanaan, dan keberanian. Pemimpin yang baik bukan hanya seseorang yang mampu membuat keputusan yang bijaksana, tetapi juga harus memiliki karakter moral yang mulia. Menurutnya, kebajikan ini bukanlah bawaan lahir, tetapi sesuatu yang bisa dikembangkan melalui kebiasaan baik dan pendidikan yang benar.

Aristoteles menyebut kebajikan sebagai "tengah-tengah" antara dua ekstrem. Contohnya, keberanian adalah jalan tengah antara kepengecutan dan kecerobohan. Begitu pula, seorang pemimpin yang baik harus mampu menyeimbangkan keputusan dan tindakan yang tepat di antara dua ekstrem dalam menjalankan pemerintahan.

  • Pemimpin sebagai Pribadi yang Rasional

Menurut Aristoteles, manusia adalah zoon politikon, atau "hewan politik," yang secara alami hidup dalam komunitas dan memiliki kemampuan untuk menggunakan akal budi (rasio) dalam bertindak. Pemimpin yang ideal, dalam pandangan Aristoteles, adalah mereka yang mampu menggunakan akal dan logika dalam mengambil keputusan politik yang tidak hanya menguntungkan dirinya sendiri, tetapi juga masyarakat yang dipimpinnya.

Dalam hal ini, Aristoteles menentang bentuk kepemimpinan yang berdasarkan pada nafsu, emosionalitas, atau kepentingan pribadi. Pemimpin harus bertindak secara rasional dan berdasarkan kebaikan bersama. Mereka harus mampu mengendalikan emosi dan berfokus pada apa yang terbaik untuk keseluruhan negara atau komunitas.

  • Kepemimpinan dan Jenis-Jenis Pemerintahan

Dalam karyanya Politika, Aristoteles membedakan tiga bentuk pemerintahan yang baik, yang masing-masing memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda:

  • Monarki (Kepemimpinan oleh satu orang): Bentuk pemerintahan di mana seorang pemimpin (raja) yang baik dan bijaksana memerintah untuk kepentingan umum. Namun, monarki yang merosot akan berubah menjadi tirani, yaitu kepemimpinan oleh satu orang untuk kepentingan dirinya sendiri
  • Aristokrasi (Kepemimpinan oleh sedikit orang yang terbaik): Pemerintahan oleh kelompok elite yang terdiri dari individu-individu yang berbudi luhur dan memimpin demi kepentingan umum. Jika aristokrasi merosot, maka akan berubah menjadi oligarki, di mana kekuasaan dipegang oleh sekelompok kecil orang yang hanya peduli pada kekayaan dan kekuasaan mereka sendiri.
  • Politeia (Kepemimpinan oleh banyak orang): Ini adalah bentuk pemerintahan campuran, di mana warga negara yang berpartisipasi dalam politik mengambil keputusan untuk kepentingan umum. Namun, bentuk buruk dari politeia adalah demokrasi (dalam arti negatif menurut Aristoteles), di mana massa yang tidak berpendidikan dan tidak bijaksana memerintah hanya untuk kepentingan mayoritas.

Setiap bentuk pemerintahan yang baik, menurut Aristoteles, memiliki gaya kepemimpinan yang mencerminkan kebajikan dan orientasi pada kebaikan umum. Ketika pemerintahan beralih ke bentuk-bentuk yang korup, gaya kepemimpinan menjadi rusak dan lebih mementingkan keuntungan pribadi.

  • Kepemimpinan sebagai Pelayanan (Servant Leadership)

Meskipun Aristoteles tidak menggunakan istilah "servant leadership," ia memiliki pandangan bahwa pemimpin yang ideal harus melihat dirinya sebagai pelayan bagi masyarakat, bukan sebagai penguasa yang memanfaatkan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Kepemimpinan harus ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat dan harus dilakukan dengan rasa tanggung jawab.

Ia percaya bahwa seorang pemimpin sejati harus bekerja untuk mencapai eudaimonia, yaitu kebahagiaan atau kesejahteraan tertinggi bagi semua warga negara, yang hanya bisa dicapai jika pemimpin bertindak adil dan bijaksana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun