Mohon tunggu...
Nailur Rohmah
Nailur Rohmah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Human

Manusia yang suka nulis, belajar hidup dari deadline, dan percaya setiap cerita punya makna. Simak aja, siapa tahu nyantol di hati!

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Melawan Budaya Konsumsi Berlebih ala Mukbang

30 November 2024   23:29 Diperbarui: 30 November 2024   23:28 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Hadis Rasulullah SAW yang berbunyi "makan sebelum lapar, berhenti sebelum kenyang" adalah pedoman hidup yang sarat makna. Bukan sekadar soal pola makan, tetapi ia mencerminkan keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan pengendalian diri. Namun, di era modern yang serba cepat dan penuh distraksi, ajaran ini kerap terpinggirkan, apalagi dengan tren mukbang yang semakin populer.  

     Mukbang, tren dari Korea Selatan, menghadirkan tontonan seseorang yang menyantap makanan dalam porsi besar. Dulu, mukbang hanya dikenal di kalangan tertentu sebagai hiburan ringan, tetapi kini menjadi budaya global. Para pelaku mukbang berlomba-lomba menunjukkan kemampuan mereka menyantap makanan berlebihan, terkadang sampai mengorbankan kesehatan demi konten. Fenomena ini menjadi paradoks di tengah ajaran Rasulullah SAW yang menekankan kesederhanaan dan kontrol diri.  

     Pesan dalam hadis Rasulullah SAW ini sebenarnya sangat relevan di masa kini. "Makan sebelum lapar" mendorong kita untuk menjaga pola makan teratur, tidak menunggu hingga tubuh terlalu lelah atau lapar yang berlebihan. Sedangkan "berhenti sebelum kenyang" mengajarkan batasan; bahwa kenikmatan duniawi, termasuk makanan, tidak boleh dibiarkan tanpa kendali. Sebaliknya, mukbang justru mendorong pola makan ekstrem dan konsumsi berlebihan yang dapat memengaruhi cara pandang masyarakat terhadap makanan.  

     Ketika kita melihat seseorang di layar menyantap berbagai jenis makanan dalam porsi besar, ada daya tarik yang sulit dijelaskan. Mungkin ini berkaitan dengan hiburan visual, atau sekadar pelarian dari rutinitas sehari-hari. Namun, perlu diingat bahwa tontonan seperti ini juga membawa dampak negatif. Para pelaku mukbang sering mengalami masalah kesehatan akibat pola makan tidak wajar, sementara para penonton, terutama anak muda, bisa terpengaruh untuk memandang makanan hanya sebagai objek hiburan, bukan kebutuhan yang harus dihargai.  

     Islam mengajarkan kita untuk menghormati makanan, menyadari fungsinya sebagai nikmat sekaligus amanah. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman, "Dan makanlah dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan" (QS. Al-A’raf: 31). Prinsip ini sangat jelas: kesederhanaan dan pengendalian adalah kunci. Mukbang, jika tidak diimbangi dengan kesadaran tersebut, dapat menjadi cerminan budaya konsumtif yang berlawanan dengan nilai-nilai Islam.  

     Bukan berarti mukbang sepenuhnya harus ditolak. Dalam beberapa kasus, tren ini digunakan untuk memperkenalkan makanan khas daerah, mendukung usaha lokal, atau menjalin interaksi dengan komunitas. Namun, batasannya harus jelas. Mukbang tidak boleh menjadi alasan untuk merayakan keborosan atau mengabaikan kesehatan. Prinsip "makan sebelum lapar, berhenti sebelum kenyang" tetap harus menjadi pedoman yang menjaga kita dari perilaku yang melampaui batas.  

     Fenomena ini juga harus dilihat dalam konteks sosial yang lebih luas. Ketika sebagian orang di dunia menghabiskan makanan dalam jumlah besar untuk hiburan, ada jutaan lainnya yang kelaparan dan kekurangan gizi. Ajaran Islam tentang pola makan bukan hanya soal tubuh, tetapi juga soal empati dan keadilan sosial. Dengan mengatur diri, kita dapat lebih peka terhadap kebutuhan orang lain dan lebih menghargai apa yang kita miliki.  

     Tren mukbang, meskipun populer, seharusnya tidak menggantikan prinsip hidup yang lebih mendalam. Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk hidup seimbang memenuhi kebutuhan tanpa berlebihan, menikmati dunia tanpa melupakan akhirat. Mukbang boleh saja dilihat sebagai hiburan, tetapi jangan sampai merusak kesadaran kita tentang pentingnya pengendalian diri.  

     Pada akhirnya, hadis "makan sebelum lapar, berhenti sebelum kenyang" bukan sekadar nasihat tentang pola makan, tetapi pengingat bahwa hidup yang seimbang adalah kunci kebahagiaan. Di tengah godaan dunia modern, kita diingatkan untuk kembali kepada nilai-nilai sederhana yang mengajarkan rasa syukur, empati, dan tanggung jawab. Fenomena mukbang pun dapat menjadi pengingat bagi kita untuk selalu mempertanyakan: apakah pola hidup kita sudah selaras dengan ajaran Rasulullah SAW, atau justru menjauh dari hikmah yang telah beliau sampaikan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun