Mohon tunggu...
Mohammad Nailur Rochman
Mohammad Nailur Rochman Mohon Tunggu... -

Mencari Inspirasi dari setiap Konspirasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Terorisme: Made in U.S.A.

2 Oktober 2011   12:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:25 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita merasa bahwa umat Islam sekarang mendapatkan judgment yang kurang menyenangkan ketika harus berhadapan dengan non-muslim. Rasa ketakutan mereka saat berjumpa dengan seorang muslim, khususnya yang berjenggot dan celananya sedikit diatas mata kaki, tidak bisa mereka tutup-tutupi lagi. “Label” khusus yang tersematkan kepada kaum muslimin di dunia ini seakan-akan telah menempatkan Islam sebagai agama yang mengandung kesalahan dan kekerasan. Pandangan ini muncul tidak hanya karena kejadian 9/11, akan tetapi juga karena kejadian-kejadian lain yang telah mendahului dan yang terjadi setelah itu (peristiwa 9/11).

Kata-kata yang telah membius masyarakat dunia dan menghancurkan citra Islam dan muslimin di mata dunia itu adalah kata-kata yang dilontarkan begitu mudahnya oleh seseorang yang memaksakan pengaruh dan dominasinya dengan retorika “memerangi terorisme” melalui program war on terrorism yang memiliki slogan “whether you with us, or you with terrorists”. Tidak hanya itu, peristiwa 9/11 juga mengilhami Bush untuk mencetuskan sebuah pernyataan yang kontroversial dengan menyatakan bahwa runtuhnya WTC tersebut adalah awal dari new crusade war (perang salib baru).

Istilah “terorisme” setelah itu menjadi sangat lumrah di bibir orang-orang awam. Semua orang menyebut-nyebut terorisme dan tidak semua dari mereka dapat menjelaskan terorisme itu sendiri. Terorisme adalah istilah yang sederhana namun memiliki dampak yang luar biasa. Istilah ini telah merubah perilaku negara-negara terhadap rakyatnya, khususnya negara yang mayoritas berpenduduk muslim. Istilah ini merupakan satu arah baru yang menentukan kebijakan negara-negara di dunia dalam mengantisipasi adanya kejahatan teror di dalam negeri. Negara-negara yang tidak mau disebut sebagai “musuh” oleh AS akan melakukan langkah pencegahan dengan berbagai cara termasuk standarisasi prosedur pengamanan nasional a la AS. Istilah ini juga telah memberikan justifikasi terhadap perilaku AS atas invasinya ke Irak dan Afghanistan. Asia Tenggara menjadi “front kedua” medan kampanye anti-terorisme Bush setelah Afghanistan. Asia tenggara, yang mayoritas penduduknya moderat dan toleran, tetap menjadi incaran Bush hanya karena banyaknya masyarakat yang memeluk agama persis seperti agama yang dipeluk oleh Osama bin Laden, orang yang dituduh Amerika berada di balik serangan di New York dan Washington D.C. Dengan atau tanpa bukti dan dasar hukum yang jelas, AS dan sekutunya dapat melakukan serangan ke suatu negara dengan alasan perang melawan terorisme. Entah apakah benar terorisme yang akan diberantas, ataukah kemakmuran negara itu yang akan dirampas. Umat Islam dunia mendapatkan kekalahan yang cukup telak di hadapan Barat akibat istilah “terorisme” ini. Peran negara Islam seakan-akan tumpul dalam merespon kebijakan AS terhadap Dunia Islam.

Sebenarnya, jika ditilik lebih dalam, “terorisme” sendiri adalah istilah yang masih debatable. Perdebatan tentang terorisme adalah perdebatan seputar apa itu terorisme? Siapakah teroris? Dan apakah terorisme selalu identik dengan Islam?

Jika kita memahami makna epistemologis dari term “terorisme” itu sendiri, maka kita akan menemukan pemahaman bahwa segala kegiatan yang dimaksudkan untuk mengintimidasi dan mengancam seseorang adalah kegiatan teror. Dengan definisi yang seperti itu, kiranya masih pantaskah AS selalu menuding orang lain sebagai teroris sedangkan ia adalah teroris yang paling bengis diantara jenis teroris yang ada. AS mampu merubah kegiatan terornya menjadi suatu agenda bersama sekumpulan negara-negara maju yang disetujui oleh rezim internasional, pemerintah di atas pemerintah (supra-state), yaitu Persatuan Bangsa Bangsa. AS dengan hegemoni dan dominasinya, mampu mengemas secara sistematis bentuk kejahatan dan kekerasan model baru yang lebih mutakhir yang tidak bisa dituntut secara hukum. Kelihaian ini yang sebenarnya menyebabkan adanya divergensi dan distorsi makna dari istilah “terorisme” tersebut.

Mengenai siapakah teroris itu, maka naif kiranya kalau kita masih akan mempertanyakan lagi siapa pelaku teroris dengan tingkat kejahatan paling jahat yang pernah ada dan masih ada di muka bumi ini. Konflik Israel-Palestina tidak mampu dihentikan oleh AS yang selalu menyerukan demokrasi, nilai-nilai HAM, perang melawan terorisme. Padahal kondisi nyata menyatakan bahwa Palestina tidak hanya diperangi secara fisik, tapi mereka juga diintimidasi mental dan hak-hak dasarnya seperti listrik, air, makanan dan minuman, serta obat-obatan. Ribuan bahkan puluhan ribu telah meninggal, dan fakta itu hanya dinilai oleh AS sebagai bentuk pertahanan diri Israel atas militan-militan Palestina. Sekedar untuk menambahkan fakta, hanya 4% dari seluruh media AS yang menyebut Israel sebagai teroris, dan menurut penulis itu tidaklah cukup untuk merubah mindset masyarakat dunia.

Ini menandakan bahwa DK PBB tidak mampu berbuat banyak ketika AS yang memiliki kepentingan, struktur PBB bersifat politis dan tidak mencerminkan kepentingan negara-negara yang bergabung dalam organisasi internasional tersebut. Negara-negara anggota ini menginginkan dunia yang lebih damai dan saling bekerjasama untuk menciptakan perdamaian. Namun PBB, sebagai pembuat sekaligus pelaksana hukum internasional, tidak kuasa melakukan tindakan yang cepat tanggap terhadap salah satu anggota istimewanya. Puluhan tahun konflik Israel dan Palestina berlangsung, tidak ada satupun pesawat NATO yang melintas di awan jalur Gaza. Tapi hanya dalam beberapa bulan saja, pesawat-pesawat NATO bisa memborbardir Afghanistan dan isu yang terbaru terkait human violence yaitu isu kemanusiaan di Libya. Apakah pantas seorang penjahat yang membunuh ribuan orang sudah termasuk dalam kategori teroris sedangkan penjahat yang telah menumpas jutaan orang masih disebut sebagai penjamin keamanan dunia?

Ketidakadilan struktural internasional dan tidak terakomodasinya suara Islam di kancah internasional ini juga yang mendorong ketidakpuasan kelompok-kelompok militan, baik terhadap pemerintahan lokal maupun terhadap pemerintahan internasional. Kelompok ini kemudian menganggap bahwa tidak ada jalan lain untuk memperjuangkan nasib umat Islam kecuali dengan melawan neo-imperialisme dan neo-kolonialisme Barat ini. Ironisnya, gerakan perlawanan yang mengatasnamakan Islam ini juga tidak terlepas dari pedagang senjata dan pengusaha kaya raya yang berasal dari negeri Paman Sam sendiri. Adanya konflik yang berkepanjangan berarti meningkatnya permintaan pasokan senjata yang digunakan. Kondisi ini merupakan pasar yang kondusif bagi para pedagang sekaligus para penyelundup senjata.

Kalau terorisme dikaitkan dengan Islam, memang akhir-akhir ini ada hubungan pelaku teror dengan orang-orang yang memeluk Islam. Tapi itu tidak cukup untuk mengatakan bahwa Islam adalah agama agresif, brutal dan tidak toleran. Pelaku kejahatan dan teror yang mengaku Islam, belum tentu mereka memahami betul sejarah Islam yang mencerminkan kerukunan antar umat beragama, seperti di Palestina antara Yahudi dan Muslimin di era Nabi kala itu. Mereka juga adalah orang-orang yang salah dalam memahami arti jihad dalam Al-Qur’an. Selain itu, ada indikasi karena terlanjur menderita dan tertuduh, kaum yang beraliran keras ini semakin beringas dalam melawan dan malah melakukan aksi teror yang semakin berlebihan sehingga AS semakin menemukan “menu” makanan yang lezat untuk disantap dan dinikmati tanpa merasa bersalah terhadap komunitas global.

Yang pasti, Islam sebagai agama penutup dan penyempurna tidak pernah memerintahkan umatnya untuk merusak bumi dan merugikan orang lain, namun dalam meyakini ajarannya, memang terdapat perbedaan pemahaman terhadap syariah Islam sehingga muncul aliran-aliran yang berperilaku secara radikal. Fenomena ini bukan hanya terjadi di dalam Islam, melainkan juga di dalam agama-agama lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun