Mohon tunggu...
Mohammad Nailur Rochman
Mohammad Nailur Rochman Mohon Tunggu... -

Mencari Inspirasi dari setiap Konspirasi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Posisi Strategis Islam dalam Politik Internasional

2 Desember 2011   02:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:56 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sulit untuk mengatakan bahwa Islam adalah satu komunitas keagamaan yang tidak memiliki pengaruh apa-apa dalam politik internasional. Keadidayaan Islam di dunia dapat dirasakan di masa-masa kehalifahan dan dinasti Muawiyah, Abbasiyah dan Usmaniyah. Islam adalah agama terbesar kedua di dunia setelah Kristen. Bahkan Abdullah an-Naim, tokoh muslim liberal mengatakan bahwa jumlah penduduk muslim adalah seperlima dari jumlah umat manusia secara keseluruhan. Sangat jelas sekali bahwa Islam adalah agama yang besar, dari dulu sampai sekarang.

Tapi sekarang, kekuasaan Islam merosot jauh dan seakan-akan menjadi agama yang dikucilkan. Sebagai bukti, banyak negara Islam yang takluk pada sistem ekonomi dan politik barat, dan tidak sedikit negara Islam yang telah kehilangan identitas keIslamannya karena tergerus budaya kapitalisme, hedonisme dan modernisme. Lihat saja Qatar, Abu Dhabi, dan Uni Emirat Arab yang sekarang berubah menjadi negara Barat di Jazirah Arab. Lihat saja nasib kekejaman yang dialami oleh negara-negara Islam karena tuduhan terorisme atau anti-demokratisasi.

Terdapat dua faktor untuk melihat seberapa strategis posisi Islam dalam politik internasional. Pertama adalah faktor kultural dan yang kedua adalah faktor struktural. Di tataran kultural, Islam sebenarnya memiliki tradisi yang terbaik karena memiliki tatanan kehidupan dan kenegaraan yang ideal. Bentuk kehidupan yang ideal, terlihat dalam ajaran Islam yang mengajarkan toleransi dan solidaritas kepada sesama dan selalu peduli terhadap kemiskinan dan kedzaliman yang dialami umat manusia secara umum, tidak hanya terbatas pada umat Islam saja. Islam juga melarang pemaksaan kepada seseorang untuk memeluk agama tertentu. Islam mengakui hak-hak asasi manusia. Islam menghargai hak-hak wanita yang sering diabaikan di berbagai negara. Islam juga mengajarkan agar manusia berperilaku sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Tuhan, karena semua yang ada di dunia ini adalah milik Tuhan dan semuanya akan kembali kepada-Nya.

Faktor kedua adalah faktor struktural, dimana Islam dan Muslim memang ditempatkan di posisi yang tidak strategis. Ada ketidakadilan struktural yang disengaja untuk memojokkan Islam dan menghilangkan pengaruh Islam. Bayangkan saja, tidak ada negara Islam yang menjadi anggota tetap dalam DK PBB yang memiliki hak veto. Hegemoni barat dalam sistem internasional tentu merubah struktur domestik negara-negara lain, khususnya negara berpenduduk muslim. Perubahan struktur domestik yang mengarah pada kapitalisme dan liberalisme ini kemudian melahirkan ketidakadilan dalam pembagian kekuasaan dan kesejahteraan di dalam masyarakatnya. Perlawanan masyarakat pun mulai muncul dan semakin membesar, tidak hanya melawan pemerintah lokal tapi melawan sistem internasional dengan tindak kekerasan. Dan yang membuat Islam semakin terpuruk lagi, adanya terma terorisme yang disematkan kepada umat Islam secara keseluruhan menimbulkan munculnya counter terhadap terorisme yang secara tidak langsung memojokkan negara-negara Islam dan membuat mereka membuka pintu bagi masuknya nilai-nilai Barat demi terhindar dari cap sebagai negara teroris.

Dengan melihat luhurnya nilai-nilai Islam, potensi terbentuknya umat Islam yang bersatu akan semakin kuat. Persatuan Islam dengan segala tradisinya merupakan ancaman bagi Barat karena itu akan mengebiri kekuatan Barat dalam segi ekonomi dan politik. Ekonomi Barat sangat tergantung pada apa yang ada dalam “bumi” Islam. Tanpa itu, Barat tidak akan bisa menjadi negara industri maju seperti saat ini.

Ironisnya, umat Islam saat ini kurang menyadari kebesaran ajaran agamanya dan sering melupakan sisi-sisi Islam yang penuh perdamaian. Islam dipahami sebagai suatu nilai yang tidak dapat disatukan dengan nilai-nilai Barat dan harus melawan setiap nilai yang datangnya dari Barat. Padahal Barat pada dasarnya juga mengambil pelajaran mengenai hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dari Islam. Maka tidak seharusnya ketidakadilan struktural dilawan dengan mengabaikan faktor kultural yang berisikan nilai-nilai Islam yang sebenarnya luhur dan disegani pihak non-muslim.

Islam sebagai agama dan ajaran, akan tetap luhur dan jaya. Tapi nasib Islam belum tentu demikian karena Islam sangatlah tergantung pada perangai para umatnya. Ketika umat Islam sudah terpecah dan terkontaminasi, maka posisi Islam pun akan semakin mengecil di mata Internasional. Namun ketika persatuan perspektif umat Islam untuk membawa Islam lebih muncul di dunia tercapai, maka bukan hal yang mustahil kejayaan dan hegemoni Islam dalam menguasai dunia terulang kembali. Mungkin dapat dikatakan bahwa yang salah selama ini bukan Islamnya, tapi muslimnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun