Teng... teng... teng....
Viona berjengit kaget, buru-buru menuliskan kalimat terakhir di lembar jawaban kertas ujian sebelum pengawas memintanya untuk keluar. Bel di sekolahnya ini gemar sekali membuat pendengarnya jantungan.
"Waktu ujian selesai. Silakan letakkan lembar jawaban di meja lalu tinggalkan ruangan!" Suara tegas dari pengawa ujian terdengar lantang menimbulkan kericuhan di kelas. Beberapa murid menggerutu karena tidak puas, ada yang menfaatkan kesempatan untuk bertanya pada teman yang sudah selesai mengerjakan, sedangkan sisanya hanya berpasrah pada nasib. Toh mereka sudah berusaha.
Viona masuk dalam golongan orang yang pasrah. Yang ia inginkan adalah segera keluar ruangan. Otaknya itu sudah tak sanggup memikirrkan mana jawaban yang benar. Toh ia akan lulus apapun yang terjadi.
"Ayo!" Viona berjengit ketika salah satu teman sekelasnya menepuk pelan pundaknya. Namanya Lara. Tubuhnya tinggi, memuat Viona terlihat pendek bila bersanding dengannya. Lara merupakan salah satu anggota paskibraka di sekolah. Mereka keluar kelas bersama lalu memutuskan untuk duduk di salah satu kursi yang memang ditempatkan di luar kelas seraya memandangi lapangan volly yang dipenuhi oleh lautan manusia yang berlalu lalang. Lapangan volly yang tiang netnya bisa dibongkar pasang itu memang kerap dijadikan jalan alternatif para siswa apabila mereka malas berdesakan berjalan di jalan setapak.
"Elina! Gimana tadi, bisa ngerjain?"Â
Viona dan Lara kompak menoleh ke asal suara. Ini dia penyebab mengapa ia tidak langsung pulang. Mereka harus menunggu Elina yang sayangnya berada dalam kelas yang berbeda. Lihatlah! Gadis yang mereka tunggu itu justru berjalan loyo dengan mata merah.
"Gak tau lah. Gue gak jawab soal esai yang nomor 5. Padahal gampang banget. Tinggal nulis pakai aksara jawa. Eh, kertasnya udah keburu keambil sama pengawas karena waktunya udah habis" Gadis itu berbicara dengan nada tersendat seperti menahan tangis.
Viona nyaris saja menepuk dahi mendengar penuturan Elina yang sebenarnya sama sekali tak bisa ia mengerti. Ia, Lara dan Elina sudah berteman sejak SMP dan diantara mereka bertiga, Elina adalah satu-satunya orang yang tidak bisa menerima konsep 'pasrah' dalam mengerjakan ujian atau apapun itu yang menyangkut nilai. Viona selalu heran. Padahal jelas-jelas temannya itu sudah diterima dalam perguruan tinggi negeri yang namanya cukup terkenal di Indonesia melalui SNMPTN. Tapi gadis itu bahkan masih menghkawatirkan ujian yang jelas-jelas mereka semua akan di luluskan.
"Itu tandanya Lo harus belajar lebih giat lagi. Dah lah ayo pulang" Lara yang sudah jengah menyeret paksa Elina agar mengikutinya. Meski berbeda kelas mereka selalu pulang bersama. Baru saja mereka nyaris sampai di parkiran motor, langkah mereka berhenti karena teralihkan oleh suatu hal.
"Vira!" Lara yang biasanya cuek dengan keadaan kini berseru nyaring. Membuat gadis yang dipanggil namanya itu menoleh seraya menyipitkan mata.
Viona diam. Bersiap menerima respon dari gadis bernama Vira. Mana mungkin Viona tak mengenalnya. Dulu mereka berempat pernah dekat sekali. Bahkan Viona dan Vira sudah salah mengenal sejak SD. Hanya saja komunikasi mereka terputus setelah masuk SMA. Jujur, Ia merasa sedikit canggung. Viona masih ingat sekali kejadian itu. suatu masalah yang meembuat mereka seperti sekarang ini.
Kejadian ini bermula dari 3 tahun yang lalu, tepat ketika mereka diterima sebuah SMA yang ada di kecamatan tempat mereka tinggal. Kala itu, diantara mereka berempat hanya Vira yang memilih jurusan berbeda sehingga merekapun harus ditempatkan di kelas yang jauh. Sebenarnya diantara mereka berempat hanya Viona dan Lara yang berada dalam kelas yang sama sedangkan Elina di tempatkan di kelas yang letaknya tepat di sebelah kelas yang mereka tempati. Bedanya, Elina, Viona dan Lara tetap bertemu secara rutin saat jam pulang sekolah, sedangkan Vira serasa berada dalam dunianya sendiri.
Vira memang nakal. Awalnya, perilaku bandelnya ini memang masih wajar. Namun, lama-kelamaan kenakalan gadis ini mulai tak bisa dikendalikan. Pada saat itu Vionalah yang paling marah atas beruahnya sifat Vira.
"Dari 30 orang dikelas, 136 orang di jurusan, dan ratusan orang disekolah ini, kenapa sih, Lo harus temenan sama mereka? Udah tau Lo di goblokin masih mau aja lo pergi sama mereka" Teras rumah Viona menjadi saksi marahnya gadis itu pada Vira.
Elina mengangguk-angguk, mencomot kue yang sebenarnya gagal ia buat tadi. Padahal kue itu tadinya akan dijadikan sebagai kue untuk merayakan ulang tahun Viona. "Sorry ya, bukannya sok, tapi gue juga melarang keras Lo temenan sama mereka. Semenjak temenan sama mereka, nilai Lo hancur. Lo nggak kasihan sama Ibu dan almahrum bapak Lo kalau Lo sampai gak naik kelas? Intinya gue ga suka sama Luna atau siapapun temen Lo itu" Padahal selama ini Elina tidak pernah berkata terang-terangan. Apalagi ketika menjelekkan seseorang. Gadis itu selalu berpikir dua kali ketika hendak berbicara. Tapi kali ini gadis itu justru melontarkan kalimat negatif di kepalanya dengan santai tanpa pikir panjang.
Vira memanyunkan bibirnya. Tadinya ia hanya ingin bercerita kenapa pula jadi ia yang kena marah. "Tapi cuma mereka yang mau temenan sama gue di sekolah---"
"Ya terus lo nganggap kita apa?" Lara berdecak sebal. "Lo aja yang ga bisa pilih sirkel pertemanan. Giliran dimanfaatin ngeluh, tapi disuruh menjauh ga mau" Gadis itu merengut kesal. Kapan Vira sadar bahwa ia sedang dimanfaatkan.
"Dah ah, ganti topik. Gue ga mau hari ulang tahun gue hancur gara-gara si Lu---"
Tin tin!!!
"Vira!" Suara kalakson motor diiringi teriakan yang memekakan telinga berhasil memotong ucapan Viona. Tak lama kemudian, oran tang menjadi topik bahasan mereka itu datang seraya menaiki sepeda motor. "gue tadi ke rumah Lo, katanya Lo ada di sini. Ikut gue pergi yuk. Tapi gue pinjem baju Lo ya, yakali gue pergi pakai baju buluk" ujar Luna dengan nada manja khasnya.
"Anj---" umpatan kotor itu nyaris saja keluar dari mulut Viona jika saja tangannya tak disenggol oleh Elina. Gadis berkacamata itu berdeham. Gadis itu bergumam mengungkapkan kekesalannya ketika Vira berbincang dengan temannya yang bernama Luna.
Baik Viona, Elina dan Lara kini berbicara dengan tatapan mata dan ekspresi, saling kode. "Jadi, Lo mau pergi nih, Vir?" tanya Lara ketika Vira kembali.
Vira tertawa canggung. "Maaf ya, gue pergi dulu. Ada acara penting nih" ujarnya pelan.
"Maaf ya, Vira gue ajak pergi dulu" Luna yang mengerti kondiri memutuskan ikut berbicara.
"Maaf, ga dimaafin. Dah sana pergi" ujar Elina ketus.
Hari itu Vira benar-benar pergi tanpa berbalik dan mereka tak pernah mertemu ataupun berbicara secara langsung. Vira mulai bolos dan sering terlambat bahkan tak mengerjakan tugas hingga pada suatu ketika Vira mengajak bertemu, di rumahnya.
Kala itu musim kemarau. Udara di Laut terasa panas di siang hari. Laut? Ya lau karena rumah Vira memang terletak di pesisir. Mereka berempat duduk di sebatang kayu yang berada di bawah pohon Waru seraya menatap hamparan ombak. Mereka sengaja memilih tempat tersebut agar bisa berteduh sekaligum menikmati pemandangan pantai.
"Gue pengen punya nilai memuaskan di ujian sekolah nanti. Ajarin gue belajar dong"
"Hah?!" Elina yang biasanya lemot kini justru menjadi orang yang paling cepat menangkap ucapan Vira. "Lo nggak serius, kan?" tanyanya memastikan.
Viona bertepuk tangan kagum. "Kesambet apa lo pengen belajar. Mana ujian sekolah tinggal 3 bulan lagi"
Vira terkekeh melihat ekspresi kaget teman-temannya. "Gue pengen setidaknya punya nilai memuaskan saat SMA. Ya Gue sadar aja kalau selama ini gue udah dimanfaatin sama Luna. Gue pengen berubah dan Gue juga sadar kalau kalian teman terbaik gue. Kalian mau kan bantu gue?"
Elina, Lara dan Viona saling pandang. Lara mengusak kepalanya yang tak terasa gatal. "Sebenarnya, gue mau sih bantu Lo, Cuma kalau urusan belajar, itu bukan ranah gue"
Viona mengangguk. "Sama. Gue mending pasrah. El, kayaknya Cuma Lo deh yang bisa bantu. Kasih tips dong cara Lo belajar selama ini"
Elina yang tadinya mendengarkan kini mengerjap kaku. "Em... apa ya?" memang ada ya tips belajar? "Lo Cuma pengen dapat nilai memuaskan, kan?" Pertanyaan itu dibalas anggukan cepat oleh Vira. "Kalau gitu lo cukup belajar semampu Lo"
Ucapan Elina itu mendapat sambutan protes dari ketiga temanannya. "Tips apaan tuh, kalau gitu gue juga bisa" ujar Lara senggak. Lagi-lagi Vira hanya mengangguk setuju.
Elina tertawa. "Ya apa lagi, Vir. Lo pengen dapat nilai memuaskan, kan. Ya Lo memang hanya harus belajar semampu Lo. Belajar dalam artian benar-benar belajar. Misal ya, Lo belajar sejarah nih, ya Lo tinggal baca aja materi sejarah dalam buku. Lo pahamin tuh semua materinya semampu Lo. Ya meski lo bakalan kerasa bosen dan capek, Lo harus konsisten dan tetap belajar. percaya deh, mau berapa pun nilai lo nanti, lo bakalan puas dengan hasilnya. Kepuasan mencapai sesuatu dari apa yang sebelumnya Lo gak bisa itu beda. Percaya deh, Lo cobain"
Jika diingat-ingat Elina terlihat serius mengatakan hal itu. Awalnya Viona tak yakin, tapi hari itu Vira benar-benar terlihat serius mendengarkan perkataan Elina.
"Hai, Viona"
Viona segera disadarkan dari lamunannya. Gadis itu tersenyum. Lantas merangkul bahu Vira seperti yang pernah ia lakukan dulu sssaat SMP. Tempat parkir sekolah masih penuh dengan para siswa yang berusaha mengeluarkan motor mereka agar bisa pulang. "Gimana tadi? Lo bisa ngerjain soalnya?"
Vira mengangguk seranya menunjukkan ibu jarinya. "Bisa dong. Eh, El, mata Lo kenapa merah?"
Elina berdecak, moodnya hancur jika di tanyai mengenai apa yang barusan terjadi padaya tadi. "Biasa sih, anak ambis" bukan Elina melainkan Lara yang menjawab. Mereka tertawa melihat ekspresi Elina yang semakin menakutkan.
Viona menghela napas panjang. Ia pasti akan merindukan momen seperti ini. Setelah enam tahun bersama, mereka akan berpisah tepat setelah acara kelulusan. Elina yang akan kuliah di luar kota, Lara dan Vira yang akan bekerja, dan dia? Viona bingung apa ini waktu yang tepat untuk memberi tahu mereka?
Viona menghentikan langkah, membuatnya tertinggal beberapa langkah dari ketiga temannya. Ia sudah memutuskan. Teman-teman..."
Baik Elina, Lara dan Vira berbalik.
Viona tersenyum. "Setelah ini aku akan pindah dan melanjutkan studi disana. Di Papua" saat itu juga Viona dapat melihat perubahan ekspresi dari ketiga temannya.
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H