1.2 Kembali BertemuÂ
|\
Semingggu berlalu, acara perpisahan di sekolah Mila sudah selesai. Gadis itu benar-benar membuktikan ucapannya mengenai dia yang tidak akan mengabadikan banyak moment. Dia hanya berfoto sekali bersama dengan guru dan foto bersama dua sahabatnya. Sehari setelah wisuda, dia juga langsung pergi ke pesantren. Alhasil sore ini, di sini lah dia sekarang. Di dapur pesantren membantu sepupunya-Lifa, memasak untuk keluarga ndalem (keluarga Kyai).
"Mbak Lifa, kenapa Mbak mau jadi Mbak ndalem yang masak sama bersih-bersih rumah Kyai? Kata temen-temenku yang mondok dulu, yang jadi Mbak-mbak ndalem biasa dari santri yang gak mampu bayar jadi sebagai gantinya mereka ngabdi sama Kyai," Mila membuka percakapan ketika di dapur hanya ada mereka berdua. "Ini namanya usaha cari ridho-Nya Kyai, Mil. Abiku pernah cerita, dulu saat dia nyantri ada satu temennya yang jarang hafalan, kalau ngaji suka ngantuk, tetapi dia kalau disuruh-suruh Kyai rajin banget, sekarang temennya Abi udah punya pesantren sendiri. Pas aku tanya ke Abi, lah kok bisa ya, Bi? Abi jawab, Kyai meridhoinya. Jadi ya, aku cuma usaha sih supaya bisa dapat ridho Abah sama Umi," Mila mengangguk setuju. Bersamaan dengan itu, matanya tidak sengaja melihat seorang Gus (putra Kyai) yang duduk di ruang tengah tak jauh dari dapur, Mila langsung menyeringai ketika ide jahil terlintas di benaknya, "Ah, tapi apa gak karena yang di sana? Lumayan ganteng tuh, Gus-nya,"
Lifa menoleh ke arah yang Mila maksud. Matanya membelalak seiring dengan jantungnya yang berdegub. "Ya ... ya ... gak lah," balas Lifa gagap lalu memaksakan tawanya. "Kenapa aku mau repot-repot masak di sini tiap hari hanya karena laki-laki?" Mila mengangguk. "Begitu? Aku pikir Mbak melakukan ini karena pengen masakannya di cicipi sama Gus itu," ujar Mila dengan wajah sok mengalah padahal kalimat yang keluar dari mulutnya jelas ditujukan untuk menggoda Lifa.Â
"Milaaa ... enggak kok," teriak Lifa pada akhirnya karena merasa berhasil digoda oleh Mila.Â
"Ssst ... Mbak, nanti Gus-nya denger loh," peringat Mila membuat Lifa sukses menunjukkan ekspresi melas lalu berjongkok karena ketahuan naksir Gus pesantren ini. Diam-diam, Mila tersenyum kecil. Hari pertamanya di Pesantren terasa menyenangkan sebab ada Lifa di sini. Dalam hati, Mila berdoa semoga hari-harinya di pesantren akan terus menyenangkan seperti ini.
"Loh, Mbak Lifa kenapa jongkok di bawah?" suara yang muncul tiba-tiba membuat Mila dan Lifa menoleh. "Eh, Ning Zahra... gak kok. Ada apa? Udah laper ya? Mau nyicipi dulu?" sapa Lifa.
Gadis berkerudung kuning gading yang dipanggil Ning Zahra itu menggeleng. "Gak, Mbak. Aku ke sini karena mau minta tolong buatin teh manis satu sama bawain kurma ke kamar Kakak. Dia hari ini puasa." Lifa mengedip-gedipkan matanya lalu berdiri, dia menengok ke arah laki-laki yang duduk di ruang tengah. "Gus Fatir puasa?" tanyanya setengah berbisik.
"Bukan Kak Fatir, tapi Kak Akmal." Lifa langsung lesu. "Ah, baiklah, Ning. Nanti aku yang anterin ke sana."
Mendengar nama Akmal disebutkan, Mila tertegun sebentar lalu menggelengkan kepala, mengusir pikiran konyol yang sempat terlintas dalam otaknya. Gak mungkin itu kak Akmal. Lagi pula, yang punya nama Akmal bukan cuma satu orang saja, kan?