Ekologi pemerintahan merupakan landasan alat analisis bagi pengambil kebijakan dalam pengambilan keputusan pemerintah daerah. Hal itu disebabkan hubungan manusia, lembaga pemerintahan dan lingkungan alam maupun sosial, antara manusia mempunyai sifat-sifat tertentu (komunitas) dan saling menyesuaikan antara manusia dengan lingkungan sebagai bagian dari sistem penyelenggaraan pemerintahan dari suatu negara. Namun tidak sedikit dari manusia yang sadar akan pentingnya menjaga alam. Sebagaimana telah dipahami bahwa alam merupakan tempat manusia untuk hidup dan berkembang biak. Hubungan manusia dengan alam saling keterkaitan, dari alamlah manusia mendapat penghidupan dan tanpa dukungan dari alam manusia dan makhluk lainnya akan terancam. Ketidakramahan manusia terhadap alam akan berdampak pada diri manusia dan mahluk lainnyapun akan terancam ( Hasibuan, 2019 : 38)
Syafiie (2019 : 4) terdapat beberapa definisi ekologi pemerintahan, di antaranya sebagai berikut:
- Dialektika antara pegawai pemerintah dan pemerintah sebagai sebuah sistem;
- Dialektika antara subsistem dan sub-sub sistem pemerintahan dengan sistem pemerintahan;
- Dialektika antara masyarakat dan penyelenggara pemerintahan;
- Distribusi kewenangan dikaitkan dengan analisis ekologikal;
- Pertemuan antara pengaruh akar-akar ilmu sosial yang bersifat ekologikal dengan prinsip-prinsip pemerintahan;
- Studi saling ketergantungan antara unit-unit pemerintahan dan lingkungannya menyangkut dampak pemerintahan akibat perubahan lingkungan;
- Mempelajari lingkaran pemerintahan yang mendorong masyarakat pada suatu tindakan yang menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan;
- Mempelajari keberadaan dan pengaruh “pemerintahan bayangan” terhadap entitas pemerintahan yang formal.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa ekologi pemerintahan mencakup banyak ruang lingkup, dimensi, teori, konsep, sudut pandang, dan hal-hal penting lainnya yang diperlukan untuk memahami seluruh komponen yang ada dalam ekologi pemerintahan sebelum menerjunkan langsung untuk pengaturan kepada masyarakat. Jadi unsur-unsur ekologi meliputi juga sosial ekonomi, selain sosial politik, sosial keagamaan, sosial budaya dan ideologinya sendiri sebagai lima hal (panca gatra) yang dibahas dalam sosial kemasyarakatan di satu pihak, dan dilain pihak juga meliputi pengaruh sumber daya manusia, pengaruh sumber daya alam dan Geografi, sebagai sebagai tiga hal (tri gatra).
Disini menurut saya fenomena ekologi pemerintahan yang terjadi di Indonesia salah satunya adalah Penolakan yang diberikan oleh masyarakat terhadap Undang-undang Cipta Kerja yang telah disahkan pada tanggal 21 Maret 2023.
Menurut saya fenomena ini sudah menjelaskan dari ekologi pemerintahan, karena adanya proses saling pengaruh mempengaruhi sebagai akibat adanya hubungan normative secara total dan timbal balik antara pemerintah dengan masyarakatnya.
Perjalanan Undang-undang Cipta Kerja tidak pernah mulus. Sejak awal, undang-undang ini menuai banyak penolakan, meski pada akhirnya tetap disahkan. Dalam perjalanannya, undang-undang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, merespons putusan tersebut, pemerintah justru menerbitkan perppu yang pada akhirnya disahkan menjadi Undang-undang.
Gagasan tentang omnibus law Cipta Kerja pertama kali diungkap Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya sebagai presiden RI periode kedua, 20 Oktober 2019. Saat itu, presiden bilang, omnibus law diperlukan untuk mengatasi tumpang tindih regulasi di Tanah Air, terutama yang berkaitan dengan investasi dan lapangan kerja. Tak lama setelah itu, Jokowi memerintahkan jajarannya menyusun draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Kilat, draf RUU tersebut dinyatakan rampung oleh pemerintah pada 12 Februari 2020.
Rancangan aturan ini menuai penolakan dari berbagai kalangan, khususnya kaum buruh. Aksi unjuk rasa penolakan RUU Cipta Kerja digelar di banyak tempat karena aturan ini dikhawatirkan merugikan hak-hak kaum pekerja dan hanya menguntungkan pengusaha. Merespons penolakan itu, 24 April 2020, Jokowi sempat mengumumkan penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja khusus klaster ketenagakerjaan.
Walaupun sudah disahkan Undang-undang Cipta Kerja terus banjir kritik. Kaum buruh sempat meminta presiden membatalkan Undang-undang tersebut, namun Jokowi menolak. Tak butuh waktu lama, ramai-ramai dari berbagai pihak menggugat Undang-undang Cipta Kerja ke MK. Mulai dari kalangan pekerja, akademisi, bahkan mahasiswa.
Uji materi aturan tersebut berlangsung panjang dan baru diputuskan setahun setelah UU Cipta Kerja, tepatnya 25 November 2021. MK menyatakan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 itu inkonstitusional bersyarat.
Hubungan timbal baliknya bisa dilihat saat masyarakat menolak untuk disahkannya Undang-undang Cipta kerja. Bahkan dari kalangan Pendidikan juga menolak untuk menolak disahkannya Undang-undang Cipta Kerja ini.