Mohon tunggu...
Nailazfa Callista
Nailazfa Callista Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jakarta

Menulis sebagai hobi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

UU Penyiaran Baru: Meningkatkan Kualitas atau Membatasi Kebebasan?

7 Juli 2024   22:55 Diperbarui: 8 Juli 2024   19:27 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.antaranews.com/berita/4124571/kompers-nilai-ruu-penyiaran-berpotensi-bungkam-pers

Lahirnya UU Penyiaran dan Amanat UUD 1945

UU Penyiaran yang baru ini juga tidak terlepas dari amanat UUD 1945, khususnya Pasal 5 ayat (1), Pasal 28, Pasal 31 ayat (1), Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 36. Pasal-pasal ini menegaskan bahwa UU Penyiaran merupakan pelaksanaan dari UUD 1945, yang mengatur tentang kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran, pendidikan, kebudayaan, ekonomi, dan bahasa. Dengan demikian, UU Penyiaran seharusnya tidak hanya fokus pada peningkatan kualitas konten, tetapi juga harus menjaga kebebasan berekspresi dan hak-hak dasar yang diatur dalam UUD 1945.

Problematika Revisi UU Penyiaran di Indonesia

Revisi UU Penyiaran di Indonesia sudah menjadi topik perdebatan yang hangat dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintah mengusulkan perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas siaran dan memastikan konten yang disajikan kepada masyarakat adalah konten yang berkualitas dan edukatif. Namun, banyak yang mempertanyakan apakah perubahan ini benar-benar akan meningkatkan kualitas penyiaran atau justru membatasi kebebasan berekspresi dan media?

Kualitas Penyiaran yang Dipertanyakan

Salah satu argumen utama pemerintah dalam merevisi UU Penyiaran adalah untuk meningkatkan kualitas siaran di Indonesia. Konten yang edukatif, informatif, dan menghibur dianggap penting untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan masyarakat. Namun, revisi ini menimbulkan pertanyaan apakah regulasi yang lebih ketat akan menghasilkan kualitas yang lebih baik atau justru membatasi kreativitas para penyiar?

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran saat ini sedang mengalami proses revisi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Tahapan revisi UU Penyiaran sudah berjalan cukup panjang hingga lebih dari 10 tahun. Sepanjang masa itu, UU Penyiaran berkali-kali masuk dalam daftar Undang-Undang yang menjadi prioritas DPR RI untuk diselesaikan, sehingga pembahasan UU Penyiaran masuk dalam agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI.

Dalam revisi ini, terdapat pasal yang mengatur tentang konten siaran yang harus memenuhi standar tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Standar ini mencakup berbagai aspek mulai dari bahasa yang digunakan hingga materi yang disampaikan. Meskipun tujuan dari standar ini adalah baik, yaitu untuk memastikan konten yang berkualitas, namun ada kekhawatiran bahwa hal ini justru akan menjadi alat bagi pemerintah untuk mengontrol konten yang disiarkan. Padahal Regulasi yang terlalu ketat bisa jadi bumerang. Alih-alih meningkatkan kualitas, malah bisa jadi mematikan kreativitas para penyiar yang seharusnya bebas berekspresi dan berinovasi.  Jika aturan terlalu ketat, media mungkin akan merasa tertekan dan takut untuk menyiarkan berita atau opini yang berbeda dari pandangan pemerintah. Hal ini tentunya mengancam kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia.

Kasus Pelanggaran: “Apa Kabar Indonesia Pagi” di TV One

Untuk memahami lebih jauh, kita dapat melihat kasus pelanggaran penyiaran yang terjadi pada acara “Apa Kabar Indonesia Pagi” di TV One. Program ini beberapa kali mendapat teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) karena dianggap melanggar etika jurnalistik dan menyebarkan informasi yang kurang akurat. Kasus ini menjadi contoh bagaimana regulasi penyiaran yang ketat diterapkan, tetapi juga memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana regulasi ini harus berjalan untuk tidak membatasi kebebasan berekspresi.

Ketika pemerintah atau lembaga seperti KPI terlalu ketat dalam menindak pelanggaran, ada risiko bahwa media akan merasa tertekan dan terbatas dalam menyampaikan berita atau opini yang kontroversial. Hal ini tentunya berdampak pada independensi media dan kemampuan mereka untuk menjalankan fungsi kontrol sosial.

Kebebasan Bereksprsi dan Demokrasi

Kebebasan berekspresi adalah salah satu pilar penting dalam sebuah negara demokrasi. Media memiliki peran penting dalam memberikan informasi yang akurat dan objektif kepada masyarakat serta sebagai alat untuk mengawasi kinerja pemerintah.  Di Indonesia, media memiliki peran penting dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan mengkritisi kebijakan yang dianggap merugikan masyarakat. Revisi UU Penyiaran yang terlalu ketat dapat membatasi peran ini dan mengancam kebebasan berekspresi. Media yang merasa tertekan dan dibatasi akan cenderung menghindari isu-isu kontroversial yang berpotensi menimbulkan masalah dengan pemerintah.

Jalan Tengah untuk Meningkatkan Kualitas Tanpa Membatasi Kebebasan

Lantas harus seperti apa? Tentunya, Revisi UU Penyiaran memang diperlukan untuk memastikan kualitas konten yang disiarkan kepada masyarakat. Namun, revisi ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengorbankan kebebasan berekspresi dan independensi media. Regulasi yang baik adalah regulasi yang mampu menjaga keseimbangan antara peningkatan kualitas siaran dan kebebasan media. Dalam proses demokrasi, kritik dan pengawasan adalah hal yang sangat penting. Media sebagai pilar keempat demokrasi harus tetap diberi ruang untuk beroperasi secara bebas dan independen. Pemerintah seharusnya melihat media sebagai mitra dalam pembangunan, bukan sebagai ancaman yang harus dikontrol.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun