Pernikahan dini. Masalah sosial yang menjadi sorotan publik saat ini sudah menjadi hal biasa. Pernikahan dibawah umur yang terbilang cukup tinggi di Indonesia. Terutama di daerah plosok atau pendesaan. Bagi mereka adat pernikahan usia dini sudah menjadi kebiasaan tersendiri.
Dalam terbitan jurnal perempuan mereka menyebutkan pernikahan anak banyak terjadi karena dilatarbelakangi kondisi kemiskinan, letak geografis yang sulit, akses pendidikan yang minim, serta kebijakan yang belum diatur secara jelas. Dan begitu juga pandangan tradisional ditingkat komunitas bahwa anak perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi dan berbagai pandangan lainnya.
Kemiskinan yang diikuti minimnya pendidikan di daerah-daerah terpencil ditambah dengan tafsir agama juga ikut melegitimasi pernikahan anak yang dulu pernah terjadi. Masih ingat, Pada Syekh Puji?, Beliau adalah salah satu pemimpin pondok pesantren di Semarang pada masanya. Pada tahun 2008 beliau menikahi gadis berumur 12 tahun dan beralasan pernikahannya sudah sesuai dengan ketentuan agama dan direstui oleh orangtua si gadis tersebut. Sampai akhirnya kasus ini berlanjut pada kepolisian yang berujung pada kehakiman.
Aturan konvensional yang berlaku dalam tradisi sebuah daerah turut mendukung adanya pernikahan anak. Salah satu contohnya di daerah Madura, ada kelaziman untuk menerima lamaran laki-laki yang pertama kali meminang. Hal ini juga yang menyebabkan sejumlah anak perempuan di daerah tersebut menikah di usia dini bahkan di umur 12 tahun.
Lebih parahnya lagi di Sulawesi Utara, usia menikah kurang dari 14 tahun ialah 0, 5 persen, sedangkan usia menikah antara 15 tahun sampai 19 tahun ialah 33, 5 persen. Banyaknya kejadian pernikahan pada usia muda yaitu usia dibawah 19 tahun.
Begitupun dampak buruk pernikahan anak, baik fisik maupun psikis, terutama bagi kaum perempuan. Beberapa yang diberitakan di media massa yaitu, permasalahan yang berkaitan dengan sistem reproduksi pada remaja, tingginya tingkat kematian ibu usia remaja, dan bayi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perceraian pada perkawinan usia muda, hingga hambatan karier perempuan.
Berdasarkan data dari tahun 2018, 1 dari 9 anak Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Indonesia termasuk dalam 10 negara yang memiliki angka prevaleasi menikah yang tinggi. Lebih memperihatinkan lagi selama pandemi covid-19 pernikahan anak semakin meningkat berawal dari 23.700 pada tahun 2019 naik menjadi 34.000 ditahun 2020 sampai sekarang.
Itu sebabnya, pemerintah harus menegaskan variabel lain di luar batasan usia. Semisal, pendidikan minimal setidaknya SMA atau yang sederajat. Terutama untuk anak perempuan. Sosialisasi tentang dampak buruk pernikahan anak juga harus menjangkau orang tua terutama di daerah-daerah yang memiliki angka perkawinan dini yang tinggi.
Perkara pernikahan anak ini sebenarnya telah diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa batas usia minimal perempuan untuk menikah adalah 16 tahun. Sementara itu, dasar hukum mengenai perlindungan anak, UU Nomor 23 Tahun 2002, menegaskan seseorang baru dianggap dewasa setelah berumur 18 tahun.
Namun, peraturan tersebut banyak dilanggar, terutama di daerah pedesaan atau daerah terpencil. Di beberapa daerah seperti desa Gedangsari, Gunungkidul, sampai membutuhkan aturan tambahan untuk menekan pernikahan anak yang tinggi di daerah ini.
Anak anak seharusnya tidak memikul beban menjadi orang dewasa yang mengelola dunia dan membentuk peradapan. Mereka terlalu muda untuk menikah, terlalu muda untuk menjadi orang tua, terlalu muda untuk menanggung beban mengurus keluarga apalagi membangun dunia yang lebih baik. Bukan waktunya buat mereka untuk melakukan itu semua. Waktu di usia mereka hanya belajar dan belajar guna kebahagiaan mereka juga nantinya. Bukan malah di paksa dewasa oleh keadaan yang bukan dari keinginan mereka sendiri.
Oleh karena itu, masyarakat khususnya orang tua(keluarga) perlu adanya peningkatan, dukungan dan kepedulian terhadap generasi muda agar menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Begitupun kita, sebagai calon generasi muda perlu mengubah pola pikir masyarakat untuk menghentikan pernikahan anak di usia yg terbilang kurang matang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H