Pendekatan teori nilai yang diharapkan mengungkapkan bagaimana manusia, dalam upaya mencari keseimbangan antara risiko dan manfaat, pada dasarnya sedang mencoba menjinakkan ketidakpastian dengan kalkulasi rasional. Implikasi langsungnya adalah bahwa perusahaan dapat membangun keputusan investasi yang lebih terukur, menghindari jebakan emosional yang sering kali menjadi bagian dari perilaku manusia. Namun, ini juga membawa pertanyaan filosofis: sejauh mana kalkulasi rasional dapat menjadi alat yang cukup untuk memahami realitas kompleks yang mencakup dinamika sosial, politik, dan psikologis?
Di tingkat masyarakat, teori ini menciptakan peluang bagi perusahaan untuk memanfaatkan risiko sebagai elemen strategis, bukan sekadar ancaman. Melalui penerapan analisis skenario dan simulasi risiko seperti Monte Carlo, misalnya, masyarakat luas dapat memperoleh manfaat dalam bentuk stabilitas finansial yang lebih baik. Namun, saya bertanya-tanya apakah ini cukup mengatasi masalah ketimpangan ekonomi. Meskipun perusahaan yang lebih besar mungkin mampu mengoptimalkan pendekatan ini dengan sumber daya mereka yang melimpah.
Lebih jauh lagi, integrasi teknologi canggih dalam manajemen risiko---seperti penggunaan pembelajaran mesin dan analisis data besar---mengisyaratkan pergeseran dalam epistemologi sains itu sendiri. Ketergantungan kita pada algoritma untuk memprediksi hasil menimbulkan dilema etis dan epistemologis: sejauh mana model ini merepresentasikan realitas dan tidak menciptakan bias baru? Dalam masyarakat yang bergantung pada prediksi ini, apakah ada ruang bagi intuisi dan pengalaman manusia?. Dengan demikian, meskipun pendekatan teori nilai yang diharapkan menunjukkan potensi besar, ada ketegangan antara apa yang dapat diprediksi dan apa yang tetap berada dalam ranah ketidakpastian. Filosofi di balik pendekatan ini memerlukan kritik untuk memastikan bahwa kita tidak kehilangan dimensi kemanusiaan dalam menghadapi risiko.
ketidakpastian melalui teori nilai yang diharapkan, tetapi dari perspektif filsafat sains, hal ini menggambarkan ketegangan antara pengetahuan prediktif dan realitas yang tidak dapat sepenuhnya dikuantifikasi. Ketidakpastian, sebagaimana sering diakui dalam filsafat, adalah esensi dari eksistensi manusia. Dalam konteks investasi, ketidakpastian ini bukan hanya tentang variabel pasar, tetapi juga hasil tak terduga dari interaksi sosial, kebijakan pemerintah, atau bahkan inovasi teknologi.
pendekatan berbasis risiko dapat membantu perusahaan mengurangi kerugian dan memaksimalkan nilai pemegang saham. Namun, hal ini secara implisit memperkenalkan pertanyaan: apakah semua keputusan dapat disederhanakan menjadi hitungan probabilitas? Apakah manusia benar-benar mampu bertindak secara rasional di bawah ketidakpastian ekstrem? Dalam praktiknya, pendekatan ini dapat memisahkan manusia dari intuisi dan nilai moral yang tidak dapat diukur secara kuantitatif. Misalnya, pengambilan keputusan investasi berdasarkan analisis risiko sering kali gagal menangkap dinamika sosial seperti ketimpangan ekonomi atau dampak lingkungan.
Dalam masyarakat luas, pendekatan ini menawarkan harapan bagi stabilitas finansial, tetapi hanya jika akses terhadap pengetahuan dan teknologi dikelola dengan adil. Ketimpangan akses terhadap data dan alat analitis menciptakan risiko baru: konsentrasi keuntungan di tangan mereka yang sudah memiliki keunggulan teknologis. Ini menciptakan ironi dalam filsafat sains modern---di mana pengetahuan yang seharusnya mendemokratisasi peluang malah dapat memperbesar jurang ketimpangan. Â Manajemen risiko di bawah ketidakpastian juga menyentuh konsep filosofis tentang keberanian menghadapi risiko. Meskipun alat seperti simulasi Monte Carlo memberikan kepercayaan pada pengambilan keputusan berbasis data, pendekatan ini juga dapat melemahkan naluri keberanian yang sering dibutuhkan untuk inovasi. Dalam skala sosial, jika semua pengambilan keputusan terperangkap dalam analisis risiko, kita mungkin kehilangan peluang besar yang hanya muncul melalui keberanian menghadapi ketidakpastian tanpa data sempurna.
Dari refleksi ini, dapat disimpulkan bahwa teori nilai yang diharapkan memberikan pendekatan yang kuat untuk mengelola ketidakpastian dalam keputusan investasi, tetapi pendekatan ini harus dilihat sebagai alat, bukan jawaban absolut. Dalam dunia yang semakin kompleks, manusia tidak hanya membutuhkan kerangka analitis, tetapi juga kebijaksanaan untuk mengenali bahwa tidak semua ketidakpastian dapat atau harus diukur. Â
Bagi perusahaan, keseimbangan antara rasionalitas kalkulatif dan keberanian menghadapi risiko menjadi kunci untuk navigasi yang berhasil dalam pasar yang tidak pasti. Dalam masyarakat, akses yang lebih adil terhadap alat dan pengetahuan untuk mengelola risiko menjadi keharusan agar manfaat dari pendekatan ini dapat dirasakan secara luas. Filsafat sains mengingatkan kita bahwa ketidakpastian adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Oleh karena itu, pengambilan keputusan yang efektif memerlukan penggabungan antara alat analitis, pengalaman, dan intuisi untuk menghadapi tantangan yang tidak selalu dapat diprediksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H