Pemerintah melalui Kementerian Keuangan meresmikan pemberlakuan aturan pajak untuk produk rokok elektrik sebesar 10% dari cukai rokok, yang berlaku mulai 1 Januari 2024.
Dasar Hukum Pemberlakuan Pajak pada Rokok Elektrik
Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143/PMK/2023 tentang Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, dan Penyetoran Pajak Rokok serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192/PMK.010/2022 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya.
Latar Belakang Pemberlakuan Pajak pada Rokok Elektrik
Penggunaan rokok elektrik di Indonesia meningkat signifikan dalam kurun satu dekade terakhir. Survei Statista Consumer Insights periode Januari-Maret 2023 memaparkan, saat ini Indonesia tercatat sebagai negara yang memimpin penggguna rokok elektrik di dunia. Setidaknya, sebanyak 25% masyarakat Indonesia pernah menggunakan rokok elektrik minimal 1 kali. Dalam survei ini, Indonesia sebagai pengguna rokok elektrik terbanyak, mengalahkan Swiss (16%), Amerika Serikat (15%), Inggris (13%), Kanada (13%), dan lima negara lainnya dengan presentasi lebih kecil.
Rokok elektrik kerap dipilih sebagai alternatif pengganti rokok konvensional. Dalam Paparan Hasil Kajian dan Studi Klinis Rokok Elektronik di Indonesia, Ketua Himpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia (PDPI), Agus Dwi Susanto, menjabarkan jika rokok elektrik tidak memenuhi syarat sebagai nicotine replacement therapy untuk berhenti merokok. Sebab faktanya, banyak perokok menjadi dual user atau menggunakan rokok konvensional dan rokok elektrik dengan sifat komplementer.Â
Semakin tinggi penggunanya, rokok elektrik diprediksi menjadi 'bom waktu kesehatan' di Indonesia. Beberapa jenis karsinogen yang kerap dijumpai dalam rokok elektrik antara lain Nitrosamin, Aldehyde, Formaldehyde, Acrolein, dan Otoluidine. Jenis karsinogen ini bisa mendorong potensi toksisitas karena kandungan dalam cairan atau aerosol rokok elektrik yang bisa menyebabkan inflamasi pada paru-paru. Belum lagi, kandungan acrolein pada rokok elektrik dilaporkan bisa mendorong risiko acute lung injury, PPOK, asma, dan kanker paru. Kandungan bahan kimia toksik lainnya yang bisa memperbesar risiko penyakit bronkitis, asma, hingga pneumonia.
Berdasarkan hasil studi klinis (Hati, 2024) memaparkan bahwa Indonesia pernah menerima laporan kasus remaja dengan keluhan sesak napas dan batuk selama 3 pekan. Pasien tersebut memiliki riwayat penggunaan rokok elektrik dalam 3 bulan terakhir tanpa memiliki riwayat asma sebelumnya. Pasien kemudian didiagnosis mengalami peradangan paru atau pneumonia. Pada pasien dengan riwayat asma dan PPOK, penelitian Bhatta DN memberi kesimpulan bahwa rokok elektrik meningkatkan risiko penyakit asma, bronkitis kronik, hingga PPOK sekitar 30% lebih besar jika dibandingkan yang tidak merokok.
Dengan adanya peningkatan penggunaan rokok elektrik dan berdampak pada penurunan kesehatan, pemerintah mempertimbangkan untuk mengkaji ulang penetapan pajak pada rokok elektrik. Hal ini sesuai dengan tujuan penerapan pajak rokok elektrik yang diharapkan mampu mengendalikan konsumsi rokok elektrik oleh masyarakat, menambah pendapatan untuk kepentingan negara, dan memberikan keadilan penerapan pajak di industri rokok.
Pernyataan ini diperkuat oleh Lucky Alfirman, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu, menyampaikan bahwa pertimbangan utama penerapan pajak rokok elektrik untuk memberikan keadilan kepada pelaku industri dalam Konferensi Pers APBN Kita, Selasa (2/1/2024). Lucky menjelaskan pengenaan pajak rokok pada rokok konvensional petani tembakau, juga buruh pabrik, telah diberlakukan sejak 2014.
Lebih lanjut, beliau menyampaikan sepanjang 2023, Bendahara Negara mencatat penerimaan cukai rokok elektrik hanya sebesar Rp1,75 triliun atau 0,82% dari total penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dalam setahun. Dengan itu, estimasi penerimaan negara dari pengenaan pajak rokok elektrik berdasarkan tahun 2023 sangat kecil, hanya sebesar Rp175 miliar atau 10% dari cukai rokok elektrik yang sebesar Rp1,75 triliun.
Adanya pengenaan cukai rokok terhadap rokok elektrik akan berkonsekuensi pula pada pengenaan pajak rokok yang merupakan pungutan atas cukai rokok (piggyback taxes). Namun pada tahun 2018, ketika pemerintah mulai memberlakukan cukai atas rokok elektrik, terdapat relaksasi penundaan pengenaan pajak rokok tersebut. Hal ini sebagai upaya pemberian masa transisi yang cukup terhadap implementasi konsep piggyback taxes yang telah berlaku sejak tahun 2014 berdasarkan UU Nomor 28/2009.
Sesuai dengan kebijakan yang berlaku, Pasal 31 UU Nomor 28/2009, paling sedikit 50% dari penerimaan pajak rokok ini diatur penggunaannya (earmarked) untuk pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum yang mendukung pelayanan publik lebih baik di daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota, seperti pencegahan beredarnya rokok ilegal.
Tujuan Pemberlakuan Pajak pada Rokok Elektrik
1. Mengendalikan konsumsi rokok elektrik pada masyarakat
Dalam jangka panjang, pemerintah menilai penggunaan rokok elektrik berindikasi memengaruhi kesehatan dan bahan yang terkandung dalam rokok elektrik termasuk dalam barang konsumsi yang perlu dikendalikan.
2. Menambah penerimaan untuk kepentingan negara
Pengenaan pajak rokok dimaksudkan untuk menambah penerimaan negara yang penggunaanya (earmarked) untuk pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum yang mendukung pelayanan publik di daerah, baik provinsi atau kabupaten/kota menjadi lebih baik.
3. Memberikan keadilan penerapan pajak di industri rokok
Pada prinsipnya pengenaan pajak rokok elektrik mengedepankan aspek keadilan, mengingat rokok konvensional dan operasionalnya melibatkan petani tembakau dan buruh pabrik, telah terlebih dahulu dikenakan pajak rokok sejak tahun 2014.
Tarif Cukai Rokok Elektrik
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192/PMK.010/2022 menjelaskan lebih rinci mengenai tarif cukai rokok elektrik tahun 2024.Â
- Rokok elektrik padat : Rp 3.074 per gram
- Rokok elektrik cair sistem terbuka : Rp 636,00 per mililiter
- Rokok elektrik cair sistem tertutup : Rp 6.776,00 per mililiter
Pemberlakuan "Tarif pajak rokok elektrik ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok," bunyi Pasal 2 Ayat 3 PMK Nomor 143/PMK/2023.
Upaya Optimalisasi Pemungutan Pajak Rokok Elektrik oleh Kemenkeu adalah sebagai berikut.
- Memberikan sosialisasi kepada wajib pajak rokok, yakni pengusaha/produsen terkait pemberlakuan pajak
- Membentuk sistem aplikasi Surat Pemberitahuan Pajak Rokok (SPPR) untuk memudahkan proses pelaporan pajak
- Meneliti laporan pajak dan melakukan penagihan apabila kurang bayar atau pengembalian apabila kelebihan bayar
- Melakukan rekapitulasi secara bertahap untuk meningkatkan akurasi dan pengawasan laporan.Â
Sumber
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143/PMK/2023 tentang Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, dan Penyetoran Pajak
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192/PMK.010/2022 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya.
Elena,M. (2024, Januari 2). Terungkap! Alasan Sri Mulyani Pungut Pajak Rokok Elektrik 10%. Retrieved from ekonomi.bisnis.com: https://ekonomi.bisnis.com/read/20240102/259/1728915/terungkap-alasan-sri-mulyani-pungut-pajak-rokok-elektrik-10
Hati, Indah P. (2024, Januari 16). Survei: 25% Masyarakat Indonesia Pernah Menggunakan Vape, Tertinggi di Dunia. Retrieved from Hypeabis.id.com: https://hypeabis.id/read/32825/survei-25-masyarakat-indonesia-pernah-menggunakan-vape-tertinggi-di-dunia
Iqbal. (2024, Januari 13). Pemberlakuan Pajak Rokok Elektrik 2024. Retrieved from antaranews.com:
https://www.antaranews.com/infografik/3913788/pemberlakuan-pajak-rokok-elektrik-2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H