Mohon tunggu...
Nailah Septiana
Nailah Septiana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pencitraan Politik Era Swipe Up: Kedekatan atau Polarisasi?

27 Desember 2024   06:25 Diperbarui: 27 Desember 2024   06:56 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era digital yang semakin mendominasi, pencitraan politik telah mengalami transformasi signifikan, terutama melalui penggunaan media sosial. Politisi dan partai politik kini memanfaatkan platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok untuk membangun citra diri yang menarik dan relevan di mata publik. Dalam konteks ini, teknik-teknik pencitraan menjadi alat strategis yang memungkinkan mereka untuk menyampaikan pesan politik dengan cepat dan luas (Fitria Ulfarisa, 2024). Namun, di balik kemudahan akses informasi ini terdapat tantangan serius terkait dengan kualitas informasi yang disajikan dan dampaknya terhadap persepsi masyarakat. Pencitraan politik tidak hanya berfungsi untuk memperkuat identitas publik seorang politisi tetapi juga dapat menciptakan polarisasi opini di kalangan pemilih.

Sementara beberapa argumen menekankan bahwa media sosial mendekatkan politisi dengan rakyat melalui interaksi langsung dan transparansi, ada pula kekhawatiran bahwa manipulasi informasi dapat memperburuk kesenjangan antara elit politik dan masyarakat. Tulisan ini akan mengulas mengenai bagaimana pencitraan dilakukan oleh aktor politik dalam konteks media sosial serta teknik-teknik yang digunakan. Selain itu, akan dianalisis pengaruhnya terhadap persepsi publik serta implikasinya terhadap kedekatan antara politisi dengan rakyat atau justru peningkatan polarisasi dalam masyarakat. Dengan pendekatan kritis ini, diharapkan pembaca dapat memahami kompleksitas fenomena pencitraan politik di era sosial media saat ini.

Teori konstruksi sosial menyatakan bahwa realitas sosial tidak berdiri sendiri, tetapi dibangun melalui interaksi sosial dan komunikasi dalam masyarakat. Dalam hal ini, media massa memegang peran penting. Media tidak sekadar menyampaikan informasi, melainkan juga memengaruhi cara pandang masyarakat terhadap berbagai peristiwa, termasuk pencitraan politisi (Sobur, 2004). Proses seleksi, interpretasi, dan penonjolan aspek tertentu dari suatu peristiwa oleh media massa sangat menentukan bagaimana publik memahami dan merespons tindakan atau pernyataan seorang politisi.

Misalnya, ketika media meliput sebuah acara politik, mereka memiliki kekuasaan untuk memilih berita mana yang akan ditampilkan, bagaimana berita tersebut diartikulasikan, dan aspek apa yang akan ditonjolkan. Jika media lebih fokus pada skandal atau kontroversi, citra politisi tersebut bisa terpengaruh secara negatif. Sebaliknya, jika media memilih untuk menyoroti prestasi atau program-program positif dari politisi tersebut, maka publik akan memiliki pandangan yang lebih baik terhadapnya. Selain itu, cara media massa membahas isu-isu tertentu juga berkontribusi pada bagaimana politisi dipandang oleh masyarakat.

Contoh lain, dalam peliputan tentang kampanye pemilihan, media dapat memutuskan untuk menekankan isu tertentu, seperti ekonomi atau pendidikan, yang dapat mempengaruhi prioritas pemilih. Penekanan isu ini tidak hanya membingkai cara masyarakat berpikir tentang masalah yang dihadapi, tetapi juga menentukan bagaimana politisi harus merespons untuk tetap relevan di mata publik. Pembahasan personal tentang seorang kandidat juga menjadi bagian penting dari konstruksi sosial ini. Media sering kali menyajikan narasi yang berkaitan dengan latar belakang pribadi, nilai-nilai, dan karakter politisi. Hal ini membentuk citra dan identitas publik dari kandidat tersebut. Jika media menggambarkan seorang politisi sebagai sosok yang rendah hati dan dekat dengan rakyat, hal ini akan menciptakan gambaran positif dan membangun kepercayaan masyarakat terhadapnya. Sebaliknya, jika media fokus pada kekayaan atau gaya hidup mewah seorang kandidat, maka publik mungkin akan merasakan ketidakcocokan atau jarak antara politisi dan masyarakat.

Menurut teori image building, citra terbentuk melalui tahapan penerimaan fisik oleh panca indra, yang kemudian disaring oleh perhatian (attention filter). Dari proses tersebut, muncul pesan yang dapat dipahami (perceived message), berkembang menjadi persepsi, dan akhirnya menciptakan citra (M. Wayne De Lozier, 1976:44). Citra dalam politik bukan sekadar alat atau strategi untuk memperkenalkan kandidat kepada pemilih, tetapi mencakup dimensi yang lebih kompleks, yaitu kesan yang terbentuk di benak pemilih. Kesan ini dapat berupa keyakinan yang didasarkan pada fakta maupun persepsi yang tidak sepenuhnya benar.

Dalam konteks ini, citra bukan hanya pesan yang sengaja dirancang oleh kandidat atau sekadar gambaran subjektif dari pemilih, tetapi hasil dari proses negosiasi, evaluasi, dan konstruksi yang terjadi di antara keduanya. Proses ini mencerminkan hubungan dinamis antara kandidat dan pemilih, di mana setiap tindakan, pernyataan, atau strategi yang dilakukan oleh kandidat akan dipahami, dinilai, dan disandingkan dengan nilai-nilai serta kepercayaan yang sudah ada dalam benak pemilih. Sebaliknya, respons pemilih juga turut membentuk bagaimana seorang kandidat merumuskan ulang citranya untuk memenuhi harapan atau mengatasi keraguan pemilih.

Dengan demikian, citra politik dapat dipahami sebagai sebuah transaksi sosial, di mana kandidat berusaha menciptakan kesan personal yang positif melalui berbagai strategi, sementara pemilih menafsirkan dan menyesuaikannya dengan kepercayaan, kebutuhan, dan pengalaman mereka. Proses ini menunjukkan bahwa citra tidak bersifat statis, melainkan berkembang sesuai dengan interaksi dan kesalingbergantungan yang terus berlangsung antara kedua belah pihak.

Pencitraan politik melalui media sosial telah menjadi bagian penting dalam strategi komunikasi yang diterapkan oleh para aktor politik saat ini. Setiap platform media sosial menawarkan karakteristik unik yang memungkinkan pendekatan berbeda dalam membangun citra dan menarik perhatian publik. Instagram berfungsi sebagai alat strategis bagi politisi untuk membangun citra positif, menyampaikan pesan secara visual, dan mendekatkan diri dengan masyarakat. Twitter berfungsi sebagai saluran komunikasi cepat yang memungkinkan politisi merespons isu terkini dan berinteraksi langsung dengan publik, tetapi juga berisiko menciptakan polarisasi jika pesan yang disampaikan bersifat kontroversial. Sementara itu, platform TikTok yang sangat populer di kalangan anak muda, sehingga menjadi platform strategis bagi politisi untuk mendekati pemilih muda dan memperkenalkan visi mereka dengan cara yang menarik. Secara keseluruhan, keberhasilan pencitraan politik di media sosial bergantung pada kemampuan politisi untuk menyampaikan pesan yang menarik, autentik, dan relevan bagi audiens.

Penggunaan media sosial untuk pencitraan politik membuka peluang besar bagi kandidat untuk menjangkau berbagai segmen masyarakat dengan cara yang lebih efektif. Namun, keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh daya tarik visual atau tingkat aktivitas di platform, tetapi juga oleh relevansi dan keautentikan pesan yang disampaikan. Dalam era digital ini, publik tidak hanya sekadar mengonsumsi konten; mereka juga cenderung melakukan evaluasi terhadap informasi yang diterima. Walaupun media sosial memudahkan penciptaan citra, ia juga mempercepat keruntuhannya jika ada ketidaksesuaian antara citra yang ditampilkan dan realitas tindakan kandidat.

Berdasarkan penelitian yang dianalisis oleh Ahmad et al. (2024), media sosial telah menjadi elemen kunci dari strategi komunikasi politik dan membangun persepsi publik di era digital. Ridwan Kamil, sebagai salah satu aktor politik di Indonesia, secara aktif memanfaatkan Instagram untuk membangun citra dirinya menjelang Pilgub DKI Jakarta 2024. Platform ini digunakan untuk memproyeksikan citra pemimpin yang dekat dengan rakyat, inovatif, dan adaptif terhadap perubahan zaman. Melalui unggahan foto, video, dan fitur interaktif seperti Instagram Story dan Live, Ridwan Kamil menampilkan berbagai aktivitasnya di lapangan, yang memperkuat kesan sebagai pemimpin yang responsif dan mudah diakses oleh publik.

Strategi komunikasi Ridwan Kamil di Instagram dirancang dengan pendekatan visual dan kreatif. Konten yang dibagikan menampilkan kegiatan formal dan informal, mulai dari senam bersama warga hingga kunjungan ke komunitas lokal. Pendekatan ini menciptakan citra humanis yang memperlihatkan keterlibatannya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Selain itu, penggunaan teknologi AI dalam desain poster kampanye memberikan sentuhan modern yang relevan dengan tren digital saat ini, khususnya untuk menarik perhatian generasi muda yang aktif di media sosial. Interaksi langsung melalui fitur Instagram Live memperkuat komunikasi dua arah yang memungkinkan masyarakat menyampaikan aspirasi dan masukan secara real-time.

Pengaruh Instagram terhadap persepsi publik terlihat melalui tingginya tingkat keterlibatan (engagement rate) yang dihasilkan dari unggahan Ridwan Kamil. Komentar, likes, dan respon yang aktif menunjukkan bahwa strategi ini berhasil membangun koneksi emosional dengan audiens. Namun, penggunaan Instagram juga menimbulkan tantangan, seperti penyebaran hoaks dan kritik negatif yang dapat merusak kredibilitas. Untuk mengatasi hal ini, Ridwan Kamil menerapkan langkah-langkah responsif, termasuk klarifikasi langsung melalui unggahan di Instagram, penguatan narasi positif, serta kolaborasi dengan influencer dan media untuk mengoreksi informasi yang salah. Strategi ini membantu mempertahankan citra positif di tengah dinamika politik yang kompleks.

Lebih lanjut, pencitraan politik melalui Instagram membawa dampak yang beragam. Di satu sisi, media sosial memungkinkan Ridwan Kamil membangun kedekatan dengan masyarakat melalui dialog terbuka dan partisipasi yang lebih besar dalam diskusi publik. Aktivitas seperti kunjungan lapangan dan forum interaktif menciptakan ruang komunikasi yang inklusif dan demokratis. Namun, di sisi lain, fenomena ini juga memicu polarisasi yang diperkuat oleh hoaks dan kampanye negatif. Tantangan ini menuntut strategi komunikasi yang cerdas dan adaptif untuk menjaga kepercayaan publik tanpa memperburuk ketegangan politik.

Ridwan Kamil telah memanfaatkan Instagram secara efektif sebagai alat kampanye untuk membangun citra positif. Melalui pendekatan kreatif, interaktif, dan berbasis teknologi, ia berhasil menciptakan kesan sebagai “pemimpin yang merakyat”. Namun, tantangan seperti hoaks dan polarisasi tetap menjadi isu yang perlu diantisipasi dengan strategi komunikasi yang fleksibel dan responsif. Penelitian ini menunjukkan bahwa media sosial, khususnya Instagram, memiliki peran signifikan dalam membentuk citra politik di era digital dan menuntut para politisi untuk terus beradaptasi dengan dinamika teknologi dan ekspektasi publik yang terus berkembang.

Pencitraan politik melalui media sosial memiliki potensi untuk mendekatkan politisi dengan rakyat melalui komunikasi yang lebih personal, transparan, dan inklusif. Namun, dampaknya sangat bergantung pada bagaimana platform ini digunakan. Ketika digunakan secara bijak dan bertanggung jawab, media sosial bisa menjadi alat untuk memperkuat hubungan antara politisi dan masyarakat. Sebaliknya, jika media sosial digunakan untuk tujuan manipulatif atau jika masyarakat tidak cukup kritis dalam menyikapi informasi, ia dapat memperburuk polarisasi. Oleh karena itu, keberhasilan pencitraan politik dalam mendekatkan politisi dengan rakyat memerlukan keseimbangan antara strategi komunikasi yang baik dan kesadaran masyarakat untuk menilai informasi secara bijak.

Kesimpulannya, pencitraan politik melalui media sosial telah menjadi bagian penting dari strategi komunikasi politik di era digital. Media sosial memungkinkan politisi menyampaikan pesan dengan cara yang lebih personal dan menarik, menjangkau masyarakat luas dalam waktu singkat. Platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok menyediakan ruang untuk membangun citra positif melalui interaksi langsung dan konten yang relevan.

Dalam pencitraan politik, media tidak hanya berperan sebagai penyampai informasi, tetapi juga memengaruhi cara masyarakat memandang suatu isu. Teori konstruksi sosial dan teori image building menjelaskan bahwa citra seorang politisi terbentuk dari interaksi antara apa yang mereka lakukan dan bagaimana masyarakat menilainya. Dengan kata lain, citra politik bersifat dinamis dan terus berubah mengikuti tanggapan publik serta strategi komunikasi yang digunakan.

Studi kasus Ridwan Kamil menunjukkan bagaimana media sosial dapat dimanfaatkan untuk membangun citra sebagai pemimpin yang inovatif dan dekat dengan rakyat. Melalui pendekatan visual yang kreatif dan interaksi langsung dengan masyarakat, ia berhasil menarik perhatian publik, khususnya generasi muda. Meski demikian, tantangan seperti kritik negatif dan kampanye hitam tetap menjadi isu yang harus diantisipasi dengan langkah-langkah komunikasi yang proaktif.

Namun, efektivitas pencitraan ini sangat bergantung pada bagaimana media sosial digunakan. Jika dikelola dengan jujur dan bertanggung jawab, media sosial dapat memperkuat hubungan antara politisi dan rakyat, menciptakan kedekatan yang berbasis pada kepercayaan. Sebaliknya, penggunaan yang manipulatif, seperti menyebarkan hoaks atau memanfaatkan narasi yang menyesatkan, dapat menciptakan polarisasi di masyarakat.

Pencitraan politik melalui media sosial menawarkan peluang besar, tetapi juga menghadirkan risiko. Keberhasilannya memerlukan keseimbangan antara strategi komunikasi yang baik dan kesadaran masyarakat untuk menyikapi informasi secara kritis. Dengan pendekatan yang tepat, media sosial dapat menjadi sarana yang efektif untuk mempererat hubungan antara pemimpin dan rakyat, sekaligus mendorong terciptanya ruang diskusi yang sehat dan demokratis.

Referensi 

Ahmad, N., Pohan, K. N. K., Alfira, S., Aufia, K., Paripurna, C. F., & Aji, M. P. (2024). Analisis Strategi Komunikasi Politik Ridwan Kamil di Media Sosial Instagram dalam Membangun Citra Diri Menuju PILGUB DKI Jakarta 2024. Jurnal ISO: Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Humaniora, 4(2), 1-17. https://doi.org/10.53697/iso.v4i2.1992   ‌

Fitria Ulfarisa. (2024, May 3). Pengaruh Media Sosial dalam Membangun Citra Politik - Kompasiana.com. KOMPASIANA; Kompasiana.com. https://www.kompasiana.com/fitriyarisa/66347960de948f2f7b509262/pengaruh-media-sosial-tiktok-dalam-membangun-citra-politik

Hasan, K. (2009). Komunikasi Politik dan Pencitraan: Analisis Teoritis Pencitraan Politik di Indonesia. Jurnal Ilmu Komunikasi, 2(4), 22-43.

Setiawan, M. F., Yanto, L. Y., Nurfiani, N., Astuti, F., & Rahmatia, R. (2024). Analisis peran komunikasi politik dalam pencitraan calon pemimpin pada kontestan pemilu. ULIL ALBAB: Jurnal Ilmiah Multidisiplin, 3(3), 108-117.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun