Kasus penembakan Gamma, seorang siswa SMKN 4 Semarang, oleh Aipda Robig Zaenudin, membuka kembali luka lama yang sering kali menjadi perbincangan masyarakat: penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum. Tragedi ini bukan hanya tentang hilangnya nyawa seorang remaja berprestasi, tetapi juga menggambarkan berbagai persoalan sosial, kelemahan institusi, dan perlunya reformasi mendalam di tubuh Polri. Jika dianalisis dari perspektif ilmu sosial, kasus ini memberikan wawasan tentang relasi kuasa, norma sosial, dan bagaimana masyarakat merespons ketidakadilan.
Kronologi Kasus Gamma: Sebuah Tragedi yang Tidak Seharusnya Terjadi
Pada suatu malam, Gamma bersama dua temannya melintasi jalan di Semarang menggunakan sepeda motor. Dalam perjalanan itu, mereka bertemu dengan Aipda Robig, seorang anggota kepolisian yang sedang tidak bertugas. Berdasarkan pengakuannya, Robig merasa "terancam" oleh kehadiran mereka, meskipun tidak ada bukti bahwa Gamma atau teman-temannya menunjukkan tindakan yang membahayakan.
Dalam situasi yang seharusnya dapat ditangani tanpa kekerasan, Robig melepaskan tembakan, yang akhirnya merenggut nyawa Gamma. Penggunaan senjata api dalam kondisi yang tidak mendesak ini jelas melanggar prosedur operasional standar (SOP) Polri. Gamma, seorang remaja tanpa catatan kriminal, menjadi korban tindakan aparat yang sewenang-wenang, yang mengguncang kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian.
Relasi Kuasa dan Kepercayaan Publik
- Penyalahgunaan Kekuasaan
Dalam teori kekuasaan Max Weber, negara diberi legitimasi untuk menggunakan kekerasan melalui institusi seperti kepolisian. Namun, kekuasaan ini harus dijalankan dengan tanggung jawab dan dalam batas norma yang berlaku. Ketika kekuasaan digunakan tanpa pengawasan yang memadai, seperti dalam kasus Gamma, hasilnya adalah penyalahgunaan yang merusak kepercayaan masyarakat.
Gamma, sebagai bagian dari masyarakat sipil, berada dalam posisi rentan di bawah otoritas aparat negara. Ketimpangan ini mencerminkan relasi kuasa yang tidak seimbang antara negara dan warganya. Ketika institusi negara gagal melindungi, hubungan sosial yang didasarkan pada kepercayaan pun terganggu, menciptakan rasa ketidakadilan yang meluas.
- Solidaritas Sosial dan Kesadaran Kolektif
Reaksi masyarakat terhadap kasus ini menunjukkan solidaritas sosial yang kuat. Dalam perspektif Emile Durkheim, solidaritas muncul sebagai bentuk "kesadaran kolektif" ketika norma atau nilai-nilai bersama dilanggar. Dukungan masyarakat terhadap keluarga Gamma, aksi di media sosial, hingga petisi daring dengan ribuan tanda tangan mencerminkan bagaimana masyarakat modern menggunakan teknologi untuk menyuarakan tuntutan keadilan.
- Ketidakadilan Struktural
Kasus ini juga dapat dianalisis melalui perspektif teori konflik yang dikemukakan Karl Marx. Dalam teori ini, institusi sering kali mencerminkan kepentingan kelompok dominan, yang dalam konteks ini adalah aparat negara. Penyalahgunaan kekuasaan oleh polisi menunjukkan adanya masalah struktural yang lebih besar, di mana mekanisme pengawasan internal dan kontrol atas aparat masih lemah.
Tuntutan Reformasi: Solusi dalam Perspektif Ilmu Sosial
- Penguatan Pendidikan dan Pelatihan Aparat
Kasus ini menunjukkan pentingnya reformasi dalam sistem pelatihan aparat kepolisian. Aparat harus dibekali dengan keterampilan de-eskalasi konflik, pengendalian emosi, dan pemahaman mendalam tentang penggunaan senjata api. Pelatihan ini tidak hanya teknis tetapi juga menekankan aspek moral dan etika profesional.
- Pengawasan Ketat terhadap Kekuasaan