Mohon tunggu...
Ana Naila Izzati Faradis
Ana Naila Izzati Faradis Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWI STAI AL-ANWAR PRODI ILMU AL-QUR'AN danTAFSIR

memasak, membaca, nonton film, hiling MAHASISWA STAI AL-ANWAR PRODI ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Anak Tumbuh di Keluarga KDRT Cenderung Menormalisasi Kekerasan

5 November 2024   11:52 Diperbarui: 5 November 2024   11:59 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan peristiwa sosial yang memiliki dampak luas, khususnya pada anak-anak yang terlibat dalam situasi tersebut. KDRT tidak hanya merugikan pasangan yang mengalami kekerasan, akan tetapi juga membawa konsekuensi serius bagi anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh ketegangan dan kekerasan. Menurut data dari berbagai lembaga, termasuk Komnas Perempuan, jumlah laporan KDRT di Indonesia menunjukkan tren yang meningkat, khususnya dalam situasi krisis yaang mana pada waktu pandemi COVID-19 kemaren. Dan itu dapat menyebabkan mereka yang mana menganggap kekerasan sebagai hal yang normal dalam hubungan interpersonal. Proses ini dikenal sebagai normalisasi kekerasan, di mana anak-anak belajar bahwa kekerasan adalah cara yang dapat diterima untuk menyelesaikan konflik, mengekspresikan emosi, atau mendapatkan kontrol.

Dampak dari normalisasi kekerasan ini dapat terlihat dalam berbagai aspek kehidupan anak, termasuk perkembangan psikologis, interaksi sosial, dan kemampuan mereka untuk membangun hubungan yang sehat di masa depan. 

Lingkungan sosial dan budaya juga berperan dalam membentuk pandangan anak-anak tentang kekerasan. Di beberapa masyarakat, norma-norma yang merendahkan martabat dan menormalisasi kekerasan dapat memperkuat siklus ini. Tanpa adanya intervensi yang tepat, anak-anak tersebut berisiko tinggi untuk melanjutkan siklus kekerasan dalam kehidupan mereka kelak. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang bagaimana anak-anak menormalisasi kekerasan dalam konteks KDRT sangat penting. Hal ini memerlukan perhatian dari berbagai pihak, termasuk keluarga, masyarakat, dan pemerintah, untuk merancang program intervensi yang efektif. Dengan mengedukasi anak-anak tentang hak asasi manusia, pentingnya hubungan yang sehat, serta strategi penyelesaian konflik yang non-kekerasan, diharapkan kita dapat memutus siklus kekerasan dan membangun masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

Topik mengenai anak-anak yang tumbuh di keluarga dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sering muncul dalam berbagai laporan dan berita, karena dampaknya yang signifikan pada perkembangan psikologis dan perilaku mereka. Beberapa penelitian dan artikel berita mengangkat bahwa anak yang menyaksikan atau mengalami KDRT cenderung menormalisasi kekerasan dalam hubungan mereka sendiri di masa depan. Contoh berita seperti ini sering muncul saat ada kasus KDRT yang mengemuka di media. 

Pada Teori nation-state menekankan pentingnya identitas kolektif dalam membentuk perilaku individu. Dalam konteks KDRT, anak-anak yang tumbuh dalam masyarakat di mana kekerasan dianggap sebagai norma dalam keluarga dapat membentuk identitas mereka berdasarkan pengalaman tersebut. Jika masyarakat secara umum tidak mengutuk KDRT, anak-anak mungkin akan menginternalisasi nilai-nilai ini, yang mengarah pada normalisasi kekerasan sebagai bagian dari identitas sosial mereka.

Teologi pembebasan menyoroti pentingnya keadilan sosial dan hak asasi manusia. Dalam konteks KDRT, pendekatan ini akan menekankan perlunya melawan ketidakadilan struktural yang memungkinkan KDRT berlangsung. Anak-anak dalam situasi ini harus diberikan pendidikan dan pemahaman tentang hak-hak mereka serta pentingnya hubungan yang saling menghormati. Keterlibatan dalam komunitas yang menegakkan prinsip-prinsip keadilan dapat membantu mereka mengubah pandangan mereka tentang kekerasan.

Teori konflik identitas berfokus pada bagaimana identitas individu terbentuk melalui interaksi dengan kelompok sosial lainnya. Anak-anak dalam keluarga KDRT dapat mengalami kebingungan identitas, terutama jika mereka merasa terjebak antara norma kekerasan dalam keluarga dan norma non-kekerasan di masyarakat. Ini bisa menyebabkan mereka menginternalisasi kekerasan sebagai cara untuk beradaptasi dan mengatasi konflik.

Dalam konteks populisme Islam, ide-ide tentang moralitas dan kekuasaan dapat mempengaruhi cara anak-anak memandang kekerasan. Jika narasi yang ada menekankan bahwa kekerasan merupakan cara yang sah untuk mempertahankan kehormatan atau keadilan, anak-anak mungkin akan mengadopsi pandangan ini sebagai norma. Ini juga menciptakan risiko bahwa mereka akan menolak model penyelesaian konflik yang lebih damai.

Kedua pendekatan ini menekankan pentingnya moralitas dan etika dalam hubungan antar manusia. Dalam konteks KDRT, ajaran tentang perlunya menghormati martabat manusia dapat menjadi alat yang kuat untuk mendidik anak-anak tentang pentingnya non-kekerasan. Di sisi lain, pendekatan Ghozalian yang mengaitkan moralitas dengan iman dapat membantu anak-anak memahami bahwa kekerasan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip agama yang mengajarkan kasih sayang dan toleransi.

Teori keadilan berfokus pada perlunya sistem yang adil dalam menangani masalah sosial, termasuk KDRT. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan kekerasan sering kali merasa tidak memiliki akses pada keadilan. Dengan mengedukasi mereka tentang hak-hak mereka dan pentingnya sistem keadilan yang adil, kita dapat membantu mereka memahami bahwa kekerasan bukanlah jalan yang benar untuk menyelesaikan masalah, dan mereka berhak untuk hidup dalam lingkungan yang aman dan damai.

Jadi, Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga KDRT menghadapi tantangan besar dalam memahami dan membentuk identitas mereka. Dengan menerapkan berbagai teori ini, kita dapat melihat bagaimana berbagai faktor sosial, budaya, dan moral berkontribusi pada normalisasi kekerasan. Intervensi yang berbasis pada keadilan, pendidikan, dan perubahan naratif sosial akan sangat penting dalam memutus siklus kekerasan dan membangun masyarakat yang lebih sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun