Kematangan psikologis adalah perkembangan individu menuju perilaku dewasa yang dipengaruhi oleh faktor biologis dan sosial, serta menentukan kesiapan belajar. Dalam pendidikan, penting mempertimbangkan kematangan agar pembelajaran sesuai tahap perkembangan.Â
Teori belajar seperti behavioristik (peran lingkungan), humanistik (pengembangan potensi), dan kognitif (proses aktif belajar) mendukung pemahaman tentang pentingnya kematangan dalam proses pendidikan.
Teori Humanistik dalam pendidikan menekankan pengembangan potensi individu secara utuh, membantu siswa memahami diri dan lingkungannya untuk memaksimalkan bakat dan menghadapi tantangan hidup.Â
Pendidik berfungsi sebagai pembimbing yang menanamkan nilai positif dan mendorong kebebasan dalam memilih materi pembelajaran. Beberapa model pembelajaran humanistik mencakup Humanizing of the Classroom (kesadaran diri), Active Learning (pembelajaran partisipatif), Quantum Learning (menggunakan logika dan emosi), dan Accelerated Learning (pembelajaran cepat dengan pendekatan sensorik).
Tokoh-tokoh utama dalam teori humanistik meliputi Abraham Maslow, Carl Rogers, dan Arthur Combs. Maslow menekankan pentingnya konsep diri dalam pendidikan, di mana motivasi individu dipengaruhi oleh lingkungan, sementara trauma dapat menurunkan motivasi. Rogers berargumen bahwa individu memiliki dorongan untuk mencapai potensi tertinggi, dan penghargaan diri dibentuk melalui pengalaman dengan lingkungan.Â
Combs menyatakan bahwa perilaku siswa yang kurang baik seringkali disebabkan oleh ketidakcocokan antara metode pengajaran dan minat siswa; oleh karena itu, guru perlu memahami makna pembelajaran bagi siswa untuk mengubah perilaku mereka. Ketiga tokoh ini menekankan pentingnya memahami individu secara utuh dalam pendidikan.
Kolb membagi tahap belajar menjadi empat: pertama, pengalaman konkret, di mana individu mengalami suatu peristiwa tanpa pemahaman penuh; kedua, pengamatan aktif dan reflektif, di mana individu mulai mengamati pengalaman mereka; ketiga, konseptualisasi, saat individu mengembangkan teori atau konsep; dan terakhir, eksperimentasi aktif, di mana individu menerapkan konsep ke dalam situasi nyata.Â
Keempat tahap ini menggambarkan proses belajar yang progresif.
Teori belajar behavioristik mempelajari perilaku manusia dengan menekankan hubungan antara stimulus dan respons.Â
Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku ditentukan oleh aturan yang dapat diprediksi dan dipelajari melalui pengalaman, di mana perilaku muncul akibat penguatan atau hukuman. Perubahan tingkah laku terjadi melalui interaksi dengan lingkungan, dan belajar dianggap sebagai proses respons terhadap rangsangan yang diberikan, yang dapat diobservasi secara objektif untuk mendapatkan data ilmiah.
Tokoh utama dalam teori behavioristik termasuk John B. Watson, yang menekankan interaksi antara stimulus dan respons yang dapat diamati, serta mengabaikan aspek mental. Ivan P. Pavlov dikenal karena eksperimen kondisioning klasiknya dengan anjing, menunjukkan bagaimana stimulus netral dapat memicu respons terkondisi. B.F. Skinner mengembangkan behaviorisme radikal dengan menekankan pengamatan perilaku dan penguatan, melalui eksperimen dengan tikus di kotak Skinner, yang menunjukkan bahwa perilaku dapat dipelajari melalui interaksi dengan lingkungan.
Teori belajar behavioristik, yang dikembangkan oleh Gage dan Berliner, menjelaskan bahwa perubahan tingkah laku terjadi sebagai hasil dari pengalaman, dengan individu sebagai pihak pasif dalam proses belajar.Â
Aliran ini menekankan hubungan stimulus-respons, di mana penguatan memperkuat perilaku dan hukuman menghilangkannya. Prinsip utama teori ini mencakup penguatan positif dan negatif, serta pengelolaan kontinjensi. Tokoh-tokoh kunci dalam behaviorisme meliputi Thorndike, Watson, Hull, Guthrie, dan Skinner.
Implikasi teori belajar behavioristik, terutama yang dikemukakan oleh Thorndike, berfokus pada pembentukan koneksi antara stimulus dan respons melalui tiga hukum: hukum kesiapan, hukum latihan, dan hukum akibat.Â
Dalam pembelajaran, guru harus memastikan siswa siap menerima stimulus, sering memberikan latihan untuk memperkuat hubungan stimulus-respons, dan memberikan penghargaan untuk respon positif. Penerapan teori ini dapat meningkatkan kualitas pembelajaran jika guru memahami karakteristik siswa, memberikan stimulus secara konsisten, serta menggunakan penguatan untuk perilaku yang diinginkan dan hukuman untuk perilaku yang tidak diinginkan.
Aplikasi teori behavioristik dalam pembelajaran mencakup langkah-langkah seperti menentukan tujuan, menganalisis lingkungan kelas, dan mengenali pengetahuan awal siswa. Materi dibagi menjadi bagian kecil, disajikan, dan diiringi dengan stimulus seperti pertanyaan atau tugas.Â
Respon siswa diamati untuk memberikan penguatan positif atau negatif dan hukuman. Proses ini diulang dengan stimulus baru dan diakhiri dengan evaluasi belajar. Dalam pembelajaran bahasa, pendekatan ini menekankan keterampilan mendengar dan berbicara, penciptaan lingkungan berbahasa yang kondusif, serta penggunaan media pembelajaran untuk interaksi dengan penutur asli, sehingga bahasa menjadi kebiasaan.
Teori behavioristik dalam pembelajaran memiliki kelebihan seperti: (1) mendorong guru untuk lebih peka terhadap situasi belajar, (2) mengurangi ceramah agar siswa belajar mandiri, (3) membentuk perilaku melalui penguatan positif dan negatif, (4) mengoptimalkan bakat siswa melalui pengulangan dan pelatihan, serta (5) menyusun materi secara hirarkis dari yang sederhana ke kompleks untuk mencapai keterampilan tertentu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H