Mohon tunggu...
permaisuri depta
permaisuri depta Mohon Tunggu... -

hanya wanita biasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Nasi Itu Menangis

1 Juni 2012   14:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:31 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada seorang rekan kerja di kantorku memesan sepiring nasi goreng di kantin belakang kantor. Aku berada di sampingnya sambil mengerjakan tugas-tugasku. Tak berapa lama, pesanannya pun datang. Nasi tersebut kini dihidangkan di depannya. sekitar 15 menit berlalu ia pun pamit mau pulang padaku. Yang teringgal di mejanya menggugah hatiku. Hhmm.. kulihat separuh nasi goreng masih tersisa di piring berwarna merah. mubazir pikirku. Sebenarnya hal ni sudah berkali-kali terjadi pada rekanku. semalam semangkuk soto dipesan dan masih tersisa telur rebus, bihun dan lainnya di dalam mangkuk. Aku pun berpositivethinking saja, kalau-kalau dia lagi tak berselara atau sakit atau banyak pikiran. Tapi tetap saja masalah makanan yang tersisa ini jadi pemikiranku di hari-hari selanjutnya karena ia selalu rutin melakuka "ritual" makan tidak habis ini.

Tak hanya satu rekan, masih ada beberapa rekan yang seperti ini. Ah.. kenapa aku terlalu memikirkan urusan makanan bersisa yang seharusnya urusan yang empunya makanan. walaupun aku berkali-kali bertekad tidak akan peduli pada hal ini namun tetap saja punya pertanyaan-pertanyaan yang banyak di kepalaku. seperti : mengapa mereka bisa seperti itu? Apakah mereka tidak berpikir betapa sulitnya mengolah makanan itu? Apakah mereka tidak mengingat masih ada orang-orang kelaparan di luar sana, sampai-sampai makan nasi aking, mengais tong sampah atau memungut makanan tidak steeril di jalan?

Semasa aku masih kecil, nenekku sering menegurku bila ada nasi berisia di piring makanku. "Kasihaaaan nasinya.., nanti nasi menangis bila tak dihabiskan" kata nenekku. Aku pun pada waktu itu percaya dan buru-buru menghabiskan nasi tersebut sambil membayangkan butir-butir nasi berwarna putih sedang menangis. semakin bertambahnya waktu aku mulai berpikir bahwa yang dikatakan nenekku itu ada iktibar atau pelajarannya. Pikirkan siapa yang menanam atau mengolah, pikirkan betapa yang terbuang justru sangat dibutuhkan oleh orang-orang yang tak seberuntung kita dalam hal makanan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun