Marsinah google
Jika dulu Perempuan di tindas, di abaikan dan bahkan terasingkan dari kehidupan yang di miliki, bahkan tidak jarang di jejalkan dengan persoalan-persoalan domestic yang akhirnya bertumpu pada rutinitas sekitar dapur, sumur dan kasur. Seperti halnya kekerasan dalam rumah tangga juga kerap kali di hadapi. Segelintir persoalan itu baru di lingkungan rumah tangga, belum di ruang lingkup yang lebih besar sperti tatanan negara. Jika di inggris pada tahun 1912 perempuan-perempuan tidak di izinkan untuk ikut campur di bidang politik, maka munculah pembrontakan demi menuntut hak pilih untuk kaum perempuan.
Hal ini dilakuakan agar bisa mendapatkan haknya sebagai manusia serta perlakuan yang sama dengan laki-laki. Perbedaan yang selalalu mengintimidasi antara perempuan dan laki-laki menjadi persoalan yang berpuluh-puluh tahun tidak menemukan titik terang. Salah satu film yang berjudul “SUFFARAGETTE” yang artinya “Pejuang Hak Pilih Wanita” ini, saya rasa mampu menyihir penontonnya untuk membuka sejarah kelam pemerintahan Inggris kala itu.
Kisah yang diangkat dari sekelompok pekerja perempuan yang tergabung dalam perjuangan. Dimana perempuan tidak di anggap sama sekali keberadaannya hingga para penguasa menganggap perempuan cukup di wakili oleh ayah, saudara laki-laki dan suaminya. Jangankan tergabung dalam pemerintahan parlemen, sekedar mengungkapkan pendapat saja itu sangat mustahil. Dari sinilah tokoh inggris sekaligus pejuang perempuan Emmeline Pankhurst muncul sebagai garda terdepan dalam melakukan perlawanan.
Ia sebagai pemimpin meyuarakan kampanye nasional pembangkangan sipil. Tidak terima dengan perlakuan pemerintah yang selalu membungkam kebebasan berekspresi, akhirnya ia membangun gerakan yang mampu mewujudkan impian semua perempuan inggris. Berawal dari perlakuan yang di proleh para buruh cuci di pabrik tekstil yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, mulai dari kedudukan hingga jam kerja yang lebih lama bagi perempuan itu semua adalah cikal bakal perlawanan Emmeline.
Belum lagi persoalan upah yang di terima oleh buruh perempuan. Sudah tentu lebih sedikit pekerja perempuan. Hak-hak untuk mendapatkan kesetaraan inilah yang menjadi tuntututan pejuang perempuan ini hadapan aparat penegak hukum. Sungguh perbuatan yang tidak memanusiakan manusia ketika melihat jam kerja yang begitu lama hingga 18 jam per hari bagi pekerja perempuan.
Tidak heran jika ungkapan Emmeline sebagai pemimpin mengatakan “menjadi pemberontak lebih baik bagiku daripada menjadi budak”. Ungkapan inilah yang menjadi motivasi para perempuan inggris untuk melakukan perlawanan.
Dikarenakan sudah beberapa dekade berkampanye dengan damai namun tak jua di gubris, tidak ada jalan lain yang di tempuh kecuali dengan cara yang radikal termasuk memutus kabel telekomunikasi dan menghancurkan tempat-tempat peribadatan. Hingga baku hantam dengan aparatur Negara, sampai ia di masukkan ke penjara, sekelompok perempuan yang tergabung dalam pergerakan ini tidak pernah menyerah dalam memperjuangkan haknya.
Bahkan aksi mogok makan selama satu minggu penuh dilakukan saat berada didalam penjara karena tidak di terima sebagai tahanan Negara. Hal ini adalah salah satu benuk perlawanan dan perjuangan yang mereka lakukan.
Melalui air penderitaan, salah satu anggota pergerakan itu memberanikan diri untuk mengibarkan bendera kemerdekaan atas kemerdekaan perempuan di hadapan seluruh media yang saat itu meliput acara balap kuda yang diselenggarakan raja inggris tahun 1912. Hingga nyawa sebagai taruhannya.
Semenjak itu kini perempuan-perempuan tidak lagi diam dan bahkan harus bangkit melawan. Dialah sosok yang kuat serta pemberani, hidup dan matinya di tangguhakan untuk memperjuangkan hak-hak yang selama ini di rampass oleh Negara. Ia akrab di sapa dengan panggilan Edith.
Kasus di Indonesia bisa dilihat seperti perjuangan marsinah, yang memperjuangkan hakhak buruh perempuan. Yang meminta kenaikan gaji pada PT CPS tempat ia bekerja. Namun takdir berkata lain perjuangan yang dilakukan oleh Marsinah dengan perempuanperempuan lainnya mendapatkan intimidasi dari pihak terntenu. Hingga kematian Marsinah terus menjadi teka - teki yang tak berujung. Walupun berbagai elemen masyrakat terus memperjuangkan agar keadilan beserta kasus Marsinah dapat terusut.
Akankan perjuangan - perjuangan perempuan Indonesia selalu mendapatkan intimidasi dan pengekangan dari pihak – pihak tertentu ? Jika demikian, matilah pergerakan perempuan. Saya meyakini bahwa perempuan juga mampu menjadi garda terdepan dalam menyuaraka hak-hak atas ketidakadilan yang mereka dapatkan. Hidup Perempuan !!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H