Siapa sangka Pondok pesantren yang terkenal dengan rona salafnya berhasil produktif melahirkan tokoh-tokoh Literasi, yang seolah tidak ada matinya, belum redup nama Habiburahman El-Syirazi generasi literasi dipesantren terus tumbuh.
Salah satunya adalah Ning Khilma Anis. Novelis muda yang lahir dan dikenal dari rahim pesantren, tokoh wanita tangguh kelahiran Jember 33 tahun silam ini berhasil membawa pembaca seolah menyesuri bilik-bilik pesantren melalui karya novelnya yang berjudul "Hati Suhita". Selain itu pembaca dengan sendirinya akan mempelajari filosofi-filosofi Jawa melalui Novel ini.
Alhamdulillah, pada Rabu (18/12) kemarin saya beryukur karena bisa bermuwajahah langsung dengan beliau Ning Hilma, dalam acara Ngaji Jurnalistik yang diselenggarakan oleh Pers Elmahrusy Feat Osis MA Al-Mahrusiyah Lirboyo.
Sebuah Kesempatan  berharga  yang entah bisa terulang kembali untuk kedua kalinya atau tidak, maka ini benar-benar saya manfaatkan, telinga dan otak saya terkonsentrasi saya jadikan kolaborasi antara keran dan kolam yang besar untuk dapat menampung siraman ilmu  yang deras dari Ning Khilma.
Pesan Pertama yang saya tangkap dari beliau adalah, betapa istimewanya santri yang bergelut didunia Jurnalistik, " Kalau santri itu biasanya mengaji, hafalan, dan sekolah tapi kalau kita setiap hari harus memecah pikiran bagaimana Majalah ini terbit, disisi lain berjunalisme dipesantren itu adalah fadhol, sebuah Anugrah yang mana tidak diberikan kepada semua santri, kok tidak sampai menghasilkan Majalah atau Buletin maka Berdosa kalian ". Terang beliau kepada kami, kalimat terakhir diatas benar-benar membuat hati saya terketuk untuk segera menerbitkan Majalah Elmahrusy edisi ke-11. Majalah Pondok Pesantren Lirboyo Al-Mahrusiyah yang sampai saat ini masih tahap Fininshing tinggal menyelesaikan detail-detail designya.
Selama Hampir 4 tahun  berjurnalistik di Pesantren, saya merasakan betul apa yang diungkapkan oleh Ning Khilma, masa-masa itu jika dipikir berat, kewajiban Ngaji di Madrasah, Hafalan ratusan bait Nadzom, tumpukan tugas dibangku Kuliah, sampai pengabdian di pondok beriringan dengan sebuah target dwi wulanan untuk menerbitkan Majalah.  jika tidak kuat bisa saja jiwa raga ini terseok-seok hancur bak rempahan rengginang. Tapi kembali lagi jika pekerjaan itu dilaksanakan atas dasar cinta, yang berat sekalipun akan terasa ringan.
Untung saja mendapatkan suntikan moral dari beliau Ning Khilma yang tentu saja perjuanganya lebih berat daripada yang pernah saya rasakan. Selanjutnya dawuh Ning Khilma  yang membuat saya semangat menulis adalah kata-kata beliau yang menukil nasihat semar kepada anak-anaknya, " Ngger ojo mati tanpo aran, ( jangan mati tanpa karya ) jangan boyong dari pondok sebelum punya karya". Nasihat ini sangat relevan dengan yang saya alami sekarang, karena sudah memasuki tahun ke-7 mondok, saya belum mempersembahkan karya hebat kepada pondok ini, yang mana kapan saja tiba-tiba saya bisa boyong.
Ketika mengulas Tentang Novel, saya sempat menemukan gejolak pikiran, beliau berpesan ketika akan menulis sebuah novel tidak usah berhayal jauh-jauh tidak usah terkesan wah, setting yang digunakan setidaknya bisa dijangkau untuk dilaksankan riset. Mengingat terkadang banyak novel dimana setting tempat yang ada didalamnya tidak bisa ditemukan di dunia nyata. Karena Novel-novel yang ditulis oleh Ning Hilma merupakan hasil riset jurnalistik yang mendalam, bahkan setiap tokoh memiliki refrensi tersendiri. Maka tak heran setiap tokoh yang ada didalam Novel Ning Hilma memiliki Karakter yang Kuat.
Hal ini agak membuat saya Minder mengenai Novel yang  sedang saya tulis , dikarenakan settingnya mengambil Negara Jepang dan Jerman. Suatu hal yang tamanni (Sulit terjadi ) saya bisa  riset ke jepang dekat-dekat ini, namun keraguan saya terjawab oleh Ning Hilma, beliau menjelaskan sah-sah saja mengambil setting di Jepang, tapi harus mengambil Informasi  medalam yang Akurat dan aktual.
Dengan catatan tidak mengambil sumber dari Google, karena meskipun akurat sumber di Google kurang aktual, beliau menganjurkan untuk riset secaea pustaka bahasa kuliahnya library research. Selain itu bisa mengambil informasi dengan kenalan sama orang Jepang sana ataupun WNI yang berdomisili di Negara yang akan dijadikan riset. Penjelasan Ning Hilma ini membuat semangat saya kembali mencuat untuk lanjut menulis Novel.
Yang saya kagumi dari Ning Hilma adalah proses penulisan  Novel ning hilma itu berdasarkan olah Jurnalistik, yang biasanya menghasilkan tulisan-tulisan yang berat, namun oleh Ning Hilma, olah jurnalistik tadi disulap menjadi sastra-sastra yang lembut, menyampaikan informasi dengan bahasa yang semua orang bisa mengonsumsinya dalam bentuk Novel. bukan Jurnal, Thesis, ataupun Buku . Suatu hal yang tidak bisa setiap ilmuwan lakukan.
Sebenarya hal ini ingin saya tanyakan pada beliau, bagaimana langkah jitu menyulap olah jurnaslitik menjadi karya sastra yabg indah. Namun karena keterbatasan Waktu pertanyaan saya urungkan, semoga saja dilain kesempatan dapat berjumpa, nyandong ilmu lan berkahipun Ning Hilma. @Elnahrowi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H