Mohon tunggu...
Ahmad Nahrowi
Ahmad Nahrowi Mohon Tunggu... Jurnalis - Santri, Proletar

Pegiat Jurnalisme Pesantren

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Refleksi Hari Guru: Disparasi Akhlak Santri dan Siswa, Sebuah Pengalaman Mengajar

26 November 2019   18:59 Diperbarui: 26 November 2019   19:22 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source Ig @Elnahrowi

Di Indonesia sudah terdapat dua sistem pendidikan yang  berdampingan dari dulu, pertama adalah yang tumbuh terlebih dulu yaitu pendidikan Madrasah Diniyah (Madin), lahir dan dikembangkan oleh Kiai lewat surau-surau kecil hingga sampai sekarang telah menjadi pesantren-pesantren besar, di Madin sesuai namanya  cenderung menekanankan pada materi pelajaran agama mulai dari yang dasar Tauhid, Tajwid, Akhlak, Gramatika Arab dlsb. 

Yang kedua dalah  Pendidikan Sekolah formal, yang memberikan ilmu-ilmu bumi, seperti Matematika, IPA, IPS, Humaniora dlsb. Sekolah formal pada mulanya hanya pemerintah yang mengelola, namun seiring perkembangan Zaman sekarang pihak swasta juga banyak yang mengelola. Begitupun Madin, dahulu hanya pihak swasta yang berani membuka pendidikan ini, namu sekarang pemerintah juga mengelola Madin bahkan sekarang ada UU Khusus yang mengatur mengenai Pesantren.

Jika dihitung perbedaan dari Madin dan Formal terdapat banyak perbedaan, disisi lain kedua pendiikan ini memiliki peranan penting bagi penduduk di Indonesia, Madrasah medidik agar masyarakat memilki Ahlakul karimah, memberi tahu bagaimana caranya supaya bisa interkasi dengan tuhan melalui pelajaran Ubudiah, serta pendidikan ruhaniyah lainya, dan pendidikan formal mendidik masyarakat baggaimana bertahan hidup di bumi dan memanfaatkan segala potensi di bumi untuk keberlangsungan hidup.

Di sini saya akan menceritakan peengalaman tatkala mengajar santri di Madin dan Siswa di Sekolah yang pernah saya alami dan beberapa cerita pengalaman dari teman-teman saya,  bermula ketika saya mengajar salah satu Madrasah Ibtida'iyah di kabupaten  Kediri, waktu itu dalam rangka menjalankan tugs KKN program pendidikan saya kebagian mengajar kelas 5 MI. Pertama ngajar respon siswa Nampak gembira karena merasa ada sosok baru dalam proses belajar mengajar mereka. 

Mereka dengan seksama mendengarkan materi yang saya sampaikan dan juga sesekali berani bertanya, namun ketenangan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) mulai ambyar manakala waktunya Istirahat tinggal 15 Menit, siswa yang di dominasi laki-laki ini mulai merengek minta pelajaran segera dihentikan dan keburu-buru Istirahat, saya sebagai pengajar pasti tidak menuruti permintaan mereka berusaha  tetap mencoba disiplin walaupun bukan guru asli, hehe. 

Untuk itu saya menyuguhkan cerita-cerita seputar pondok pesantren untuk mengalihkan perhtian mereka, sukur-sukur sambil promosi memancing siswa siapa tau ada yang ingin mondok . dan cerita yang saya suguhkan sangat manjur, mereka hanyut dengan cerita saya, dan teeeeet.................  bel tanda istirahat berbunyi waktunya mengistirahatkan mereka.

Istirahat selama 30 menit sudah selesai, kerewelan anak-anak mulai Nampak, siswa laki-laki tak kunjung  masuk kelas padahal bel sudah berbunyi, sedangkan siswa perempuan sudah masuk semua. Diwaktu setelah istirahat ini saya kembali mengajar, dan Nampak sikap asli dari mereka mulai kelihatan. 

Siswa laki-laki mulai usil tak karuan, saling kejar mengejar, bahkan hampir ada yang mau berkelahi. Ketika saya menjelaskan Materi Pelajaran mereka tidak mmperhatikan, mereka mau mendengarkan manakala saya bercerita pokoknya diluar materi pelajaran mereka benar-benar mau memperhatikan secara saksama, namun metode bercerita ini manjurnya tidak tahan lama, selang 10 menitan, siswa kembali polah lagi.

Saya dilema dengan hali ini, sebenarnya didalam hati saya ingin bersikap tegas seperti metode ustad-ustad Pondok Pesantren ketika mengajar, namun disisi lain saya disini 'Cuma' mengajar sementara dan tidak guru tetap. Saya hanya bisa bersabar menghadapi itu, dan sambil berharap bel pulang segera berbunyi.

Sore harinya, penulis lanjut mengajar ngaji dimadrasah dan di desa yang sama dengan MI tadi, sejak kedatangan awal, perbedaan mulai nampak jelas, saya disambut dengan suka ria dan dari polah Santri ini  tidak tampak usil seperti disekolah, disat jam pelajaran pun, santri - santru nampak tuma'ninah mendengarkan materi yang saya sampaikan.

Perlu diketahui, santri di Madrsah ini orangnya tak jauh beda dengan siswa yang penulis ajar sewaktu di  MI, itu bisa dimaklumi karena letak MI dan Madrasah hanya terpaut 300 M. Santri di Madrasah ini benar-benar tak sedikitpun berani beranjak dari tempat duduk lesehanya, tidak pernah berteriak-teriak layaknya yang biasa mereka lakukan di MI.

Disparitas akhlaknya disini sangat nampak sekali, entah apa faktornya, apa karena disekolah formal terlalu lama jangka belajarnya dan nenjadikan mereka jenuh, atau di Madrasah diniyah yang 'hanya' 2 Jam. Kalaui menurut penulis pribadi, da beberapa Faktor kenapa Disparasi akhlak antara Pendidikan Fornal dan Pendidikan agama ini terjadi.

Pertama, timbul dari dalam sanubari anak, bahwasanya Madrasah diniyah merupakan tempat religius dan suci untuk menggali ilmu agama, jadi dari dalam diri mereka akan timbul fikiran untuk tidak banyak tingkah, bahasanya mereka takut kualat, berbeda dengan di sekolah formal meskipun itu MI sekalipun, Nuansa agamisnya tertutup dengan nuansa Formal atau sekolah umum.

Kedua, dari segi materi pelajaran, di sekolah formal cenderung pelajaran umum mendominasi meskipun ada pelajaran agama juga, itupun tidak menjadi prioritas, bahkancenderung dikesampingkan, berbeda dengan materi pelajaran di Masdrasah diniyah, 100% semua pelajaran menganung hikmah semua, dan menuntun santri dengan sendirinya untuk berperilaku baik.

Ketiga, dari segi  pengajar, mungkin ini yang bisa menjadi barometer guru-guru supaya 'agak' meniru Ustadz, di Sekolah Formal guru itu bahasanya mengajar, dimana hanya sekedar memberi materi pelajaran, menuntut murid untuk faham, dan mengerjakan tugas yang diberikan, setelah diluar kelac sudah beda lagi ceritanya. 

Mari kita coba telaah yang dilakukan Ustad di madrasah, disini peran ustadz tak sekedar menyampaikan materi pelajaran, ustad juga mendidik santri untuk bertatakrama, sebelum memulai pelajaran pun ustadz sudah mendidik santrinya untuk ingat kepada Pengarang Kitab dengan cara bertawasul dan memberi hadiah fatihah,  ustadz cenderung menekankan santri untuk bersifat andap asor dab budi luhur lainya, jadi tidak heran jik ustadz lebih menyukai santri yang berakhlak baik meskipun pemahamanya kurang, daripada pandai tapi tidak bisa diatur. Berkebalikan dengan prinsip guru formal 'kalian boleh nakal asalkan nilainya bagus' . 

Kalimat seperti itu acapkali sering kita dengar. Dan satu faktor lagi, ini masalah hati, guru mau mengajar kalau dibayar, berbeda dengan ustadz yang tak mengharapkan bayaran sama sekali, disini terlihat bahwa ketulusan ustadz lebih terlihat, maka santri pada hormat, dan jangan salhakan siswa kalau tidak mau gugu dengan guru, bilamana ngajar saja niatnya cari uang.

Alangkah baiknya sekolah formal agak meniru beberapa materi pelajaran Madrasah, supaya akhlak siswa tertata, yakinlah jika dari mulai akhlak sudah genah, untuk memhamkan siswa itu perkara mudah.

Lirboyo, 18 November 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun