Mohon tunggu...
NAHLI
NAHLI Mohon Tunggu... Insinyur - Scientist, logist

Scientist, logist

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kambing Hitam Sang Mutiara Hitam

4 Maret 2021   15:20 Diperbarui: 4 Maret 2021   15:38 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.cnbcindonesia.com/news/20200109164206-4-128910/porsi-batu-bara-naik-target-energi-baru-ri-makin-berat

Dunia maya gempar ketika sebuah video berdurasi 1 jam 28 menit rilis di kanal YouTube pada tanggal 13 April 2019. Video yang berjudul "Sexy Killer" merupakan film dokumenter yang digawangi oleh Dhandy Dwi Laksono dan Ucok Suparta yang secara jelas men"jewer" tingkah laku industri batubara dari hulu ke hilir tanpa peduli apa yang telah kita nikmati dari kotornya industri tersebut.

Perilisannya yang bertepatan dengan momen Pemilu 2019 pun menuai pro-kontra di masyarakat Indonesia dengan menggunakannya untuk menyerang paslon yang mereka tidak sukai dalam perhelatan pemilu.

Protes dari masyarakat pun dilayangkan kepada Presiden ketika akan meresmikan PLTU Teluk Sepang di Bengkulu. PLTU dianggap mencemari lingkungan yang berdampak pada flora dan fauna di laut sekitar lokasi PLTU, termasuk akan menyebabkan kematian penyu diperairan Bengkulu yang diambang kepunahan.

PLTU merupakan akronim dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap, lalu dimana batubaranya? Mengapa PLTU selalu dikaitkan dengan hal -- hal yang buruk? Padahal uap dibutuhkan untuk menggerakan turbin yang akan menghasilkan listrik. Lalu uap dapat dibentuk darimana? Tentu dari air yang dipanaskan, dan untuk memanaskan air ini perlu bahan bakar. Layaknya merebus air, kita perlu bahan bakar seperti gas, minyak, arang dan lainnya. Sedangkan pembentukan uap pada PLTU dapat bersumber dari batubara, gas, minyak, panas bumi bahkan nuklilr. Tapi kenapa selalu batubara yang menjadi sorotan. Mungkin batubara akan selalu bilang "Why Always Me" seperti selebrasi Mario Balotelli ketika memperkuat Manchester City. Namun anehnya, kenapa diantara begitu banyak bahan bakar, batubaralah yang menjadi primadona untuk PLTU, khususnya di Indonesia dengan total 60,5% (2020) dari keseluruhan pembangkit yang ada. Mengapa itu bisa terjadi? Mari kita kilas balik terlebih dahulu.

Peradaban baru pernah kau picu

Namun Jutaan insan ragu akan hitammu

Revolusi Industri Pamungkas

Kegiatan penambangan batubara dapat membuat lubang yang menganga, menyebabkan air mudah berkumpul pada lubang bukaan tambang. Thomas Shavery pada tahun 1698 menciptakan mesin uap yang memasukan batubara ke dalam ketel untuk memanaskan air dan mengubahnya menjadi uap. Mesin ini digunakan untuk membuang air dari lokasi tambang batubara. Hampir dua dekade setelahnya Thomas Newcomen menemukan mesin uap atmosfer, tepatnya pada tahun 1712. James Watt menyempurnakan dari temuan Thomas Shavery dan Newcomen pada tahun 1765. Penggunaannya pun meluas hingga ke berbagai sektor, salah satunya merambak hingga ke sektor transportasi. Peralihan moda transportasi dari hewan ke mesin uap sungguh terasa, bahkan transportasi laut yang membuat seseorang mampu menjelajahi lautan dengan lebih mudah dari sebelumnya. Tidak hanya transportasi, mesin uap pun digunakan pada sektor pertanian, pertambangan hingga ke manufaktur. Produksi masal menggunakan mesin uap dapat terjadi di era revolusi industri ini. Pendapatan sebuah perusahaan dapat meningkat hingga enam kali lipat dengan bantuan mesin uap. Sekali lagi perlu digaris bawahi, bahan bakar yang digunakan mesin uap adalah sang mutiara hitam, batubara.

Pilihan yang jatuh kepada batubara bukan tanpa alasan atau sekedar kebetulan belaka. Kegiatan penambangan batubara merupakan penambangan paling sederhana dibandingkan dengan komoditi yang lain. Kamu cukup memiliki cangkul, karung, dan sehelai kain yang menutupi hidung dan mulut dari terhirupnya debu ke dalam kerongkongan. Pengiriman batubara pun tidak terlalu rumit. Truk dengan kapasitas 10 ton mampu membawa ke tempat tujuan dengan selamat, tanpa harus ada perlakuan khusus yang rumit. Karena kesederhanaan proses ini, banyak orang -- orang yang menyepelekan dampaknya. Sekalipun pemerintah telah memperumit perizinan untuk kegiatan penambangan, pengangkutan atau pengolahan, maraknya tambang liar dan mafia batubara memperparah dampak yang muncul dari kegiatan ini. Dampak yang sangat jelas adalah dampak lingkungan dan sosial.

Kita mengenalnya dengan nama oknum, tapi para pembenci batubara tidak mau tahu. Emisi yang dihasilkan dari pembakaran batubara adalah Sulfur dioksida (SO2), Nitrogen Oksida (NOx), Karbon dioksida (CO2) dan emisi lainnya yang jelas memperparah pemanasan global.

Upaya PLTU dalam mengurangi emisi pun sudah dilakukan (walaupun pembenci PLTU tetap tutup mata). Teknologi Ultra Super Critical Boiler yang lebih efisien dan SWFGD (Sea Water Fuel Gas Desulfurization) yang lebih ramah lingkungan Teknologi tersebut telah di aplikasikan oleh PLTU di Indonesia, salah satunya PLTU Batang milik PT Adaro Energy dan PLTU Jawa 7 milik PT Pembangkitan Jawa Bali (PT PJB).

PLTU yang bersumber dari batubara sendiri merupakan pembangkit listrik yang paling efisien dibanding sumber yang lain. Sebagai contoh, hasil jurnal ilmiah dari Cahyadi (2011) yang berjudul "Kajian Teknis Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Fossil", dia mengatakan bahwa PLTU batubara dan PLTGU (Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap) memberikan efisiensi yang tinggi. PLTU batubara ultra super critical dengan kapasitas 400 -- 600 MW memiliki efisiensi termal (ratio kalor yang dikonversi menjadi kerja dibanding dengan keseluruhan kalor yang masuk) 40-45% dibandingkan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang memiliki efisiensi termal 27-30% saja. Bahkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang emisinya lebih ramah pun hanya efisiensi termal sekitar 30% dengan risiko operasional yang sampai diangkat dalam Series di HBO.

Tidak hanya itu saja. Listrik yang dihasilkan oleh PLTU Batubara merupakan yang paling stabil dibanding PLTU yang lain. PLTU batubara termasuk ke dalam Base Load, yaitu dapat berproduksi 24 jam tanpa henti. Tidak seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebagai Peak Load yang hanya dapat beroperasi siang hari (kecuali teknologi baterai sudah mampu menyimpan listrik yang sangat besar), atau Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang realisasi di Indonesia cukup sulit mencari daerah yang memiliki kecepatan angin yang stabil, atau Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang kesulitan apabila kemarau datang.

Secara proses bisnis dari hulu ke hilir, tambang batubara, PLTU batubara, hingga produksi listriknya menjadi barang yang sexy dan menjadi primadona para pencari cuan.

Masa Depan Energy 2.0

Pro kontra ini bukan hanya menjadi dilema energi, tapi sudah menjadi trillema energi menurut World Energy Council. Para pemimpin dunia harus mempertimbangkan tiga hal sebelum memutuskan akan menggunakan sumber energi seperti apa untuk kelangsungan hidup manusia. Pertama adalah Energy Security, negara harus mampu menyediakan kapasitas listrik yang sesuai dengan kebutuhan saat ini dan masa depan, dengan mempertimbangkan efektifitas pengelolaan sumberdaya internal dan eksternal serta keandalan dan ketahanan infrastrukturnya. Berikutnya Energy Equity, yaitu kemampuan sebuah negara untuk menyediakan akses kepada energi tersebut secara andal, terjangkau dan berlimpah. Terakhir adalah Environmental Sustainibility yang menjelaskan pemanfaatan energi secara bersih dan ramah lingkungan.

Dengan berat hati, Indonesia menduduki peringkat 56 dalam penilaian World Energy Trilemma Index tahun 2020 dengan nilai 66.8 di bawah Malaysia yang berada di peringkat 33. Sudah sejauh mana upaya kita untuk menghadapi masalah trilema ini?

Upaya pemerintah Indonesia dalam menghadapi trilema ini dapat kita lihat pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dari PT PLN 2019 -- 2028, yaitu bauran energi untuk Energi Baru dan Terbarukan (EBT) meningkat dari 12,36% di tahun 2019 menjadi 25% di tahun 2025, namun realisasi di 2020 baru sekitar 11,31%. "Perjalanan masih jauh Bung, namun Belanda semakin dekat."

https://www.cnbcindonesia.com/news/20200109164206-4-128910/porsi-batu-bara-naik-target-energi-baru-ri-makin-berat
https://www.cnbcindonesia.com/news/20200109164206-4-128910/porsi-batu-bara-naik-target-energi-baru-ri-makin-berat

"Dih! Tulisan di atas seakan -- akan mengglorifikasikan industri batubara!".

Begini Bung, kenaifan dalam melihat masalah trilemma energy mudah sekali mematik emosi, apalagi disertai bumbu -- bumbu kepentingan politis. Namun sebagaimana revolusi industri 4.0 yang tidak akan muncul tanpa adanya revolusi industri 1.0 hingga 3.0, energy 2.0 tidak dapat muncul tanpa kita menaiki anak tangga bernama fossil fuel, yang salah satunya adalah batubara. Industri ini sadar betul dampak lingkungan dan sosial akan terjadi. Perannya sebagai base load sudah seharusnya menopang 24 jam kita untuk menciptakan baterai yang mampu menyimpan listrik yang besar, panel surya yang mampu beroperasi ketika mendung, mengurangi risiko PLTN, teknologi pembangkit arus laut dan inovasi -- inovasi laiinnya.

lari-estafet-604096a58ede483b6f4a2933.jpg
lari-estafet-604096a58ede483b6f4a2933.jpg
Biarlah industri hitam ini dibenci, namun dapat membawa tongkat estafet energi ke generasi berikutnya, hingga cita -- cita luhur Energy 2.0 yang ramah lingkungan bisa tercapai dan dinikmati oleh anak cucu kita kelak.

Tidak peduli kau batubara atau permata

Kau tetap berasal dari leluhur yang sama

Berbeda tekanan yang kau terima

Kau tetap kentara memberi makna

 

Kambing hitam untuk Mutiara hitam

Takkan pernah biarkan kami padam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun