Kembali ke DPRD mungkin terlihat efisien, tetapi ini bertentangan dengan prinsip demokrasi partisipatif. Demokrasi yang sehat mensyaratkan keterlibatan masyarakat secara langsung dalam proses politik. Jika keterlibatan ini dikurangi, kepercayaan publik terhadap sistem politik bisa tergerus.
Sebaliknya, bila pilkada langsung tetap dipertahankan, reformasi sistem untuk mengatasi kelemahannya menjadi hal mendesak. Misalnya, memperkuat pengawasan untuk mencegah politik uang atau mengoptimalkan anggaran agar tidak memberatkan daerah.
Solusi Alternatif
Alih-alih mengembalikan pilkada ke DPRD, beberapa solusi alternatif bisa dipertimbangkan:
1. Digitalisasi Pemilu
Menggunakan teknologi untuk menyederhanakan proses pilkada, sehingga biaya dapat ditekan tanpa mengurangi partisipasi rakyat.
2. Edukasi Pemilih
Memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar lebih kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh politik uang.
3. Pengawasan Ketat
Memperkuat peran lembaga pengawas, seperti Bawaslu, dalam memastikan pilkada berjalan jujur dan adil.
Pengembalian mekanisme pilkada ke DPRD adalah wacana yang membawa pro dan kontra signifikan. Meski efisiensi dan stabilitas menjadi alasan utama pendukungnya, langkah ini berpotensi melemahkan demokrasi dan mengurangi akuntabilitas pemimpin daerah.Â
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi partisipasi rakyat, Indonesia sebaiknya mencari solusi lain yang lebih inovatif untuk mengatasi kelemahan pilkada langsung tanpa mengorbankan suara rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H