Pendidikan adalah hak setiap anak bangsa, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun, dalam praktiknya, sistem pendidikan di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, salah satunya adalah sistem zonasi sekolah.
Kebijakan yang mulai diberlakukan secara luas sejak 2017 ini bertujuan untuk mendistribusikan akses pendidikan secara merata, menghilangkan stigma sekolah favorit, dan mengurangi disparitas kualitas pendidikan.Â
Meski demikian, berbagai persoalan muncul dan memunculkan dilema antara pemerataan akses dan pembatasan pilihan.
Tujuan Mulia di Balik Zonasi
Kebijakan zonasi dirancang untuk memastikan setiap siswa memiliki hak yang sama untuk bersekolah di dekat tempat tinggalnya. Dengan sistem ini, anak-anak dari berbagai latar belakang sosial dapat bertemu dalam satu sekolah, sehingga diharapkan tercipta keadilan sosial.
Selain itu, sistem zonasi juga diharapkan dapat meningkatkan pemerataan kualitas pendidikan dengan cara mendorong perbaikan di sekolah-sekolah yang selama ini dianggap kurang favorit.
Namun, apakah tujuan mulia ini telah tercapai?
Realitas yang Kontras di Lapangan
Dalam praktiknya, sistem zonasi justru memperlihatkan banyak masalah, mulai dari ketimpangan fasilitas sekolah hingga protes orang tua siswa.
Masalah terbesar adalah kualitas sekolah yang tidak merata di banyak daerah. Di kota besar, misalnya, masih terdapat sekolah yang memiliki fasilitas lengkap dan tenaga pengajar berkualitas tinggi, sementara sekolah di pinggiran minim fasilitas.
Hal ini membuat orang tua di kawasan tertentu merasa dirugikan karena anak mereka harus masuk ke sekolah dengan fasilitas yang tidak memadai, meskipun berada di zona yang sama.
Selain itu, ada fenomena manipulasi domisili. Tidak sedikit orang tua yang "memindahkan" alamat tinggal demi memasukkan anak ke sekolah tertentu. Praktik ini tidak hanya merugikan anak lain yang benar-benar tinggal di zona tersebut, tetapi juga mencoreng prinsip kejujuran dalam pendidikan.
Apakah Zonasi Membatasi Pilihan?
Bagi sebagian kalangan, sistem zonasi dianggap membatasi kebebasan memilih sekolah. Orang tua yang berharap anaknya mendapatkan pendidikan terbaik merasa kecewa karena pilihan mereka terbatasi oleh lokasi tempat tinggal.
Sebaliknya, anak-anak dengan kemampuan akademis unggul juga merasa kehilangan peluang untuk berkembang di lingkungan yang lebih kompetitif. Hal ini menciptakan keresahan bahwa sistem zonasi justru membatasi potensi individu.
Namun, di sisi lain, pembatasan ini dapat dilihat sebagai upaya untuk mendorong anak-anak berkembang di mana pun mereka ditempatkan.
Konsep ini mengajarkan bahwa prestasi tidak hanya ditentukan oleh sekolah favorit, tetapi oleh usaha dan adaptasi individu.
Meretas Jalan Menuju Solusi
Untuk mencapai tujuan pemerataan yang diinginkan, sistem zonasi memerlukan penyempurnaan. Pemerintah perlu fokus pada upaya peningkatan kualitas pendidikan di setiap sekolah, termasuk penyediaan fasilitas, pelatihan guru, dan alokasi anggaran yang merata.Â
Berikut beberapa langkah yang dapat diambil:
1. Peningkatan Kualitas Sekolah
Zonasi akan lebih efektif jika semua sekolah memiliki kualitas yang setara. Pemerintah harus memastikan setiap sekolah memiliki fasilitas yang memadai, seperti laboratorium, perpustakaan, dan guru berkualitas.
2. Pemberdayaan Komunitas Sekolah
Libatkan masyarakat, orang tua siswa, dan alumni dalam pengembangan sekolah. Dengan keterlibatan ini, sekolah dapat berkembang lebih cepat, baik dari segi fasilitas maupun mutu pembelajaran.
3. Penerapan Sistem Zonasi Hybrid
Mengombinasikan sistem zonasi dengan jalur prestasi yang lebih luas dapat menjadi solusi. Dengan cara ini, siswa berprestasi tetap memiliki kesempatan untuk mengakses sekolah unggulan tanpa meninggalkan prinsip pemerataan.
4. Pengawasan Ketat terhadap Manipulasi Domisili
Pemerintah daerah harus memperketat pengawasan terhadap manipulasi domisili dengan melibatkan aparat setempat untuk memastikan keabsahan data.
Zonasi: Hambatan atau Tantangan?
Pada akhirnya, sistem zonasi sekolah adalah kebijakan yang baik jika diterapkan dengan cara yang benar. Tantangan terbesarnya adalah memastikan pemerataan kualitas pendidikan, bukan sekadar pemerataan akses.
Zonasi bukanlah penghalang bagi prestasi jika pemerintah, masyarakat, dan sekolah bersama-sama berkomitmen untuk menciptakan sistem pendidikan yang inklusif, adil, dan berkualitas.
Alih-alih melihat zonasi sebagai pembatas, kita dapat memandangnya sebagai peluang untuk membangun sistem pendidikan yang lebih baik, di mana setiap anak, tanpa memandang latar belakang, memiliki kesempatan yang sama untuk meraih mimpi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H