Kurikulum yang ramah mental mulai diterapkan di beberapa sekolah. Kurikulum ini bertujuan membantu siswa mengembangkan keterampilan sosial dan emosional, seperti kemampuan mengatasi stres, empati, dan keterampilan komunikasi.
Dengan kurikulum yang memperhatikan kesehatan mental, siswa bisa lebih mudah menghadapi tekanan akademik dan sosial.
4. Peran Teknologi dalam Mendukung Kesehatan Mental
Teknologi memungkinkan penerapan layanan dukungan mental secara online, seperti sesi konseling virtual. Melalui platform daring, siswa dapat mengakses materi tentang kesehatan mental dan berinteraksi dengan konselor secara lebih mudah.
Di tengah perkembangan digitalisasi di Indonesia, inovasi semacam ini dapat meningkatkan efektivitas program sekolah ramah mental.
Tantangan dalam Menerapkan Sekolah Ramah Mental
1. Stigma Sosial terhadap Kesehatan Mental
Salah satu tantangan terbesar adalah stigma sosial terkait kesehatan mental yang masih tinggi di Indonesia. Banyak siswa dan keluarga yang masih menganggap kesehatan mental sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan.
Stigma ini menghambat siswa untuk mencari bantuan ketika mereka merasa tertekan atau cemas. Akibatnya, siswa cenderung menyembunyikan masalah mereka daripada berbicara dengan konselor sekolah atau guru.
2. Keterbatasan Sumber Daya
Banyak sekolah di Indonesia yang belum memiliki sumber daya yang memadai, seperti konselor terlatih atau fasilitas pendukung untuk kesehatan mental siswa. Menurut data, sebagian besar sekolah hanya memiliki guru BK (Bimbingan Konseling) yang juga harus menangani masalah akademik dan perilaku siswa.Â
Tanpa dukungan sumber daya yang memadai, sulit untuk menciptakan lingkungan yang benar-benar mendukung kesehatan mental siswa.