Mohon tunggu...
Nanang A.H
Nanang A.H Mohon Tunggu... Jurnalis - Pewarta

Penyuka Kopi Penikmat Literasi// Scribo Ergo Sum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gaya Hidup Mewah di Tengah Deflasi: Mengapa Banyak Orang Terjebak Fenomena 'Lifestyle Inflation'?

15 Oktober 2024   11:33 Diperbarui: 15 Oktober 2024   11:39 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah situasi ekonomi yang penuh tantangan dengan adanya deflasi, yaitu penurunan harga barang dan jasa yang dipengaruhi oleh penurunan jumlah uang yang beredar yang mengakibatkan penurunan daya beli masyarakat, banyak orang justru masih mempertahankan atau bahkan meningkatkan gaya hidup mewah mereka. 

Fenomena ini sering disebut sebagai "Lifestyle Inflation" atau "Conspicuous Consumption," di mana seseorang menghabiskan uang untuk mempertahankan citra sosial dan menunjukkan status mereka, meskipun pendapatan atau kondisi ekonomi pribadi tidak memadai. 

Dalam tulisan kali ini akan mencoba mengeksplorasi penyebab, risiko, dan cara untuk menghindari perangkap gaya hidup mewah di tengah situasi ekonomi sulit.

Apa Itu "Lifestyle Inflation"?

"Lifestyle Inflation" adalah fenomena di mana seseorang meningkatkan pengeluaran seiring dengan bertambahnya pendapatan atau bahkan ketika pendapatan tidak mencukupi, demi mengikuti gaya hidup mewah. 

Di sisi lain, "Conspicuous Consumption" mengacu pada kebiasaan membeli barang atau layanan mahal untuk menonjolkan status sosial. Fenomena ini telah menjadi masalah serius dalam masyarakat modern, terutama di kalangan generasi muda yang terpapar gaya hidup hedonistik melalui media sosial.

Penelitian dari American Psychological Association (APA) menunjukkan bahwa pengaruh sosial dan kebutuhan akan pengakuan merupakan faktor utama yang mendorong orang untuk tetap berbelanja meskipun kondisi ekonomi mereka tidak memungkinkan. 

Orang sering kali merasa tekanan sosial untuk "keeping up with the Joneses" atau mencoba mengikuti gaya hidup teman, tetangga, atau idola mereka di media sosial, yang sering menampilkan citra kehidupan mewah.

Mengapa Fenomena Ini Terjadi di Tengah Ekonomi Sulit?

1. Pengaruh Media Sosial dan Budaya Konsumerisme

Media sosial memiliki peran besar dalam mempromosikan gaya hidup mewah. Banyak orang yang merasa perlu menunjukkan pencapaian atau kemewahan mereka agar dianggap sukses. 

Fenomena ini semakin diperparah dengan budaya konsumerisme yang mengajarkan bahwa kebahagiaan dan kepuasan bisa dibeli dengan barang-barang mahal. 

Menurut studi dari Journal of Consumer Research, orang cenderung mengidentifikasi nilai diri mereka berdasarkan apa yang mereka miliki, bukan siapa mereka sebenarnya.

2. Tekanan Sosial dan Kebutuhan Akan Pengakuan

Dalam masyarakat modern, status sosial sering kali diukur dari apa yang dimiliki seseorang, bukan apa yang dicapai. Orang merasa tekanan untuk membeli barang-barang mewah, seperti mobil mahal, gadget terbaru, atau fashion high-end, agar terlihat sukses dan mendapatkan pengakuan sosial. 

Tekanan ini dapat mendorong seseorang untuk menghabiskan uang lebih dari yang mereka mampu, bahkan jika mereka harus berhutang.

3. Adanya Kredit dan Kemudahan Pembayaran

Banyak perusahaan menawarkan kredit dengan bunga rendah atau sistem pembayaran cicilan yang menarik, sehingga orang tergoda untuk membeli barang mewah meskipun secara finansial tidak siap. 

Menurut data dari Bank Indonesia, jumlah pengguna kartu kredit dan pinjaman online meningkat, yang menunjukkan bahwa banyak orang menggunakan pinjaman untuk mendanai gaya hidup mereka. Hal ini menjadi risiko besar karena, jika tidak dikelola dengan baik, dapat menyebabkan masalah keuangan serius, termasuk utang yang menumpuk.

Dampak Negatif "Lifestyle Inflation" di Tengah Ekonomi Sulit

1. Penumpukan Utang Pribadi

Ketika pengeluaran melebihi pendapatan, utang pribadi menjadi tidak terhindarkan. Banyak orang mengambil pinjaman atau menggunakan kartu kredit untuk memenuhi gaya hidup mewah mereka. 

Penelitian dari The World Bank menunjukkan bahwa tingginya utang pribadi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, terutama ketika utang tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan.

2. Kesejahteraan Mental yang Menurun

Studi dari American Psychological Association (APA) menemukan bahwa beban utang dan tekanan untuk mempertahankan gaya hidup tinggi dapat menyebabkan kecemasan, stres, dan bahkan depresi. 

Ketika seseorang terus-menerus merasa harus tampil sempurna dan sukses secara finansial, tekanan ini dapat mempengaruhi kesejahteraan mental mereka dalam jangka panjang.

3. Kesulitan Menabung dan Berinvestasi

Menghabiskan uang untuk barang-barang konsumtif mengurangi kemampuan seseorang untuk menabung dan berinvestasi untuk masa depan. Di tengah ekonomi sulit, kemampuan menabung sangat penting untuk menghadapi situasi darurat atau krisis. 

Tanpa tabungan atau investasi yang cukup, orang menjadi rentan terhadap masalah keuangan yang serius jika terjadi penurunan pendapatan atau kehilangan pekerjaan.

Cara Menghindari Perangkap "Lifestyle Inflation"

1. Evaluasi Gaya Hidup dan Prioritas Finansial

Salah satu cara untuk menghindari "Lifestyle Inflation" adalah dengan mengevaluasi gaya hidup dan memprioritaskan kebutuhan daripada keinginan. Buatlah anggaran bulanan yang jelas dan pastikan sebagian dari pendapatan digunakan untuk menabung atau investasi. Dengan memahami prioritas finansial, seseorang dapat lebih bijak dalam mengelola pengeluaran.

2. Kurangi Paparan dari Media Sosial

Media sosial sering kali menampilkan kehidupan yang terlihat sempurna dan mewah, tetapi sering kali itu hanya bagian kecil dari kenyataan. Mengurangi paparan atau menyaring konten yang diikuti dapat membantu seseorang fokus pada apa yang benar-benar penting dalam hidup, bukan sekadar citra yang dipamerkan orang lain.

3. Fokus pada Pengalaman, Bukan Barang

Mengalihkan fokus dari konsumsi barang mewah ke pengalaman atau aktivitas yang membangun bisa membantu menghindari perangkap konsumtif. Misalnya, berinvestasi dalam pendidikan, pelatihan, atau kegiatan yang meningkatkan keterampilan bisa memberikan manfaat jangka panjang yang lebih besar daripada sekadar membeli barang mewah.

Fenomena "Lifestyle Inflation" dan "Conspicuous Consumption" telah menjadi masalah umum di masyarakat modern, terutama di kalangan generasi muda yang terpapar gaya hidup mewah melalui media sosial. Meskipun ekonomi sedang sulit, tekanan untuk tetap mempertahankan gaya hidup tinggi masih kuat. 

Penting untuk mengelola keuangan dengan bijak dan fokus pada hal-hal yang benar-benar bernilai dalam hidup, seperti kesejahteraan jangka panjang dan kesehatan mental.

Dengan memahami penyebab dan risiko dari fenomena ini, kita bisa lebih sadar dalam mengambil keputusan finansial yang tepat. Pada akhirnya, penting untuk tidak hanya terlihat kaya, tetapi benar-benar merencanakan masa depan dengan bijak dan bertanggung jawab secara finansial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun