Mohon tunggu...
Nanang A.H
Nanang A.H Mohon Tunggu... Jurnalis - Pewarta

Penyuka Kopi Penikmat Literasi// Scribo Ergo Sum

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Fenomena Calon Tunggal Pilkada 2024: Ketika Demokrasi Terjebak dalam Monopoli Politik

30 September 2024   07:21 Diperbarui: 30 September 2024   07:21 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan politik di masyarakat perlu diperkuat. Masyarakat harus didorong untuk lebih aktif dalam berpartisipasi, baik sebagai pemilih yang kritis maupun sebagai calon pemimpin. Jangan sampai masyarakat terus merasa terjebak dalam pilihan yang terbatas.

3. Pengawasan terhadap Politik Dinasti dan Oligarki:

Harus ada pengawasan ketat terhadap politik dinasti dan dominasi oligarki lokal. KPK, Bawaslu, dan lembaga terkait perlu bekerja lebih keras untuk memastikan bahwa pilkada tidak digunakan sebagai alat memperkuat kekuasaan segelintir orang.

4. Kemudahan bagi Calon Independen:

Syarat dan mekanisme pencalonan bagi calon independen harus dipermudah. Ini penting agar muncul alternatif pemimpin yang tidak terikat dengan kepentingan partai besar, sehingga pemilih memiliki lebih banyak pilihan.

Arah Demokrasi Lokal: Menyelamatkan Masa Depan Pilkada

Fenomena calon tunggal dalam Pilkada 2024 harus menjadi peringatan bagi kita semua bahwa demokrasi lokal masih rentan terhadap kontrol oleh elite-elite tertentu. Jika hal ini terus dibiarkan, maka semangat demokrasi yang kita perjuangkan akan semakin tergerus oleh kepentingan pribadi dan golongan.

Pilkada seharusnya menjadi ruang untuk adu gagasan, tempat rakyat memilih pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan bagi daerah. Namun, ketika hanya ada satu calon, demokrasi berubah menjadi ritual kosong yang hanya sekadar memenuhi syarat formal.

Inilah saatnya kita, sebagai masyarakat, partai politik, dan penyelenggara pemilu, merefleksikan apa yang salah dan segera melakukan perubahan. Jika tidak, demokrasi kita mungkin akan kehilangan makna sejatinya: sebagai alat untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun