Di sebuah desa terpencil yang jauh dari hiruk-pikuk kota, hidup seorang pemuda bernama Satria. Ia dikenal sebagai sosok yang baik hati, selalu membantu sesama, dan memiliki senyum yang tulus untuk siapa saja.
Namun, di balik senyumannya itu, Satria menyimpan luka mendalam yang tak pernah terlihat oleh orang lain.
Satria dibesarkan dalam keluarga yang menganut keyakinan agama yang berbeda dari mayoritas penduduk desa. Keluarganya adalah satu-satunya yang menganut keyakinan tersebut di desa itu.
Sejak kecil, Satria dan keluarganya sering menghadapi cibiran, pandangan sinis, bahkan penolakan dari masyarakat sekitar.
Namun, Satria selalu diajarkan oleh kedua orang tuanya untuk tetap rendah hati dan menghormati keyakinan orang lain, meski tak selalu diperlakukan dengan adil.
Ketika Satria beranjak dewasa, diskriminasi yang ia rasakan semakin nyata. Setiap kali ada acara desa, keluarganya jarang diundang. Jika pun diundang, mereka ditempatkan di sudut yang jauh, seolah-olah kehadiran mereka adalah suatu kesalahan.
Namun, puncak dari rasa sakit hati Satria terjadi ketika ia mulai merasakan cinta untuk pertama kalinya.
Satria jatuh cinta pada seorang gadis bernama Laras, yang juga tinggal di desa tersebut. Laras adalah gadis yang lembut dan penuh kasih sayang.
Keduanya sering bertemu di tepi sungai desa, tempat mereka berbagi cerita, tawa, dan mimpi. Bagi Satria, Laras adalah satu-satunya orang di desa yang tidak memandangnya dengan prasangka.
Namun, kebahagiaan mereka tak berlangsung lama. Ketika hubungan mereka diketahui oleh orang tua Laras, reaksi yang datang sangatlah keras.