Mohon tunggu...
Nanang A.H
Nanang A.H Mohon Tunggu... Jurnalis - Pewarta

Penyuka Kopi Penikmat Literasi// Scribo Ergo Sum

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

NU, Keberagaman, dan Tantangan Toleransi Menjemput Abad Kedua

7 Februari 2023   18:11 Diperbarui: 7 Februari 2023   18:11 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo Nahdlatul Ulama. Gambar diambil dari Kompas.com

Salahsatu Organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, Hari ini 7 Pebruari 2023 merayakan puncak peringatan harlah Satu Abad NU  yang lahir pada 16 Rajab 1344 Hijriah. Dengan mengusung tema Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua  menuju Kebangkitan Baru. Puncak peringatan Satu Abad NU ini dilaksanakan di Stadion Gelora Delta Sidoarjo Jawa Timur

Kelahiran NU tidak lepas dari kegigihan kalangan pesantren melawan kolonialisme dengan diawali membentuk organisasi pergerakan. Diantaranya didirikanlah pada tahun 1916 Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air).

Pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran) yang merupakan sarana bagi pendidikan social politik kaum santri. Keemudian Nahdlatul Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar) yang membantu memperbaiki perekonomian rakyat.

Ketika Pemimpin Wahabi, Raja Arab Saudi Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, kemudian akan menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra Islam karena tempat tersebut banyak diziarahi karena dianggap bidah.

Maka kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak gagasan tersebut dan menolak penghancuran warisan peradaban yang sudah lama dilindungi dan merupakan peninggalan budaya pada saat itu.

Untuk itu kalangan pesantren membuat komite Hejaz. Atas desakan kalangan pesantren dan desakan umat Islam seluruh penjuru dunia maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. 

Hasilnya hingga saat ini Mekah bebas melaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing masing. Dan peninggalan budaya dan sejarah tetap dipelihara.

Berangkat dari komite dan berbagai organisasi dan dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih sistimatis dan untuk mengantisipasi perkembangan Zaman, Maka munculah kesepakatan untuk mendirikan organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H atau bertepatan dengan 31 Januari 1926. Dengan dipimpin oleh KH. Hasyim Asyari sebagai Rais Akbar.

Sejak berdirinya tahun 1926, Peran Nahdhatul Ulama sebagai ormas keagamaan di Indonesia sangat signifikan  dalam upaya terwujudnya kemerdekaan Republik Indonesia ataupun dalam merawat dan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dasar Negara Pancasila hingga saat ini

Dalam sejarahnya, ketika paham Wahabi berkembang di Arab Saudi pada tahun 1700-an kemudian menyebar ke Indonesia pada awal 1900-an dengan propaganda anti bidah, anti bermazhab, NU kemudian berada di garda terdepan untuk melawan arus ini.

Begitupun NU berperan dalam melawan gerakan Darul Islam (DI) yang dipimpin Kartosuwiryo 1940-an, yang akan menggantikan dasar negara Pancasila menjadi Negara Islam. 

Perlawanan terhadap gerakan anti Pancasila yang dilakukan oleh Darul Islam dipimpin salahsatunya oleh KH. Chasbullah (1888-1971) beserta para ulama NU pada saat itu. Ini adalah sebuah bukti  pengabdian NU dalam memperjuangkan  keutuhan NKRI dan keberagaman

Perjuangan Nahdlatul Ulama dalam merawat toleransi dan keberagaman tidak dipungkiri perannya. Apalagi pada saat dipimpin oleh Presiden keempat RI KH. Abdurahman Wahid atau Gusdur. Sejak wafat 30 Desember 2009 lalu, sosok ulama kharismatik NU tersebut masih terus diingat sebagai pembela warga yang terdiskriminasi.

Sangat menarik membaca sebuah artikel yang ditulis oleh Haris Fatwa Dinal Maula, Pegiat Moderasi Beragama Islami Institute, di laman Islami.co, 6 Pebruari 2023. Haris menjelaskan tentang hasil riset Setara Institute for Democracy and Peace yang mempublikasikan laporan tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Indonesia periode tahun 2022 yang dilaporkan pada akhir Januari (31/1)

Laporan hasil riset  tersebut salahsatunya menunjukan bahwa Jawa Timur menjadi provinsi paling intoleran nomor satu di Indonesia, menggeser Jawa Barat yang pernah menduduki propinsi intoleran pada tahun2021

Menurut Setara Institute, terdapat dua factor utama yang menjadi pendorong masifnya pelanggaran KBB Jawa Timur, yaitu kuatnya stigma terhadap tradisi agama leluhur dan kuatnya organisasi Nahdlatul Ulama di Jawa Timur.

 Sementara itu pergeseran posisi Jawa Barat dari peringkat satu dilatarbelakangi oleh tidak aktifnya organisasi Front Pembela Islam (FPI)

Secara keseluruhan hasil riset Setara terdapat 175 peristiwa pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dengan 333 tindakan sepanjang 2022. Dari 333 tindakan pelanggaran tersebut, 168 dilakukan oleh actor Negara, paling banyak diperbuat oleh pemerintah daerah 47 tindakan, kepolisian 23 tindakan, Satpol-PP 17 tindakan, Institusi pendidikan negeri 14 tindakan, dan Forum Kordinasi Pimpinan Daerah 7 tindakan. Sedangkan pelanggaran lainya sebanyak 165 dilakukan oleh non Negara

Menurut Haris, ada catatan yang menarik dari temuan Setara Institute. Turunnya Jawa Barat ke peringkat dua sebagian besar disebabkan oleh hilangnya peran FPI. Sebelum dibubarkan FPI menyumbang sebagian besar tindakan Intoleransi di Indonesia khususnya di Jawa Barat.

Sedangkan naiknya Jawa Timur ke posisi pertama  disebabkan salahsatunya, oleh dominasi Nahdlatul Ulama. Namun menurut Haris catatan ini bukan menyimpulkan bahwa NU berperan menyumbang aksi intoleransi di Jawa Timur. Namun menurutnya sebagai bahan evaluasi bagi internal NU di Jawa Timur khususnya, untuk menetralisir bentuk fanatisme

Bentuk Fanatisme ini menurut Haris terlihat, misalnya, ketika beberapa oknum NU menolak hadirnya penceramah yang terindikasi radikal, seperti Abdul Somad atau Hanan Attaki. Atau sikap penolakan pembangunan masjid Muhammadiyah di Banyuwangi. Haris mengungkapkan bahwa sikap tersebut sudah menunjukan sikap eksklusif, yaitu tidak menerima atau menutup diri dari pemahaman lain diluar kelompoknya

Di akhir tulisan ini saya sependapat dengan Haris, bahwa di Perayaan Hari lahir satu abad Nahdlatul Ulama, bisa menjadi momentum untuk mengevaluasi catatan-catatan kecil ini. NU harus semakin berkomitmen untuk menjadi agen perdamaian dan kesejahtraan social. Dan untuk terus menyebarkan semangat inklusif, bukan eksklusif

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun