Perempuan selalu erat kaitannya pada tiap peradaban manusia, peran perempuan pun terus mengalami transformasi yang signifikan sepanjang sejarah. Transformasi perempuan di Indonesia misalnya yang mencakup peran, status, dan kontribusi mereka terhadap masyarakat dalam tiap periode tahun yang berbeda.Â
Pada tahap awal yaitu memasuki era kolonialisme terjadi pembatasan perempuan dalam mengakses pendidikan dan kesempatan pada agenda formal, meski demikian di sisi lain pada era kolonialisme ini terdapat perempuan yang mengambil peran penting dalam gerakan nasional serta perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada era kemerdekaan Indonesia perempuan semakin aktif dalam berbagai gerakan sosial dan politik khususnya terlibat langsung pada perjuangan hak politik dan sosial.Â
Di era reformasi ini barulah muncul peningkatan kesadaran mengenai isu gender dan perempuan. Hadirlah gerakan masyarakat maupun organisasi yang memperjuangkan hak-hak perempuan termasuk di dalamnya kesetaraan politik, ekonomi, dan sosial. Perkembangannya di era kontemporer ini perempuan Indonesia masih terus berjuang mengatasi berbagai tantangan kesenjangan gender, kekerasan terhadap perempuan, dan akses perempuan dalam pendidikan hingga kariernya.
Budaya patriarki yang tumbuh dengan baik di Indonesia inilah yang menjadi salah satu penyebab kaum perempuan masih berjuang mengatasi kesenjangan gender. Gender merupakan suatu sifat yang menjadi dasar dalam mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari perspektif sosial dan budaya. Sehingga gender adalah produk dari budaya bukan suatu hal kodrati, lain dengan istilah sex. Gender yang lahir dari proses budaya dalam hal ini yaitu budaya patriarki kerapkali menimbulkan permasalahan.Â
Mies (1986) mengatakan bahwa budaya patriarki memandang kaum laki-laki di posisi pada sistem yang berada di atas perempuan dan mempengaruhi aspek-aspek lain dalam masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa pada budaya patriarki, susunan sosial dalam masyarakat umumnya didominasi oleh laki-laki daripada perempuan. Melalui penempatan inilah laki-laki menjadi lebih superior daripada perempuan yang berada pada posisi subordinat. Dengan begini masalah-masalah yang dihadapi perempuan diantaranya seputar ketimpangan akses dalam berbagai hal di masyarakat.
Data dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2023 menyatakan perempuan tamatan SD sebesar 98,21%, SMP 91,71%, dan SMA 68,31%. Jika ditinjau dari wilayahnya berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS 2022, sebagian besar perempuan di pedesaan merupakan lulusan SD (31,28%) sementara perempuan di perkotaan sebagian besar adalah lulusan SMA/SMK (33,36%). Beranjak ke lulusan perguruan tinggi, perempuan di perkotaan yang berhasil lulus dari perguruan tinggi sebesar 13,97%, sangat berbeda dibanding pedesaan yakni hanya 6.00%. Dilihat dari akses pendidikan saja perempuan masih dipandang tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi terlebih pada masyarakat pedesaan.Â
Setelah berjuang ditengah ketimpangan akses di bidang pendidikan perempuan masih harus menghadapi tantangan di dunia pekerjaan. Permasalahan di lingkup pekerjaan yang dihadapi perempuan lebih kompleks lagi, hal ini tidak hanya berkaitan dengan budaya, ras ataupun etnis, bahkan juga dengan faktor biologis. Kembali pada konsep awal mengenai kentalnya budaya patriarki di Indonesia seakan mewajibkan laki-laki berfokus pada kegiatan mencari nafkah sedangkan perempuan mengurus kegiatan rumah tangga. Rasio TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) perempuan di Indonesia masih dibawah angka satu dan lebih rendah dari laki-laki. Secara global hanya 50% dari jumlah perempuan di dunia yang menjadi tenaga kerja mendapat upah, lain dengan laki-laki lebih dari 75%.
Hambatan perempuan pada dunia pekerjaan seringkali di dasari oleh beban ganda yakni dengan perannya sebagai perempuan berkarir maupun seorang istri sekaligus ibu. Dalam pekerjaan perempuan lebih diarahkan pada ranah domestik, publik menuntut perempuan untuk tetap mengenakan atribut feminimnya, perempuan diberi posisi pada ranah domestik dengan label sebagai pekerjaan perempuan.Â
Sebagai contoh nyata adanya glass ceiling terhadap perempuan dengan peluang menjadi jajaran pada level CEO, CFO, CCO dan jajaran chief officer lainnya. Perempuan seringkali diberi batasan tak terlihat yang mencegahnya meraih jabatan paca C level, hanya dengan alasan mereka perempuan dan anggapan bahwa perempuan tidak dapat bekerja sebaik laki-laki. Budaya patriarki ini yang berfokus pada laki-laki, mendominasi budaya heteronormatif dan devaluasi perempuan. Oleh sebab itu patriarki seringkali bermuara menjadi bibit dari kekerasan berbasis gender, seperti pelecehan seksual misalnya.
Perjuangan menghadapi budaya patriarki ini masih terus berlangsung, sosok perempuan Indonesia yang masih Nampak memperjuangkan hal ini pada era modern kerapkali kita temui pada diri Cinta Laura, seorang aktris dan penyanyi yang hingga kini menjadi role model bagi sebagian perempuan di Indonesia. Cinta Laura saat ini aktif melakukan podcast di akun youtube PUELLA ID dengan beragam bintang tamu yang diundangnya untuk membicarakan berbagai isu termasuk salah satunya mengenai gender. Selain Cinta Laura ada pula sosok influencer bernama Gita Savitri Devi atau akrab dipanggil Gitasav yang aktif menyuarakan isu-isu Gender.Â
Gitasav aktif pada media sosial pribadinya baik Instagram, Youtube, hingga X (twitter) untuk membahas hal tersebut. Perjuangan dalam menghadapi budaya patriarki ini tidak hanya dilihat pada sosok yang menyuarakan isu saja, melainkan juga perempuan yang mengejar kariernya. Jika dilihat dari segi politisi Indonesia memiliki Menteri Keuangan yang merupakan sosok perempuan yaitu Sri Mulyani, ada pula Menteri Luar Negeri yang juga sosok perempuan yakni Retno Marsudi, dan masih banyak lagi perempuan yang berjuang mengejar mimpi dan kariernya. Meski sudah memiliki berbagai sosok perempuan hebat ini akan tetapi tidak semua masyarakat dapat menerima. Banyak pula perempuan yang bermimpi tinggi namun terhalang oleh internal lingkungannya seperti tradisi keluarga maupun dari eksternal yaitu masyarakat sekitar.