Jika di Jawa kita mengenal aturan unggah-ungguh dalam berkomunikasi dengan masyarakat yang mana komunikasi tersebut didasarkan pada kedudukan dari lawan bicara. Hal ini bertujuan, untuk menghindari adanya kesalahpahaman di antara kedua belah pihak yang sedang berkomunikasi.
Hal ini sesuai dengan bunyi pepatah Jawa "Ajining Diri Saka Lathi, Ajining Raga Saka Busana" yang berarti nilai dari karakter seseorang terletak dari ucapan dan pakaian yang digunakan. Dalam unggah-ungguh ada tingkatan : Ngoko yang digunakan kepada teman sebaya atau orang yang usianya lebih muda dan Kromo digunakan kepada orang yanng lebih tua atau memiliki kedudukan di atas kita.
Aturan atau etika komunikasi ini tidak hanya ada dalam bahasa Jawa, namun juga ada dalam bahasa Minangkabau. Sesuai dengan bunyi pepatah Minang:
Nana kuriak iyolah kundip
Nan merah iyolah sagoÂ
Nan baiak iyolah budiÂ
Nan indah iyolah basoÂ
Pepatah tersebut menjelaskan penerapan sopan santun adalah hal utama yang ditanamkan sedari kecil kepada orang Minang karena orang yang bisa menjaga lidah dan bahasanya dianggap sebagai orang yang beradab. Karena banyak perselisihan yang terjadi hanya karena tidak bisa menempatkan diri dan bahasa dalam situasi tertentu.
Suku yang menganut garis keturunan matrilineal ini telah mengatur bagaimana bersikap dan berkomunikasi kepada orang disekitarnya. Dalam bahasa Minangkabau, aturan ini dikenal dengan istilah "Kato Nan Ampek."
Kato nan ampek adalah aturan, tata cara berbicara, atau bahasa yang digunakan saat berbicara kepada orang yang lebih tua, teman sebaya, adik, atau orang yang memiliki kedudukan di atas kita.