Mohon tunggu...
Nahdia Nuzulita
Nahdia Nuzulita Mohon Tunggu... Freelancer - Pemula

"Langsamer fortschritt ist besser als kein fortschritt"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Melihat Desa Minangkabau Zaman Dulu di Desa Sijunjung

20 April 2021   21:31 Diperbarui: 20 April 2021   22:17 1819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lantai yang ditinggikan untuk menyimpan padi dan ditutup menggunakan tikar / dokpri

Sijunjung adalah salah satu Kabupaten yang berada di Sumatra Barat. Dahulunya sijunjung dikenal dengan Kabupaten Sawahlunto Sijunjung namun tahun 2004 Sijunjung dimekarkan. Ini membuat Sijunjung kurang begitu dikenal oleh masyarakat nasional dan masih menganggap bahwa Sijunjung masih menjadi daerah Sawahlunto. 

Terlepas dari itu, Sijunjung memiliki banyak kekayaan baik wisata alam, wisata sejarah, dan wisata budaya yang berada di setiap kecamatan dan menjadi keunikan pada daerah tersebut.

Salah satu wisata budaya yang menjadi pesona di daerah Sijunjung adalah Perkampungan Adat Nagari Sijunjung yang terletak di Jorong Koto Padang Ranah dan Jorong Tanah Bato, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung, Sumatra Barat dengan  masih mempertahankan tradisi yang diwariskan para nenek moyang. Desa adat  ini terletak kurang lebih 110 kilometer dari  Kota Padang. Dan berjarak sekitar enam kilometer dari ibu kota kabupaten atau sekitar 15 menit perjalanan dari kantor bupati Sijunjung.

Saat memasuki perkampungan ini, kita aka melewati jembatan yang membentang sepanjang 200 meter melalui Batang Sukam yang menjadi pintu masuk ke Desa Adat Sijunjung. 

Saat masuk ke kampung adat ini kita disambut patung setinggi sekitar lima meter menggunakan pakaian adat yang dikenal dengan nama Puti Junjung.  

Jika kita berdiri di sisi kanan patung Puti Junjung, kita bisa melihat bangunan tua khas rumah adat Minang yang saling berhadapan di sisi kiri dan kanannya dengan warna dan bentuk teras rumah yang berbeda-beda. Menurut Data Pemerintahan Sijunjung, desa adat Sijunjung sudah ada sekitar abad ke-14.

Salah Satu Rumah Gadang di Desa Adat Sijunjung / dokpri
Salah Satu Rumah Gadang di Desa Adat Sijunjung / dokpri

Pada desa adat ini berdiri 76 rumah gadang yang dimiliki oleh enam suku yaitu suku Melayu, Piliang, Caniago, Tobo, Panai, dan Bendang yang dipimpin oleh panghulu. Rumah gadang telah menjadi identitas masyarakat adat Minangkabau. 

Rumah gadang tidak boleh dibuat semua orang, tidak peduli orang tersebut memilki jabatan tinggi atau harta yang banyak, karena rumah gadang memiliki ketentuan yang membuat rumah gadang berbeda dengan rumahpada umumnya. 

Di dalam rumah gadang dipimpin oleh Pangulu sebagai pemimpin adat yang diberi gelar Datuak yang bertugas untuk memimpin dan membimbung kaum dan kemenakannya. Rumah gadang dihuni oleh kaum kerabat perempuan yang menjadi penanda masih kuatnya sistem garis keturunan ibu(Matrilineal) Minangkabau masih terasa di perkampungan ini.

Reni, misalnya, yang merupakan salah satu keturunan suku Melayu. Perempuan 50 tahun itu mengungkapkan bahwa ia telah tinggal di rumah gadang dan merupakan generasi keturunan ketiga, sebagai penerus penghuni rumah adat sukunnya.

" Rumah gadang diwariskan secara turun temurun berdasarkan garis keturunan ibu. Saya adalah keturunan ketiga dalam rumah gadang Melayu ini,"ujarnya. Dari keterangannya, ia telah tinggal di rumah gadang ini sejak kecil dan rumah yang dihuninya telah berdiri cukup lama dan telah direnovasi beberapa tahun lalu.

Lantai yang ditinggikan untuk menyimpan padi dan ditutup menggunakan tikar / dokpri
Lantai yang ditinggikan untuk menyimpan padi dan ditutup menggunakan tikar / dokpri

Rumah gadang di perkampungan adat ini memiliki perbedaan mencolok dari rumah gadang yang ada di Sumatra Barat. Pasalnya, di setiap rumah gadang di Sumatra Barat memiliki rangkiang (tempat gan adat menyimpan padi) di halaman depan rumah gadang tetapi tidak berlaku di rumah gadang perkampungan adat di sini. 

Masyarakat dari enam suku di sini memiliki tempat khusus untuk menyimpan padi mereka yaitu di bawah lantai rumah yang ditinggikan yang berada di sudut kanan dalam ruang utama, yang dinamai masyarakat setempat dengan balero.

"Hasil panen padi, kami simpan di lantai dan kami tutup menggunakan tikar. Jika perlu padi, kami hanya perlu membuka tikar lalu mengambilnya. Ini sudah menjadi kebiasaan orang tua zaman dulu, mungkin untuk menghemat waktu atau tempat, saya juga kurang tau," tuturnya.

Rumah gadang di perkampungan adat ini berbeda dengan Rumah Gadang di Kawasan Seribu, Solok Selatan dari segi ukuran dan jarak antar rumah gadang. Rumah gadang di kampung adat memiliki bangunan yang relatif kecil dibanding rumah gadang pada umumnya. 

Di desa ini, rumah gadang memiliki ukuran yang beragam dengan penambahan teras yang berbeda sehingga menambah nilai eksotis dari objek wisata budaya rumah adat lainnya. Daerah ini memiliki alam nan rupawan dan masyarakat yang ramah dalam menyambut pengunjung yang datang menambah kesan yang sangat hangat pagi pengunjung.

Pada tahun 2018, rumah gadang di perkampungan ini sudah direnovasi untuk memperbaiki beberapa bagian rumah gadang yang sudah tua atau lapuk serta pemberian trotoar di sisi kiri dan kanan badan jalan oleh pemerintah setempat dengan lebar kurang satu meter untuk berjalan menikmati indahnya rumah gadang. Di sepanjang jalan, juga dibuat pagar dari berbatuan sungai menambah kesan alami dan menambah keindahan dan keunikkan terhadap perkampungan adat ini.

Foto Rumah Gadang Melayu di Desa Adat Sijunjung / dokpri
Foto Rumah Gadang Melayu di Desa Adat Sijunjung / dokpri

Susunan rumah gadang yang tertata rapi ditambah dengan tanaman yang tumbuh subur dengan berbagai warna dan bentuk memberi kekaguman. 

"Rumah gadang disini berbeda dengan rumah gadang yang pernah saya kunjugi, mereka berjejer rapi dan saling berhadapan mencadi ciri khas setiap rumah yang tetap dipertahankan. Kelestarian dan keasrian di kampung ini membuat kita rasanya kembali ke masa lampau," ujar salah satu pengunjung, Pioma di depan salah satu rumah gadang, Sijunjung, Sabtu (10/4/2021).

Pada perkampungan adat ini kita bisa melihat kehidupan masyarakat Minangkabau masa lampau yang masih terjaga kemurniannya. Di sini kita bisa melihat ciri khas desa tradisonal Minangkabau yaitu basosok bajurami (mempunyai daerah dan batas wilayah), bapandam bapakubuan (adanya tempat pemakaman/kuburan), balabuah batapia (memiliki jalan dan sungai), barumah batanggo (mempunyai rumah tempat tinggal), basawah baladang (memiliki sawah dan kebun), bakorong bakampuang (adanya keterikatan antar masyarakat kampung), babalai bamusajik ( adanya tempat pertemuan para pemimpin suku dan masjid). Sehingga kampung adat ini menjadi penawar rindu dari lunturnya atau hilangnya rumah adat di Nagari Minang.

Rumah gadang di perkampungan adat ini memakai sistem pola desa linear. Di mana pola ini sering dijumpai di daerah aliran sungai atau daerah yang dilalui jalan. Ini juga berkaitan dengan tradisi orang Minangkabau yang senang bersosialisasi dengan tetangga sekitar sesuai dengan pepatah Minangkabau " saciok bak ayam sadantiang bak basi" yang artinya jika ada masalah di perkampungan tersebut mereka akan cepat menyelasaikan karena mereka tidak butuh waktu lama untuk berkumpul. 

Tak hanya itu. Rumah gadang yang saling berhadapan juga berfngsi untuk memudahkan mendapatkan informasi baik berupa berita baik maupun berita duka seperti yang diungkapkan pepatah adat " kaba baik bahimbauan, kaba buruk bahamburan". Pola desa linear yang diterapkan perkampungan adat ini secara tidak langsung membentuk keharmonisan dan keselarasan antara suku satu dengan suku lainnya.

Dilansir dari Kumparan.com, perkampungan adat Ini meraih peringkat dua Awards Anugrah Pesona Indonesia dalam kategori Rumah Adat Terpopuler tahu 2019.

Dilansir dari website resmi kebudayaan.kemendikbud.go.id,  Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatra Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sijunjung berupaya memasukkan kampung adat ke dalam warisan dunia dan perkampungan adat dunia UNESCO dan berhasil masuk daftar tentatif warisan dunia UNESCO pada tahun 2017. 

Namun, masih banyak hal yang harus diperbaiki dari perkampungan adat ini mulai dari perbaikkan rumah gadang, sosialisasi masyarakat setempat hingga pengenalan kepada generasi muda dalam upaya menjaga kelesterian budaya.

Kurang promosi dan apresiasi dari para generasi muda bisa membuat kampung adat ini hilang karena kalah saing dengan objek wisata buatan bertema luar negri atau lainnya. 

Sebagai generasi muda dengan segala keuntungan yang dimiliki baik itu teknologi, kemudahan akses informasi dann lainnya kita diharapkan bisa menampilkan atau mempromosikan kampung adat sesuai dengan khas anak muda tanpa menghilangkan nilai dan tradisi yang ada sehingga bisa menjaga aset kebudayaan ini sampai pada generasi selanjutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun