"Vin, ini sudah malam. Ayo kita pulang" ajak Vania.
"Yaelah Van, baru jam sepuluh, biasanya juga pulang jam satu jam dua. Gimana kalau kamu ikut aku dulu" tawar Vino.
"Kemana?"
"Udah, tenang aja pasti kamu suka kok!"
"Tapi Vin, aku capek banget hari ini" rengek Vania.
"Aku jamin deh, setelah sampai tempatnya capek kamu akan hilang. Percaya deh Van!" bujuk Vano.
"Hmmm... Okelah ayo kita berangkat."
Jam sepuluh malam masih di luar rumah bagi mereka hal yang biasa. Karena itu sudah menjadi kebiasaan yang mereka lalui, baik dari segi karir maupun dunia pergaulan yang bebas. Bukan seperti anak-anak desa yang dibatasi jam malamnya. Yang kemana-mana harus ada izin, tidak boleh berduan dengan laki-laki yang bukan muhrim, dan harus pulang sebelum jam sembilan.
Tepat pukul satu dini hari, seorang gadis telah mengahabiskan waktunya di salah satu club langganannya. Dia tidak berhenti meracau, memaki, dan membanggakan dirinya. "Brengsek kau, aku benci sama kamu! Aku bukan wanita murahan yang seenaknya bisa kau mainkan! Aku ini model, aku punya segalanya. Aku wanita yang dihormati!" begitu  racaunya.
Gadis itu Vania, saat ini dia sedang meluapkan amarahnya. Bahkan dia minum tidak tanggung-tanggung. Dia sudah benar-benar kalab, bahkan make up yang menghiasi wajah cantiknya tak beraturan. Rambut yang biasanya tergerai indah, kini terlihat sangat kusut. Dia tertawa menangis secara bersamaan. Pikirannya menerawang kejadian beberapa jam yang lalu.
Di tengah perjalanan mobil Vino berhenti di jalan yang sepi. Vania yang merasa badannya capek hanya diam dan tetap memejamkan mata. Dia pikir sudah sampai atau mungkin mobil Vano mogok. Tidak ada yang perlu dia khawatirkanpikirnya.